Hujan turun perlahan, membasahi jalanan berbatu yang mengarah ke rumah tua bercat putih gading di pinggir Kecamatan Cikoneng, Ciamis. Petang itu, langit berwarna kelabu, dan suara gerimis menari di atas genting yang sudah mulai berlumut. Rumah itu tampak sunyi, seperti pemiliknya.
Di beranda, seorang pria berdiri membelakangi pintu. Jas hujan plastik transparan menggantung di gantungan rotan. Di tangannya, secangkir kopi hitam yang sudah dingin.
Namanya Raka Sasmita. Usianya tiga puluh tujuh tahun. Wajahnya datar, sorot matanya tajam namun lelah. Sejak pagi tadi, ia sudah tahu bahwa hari ini hidupnya akan berubah. Tapi dia tetap meminumnya seperti biasa: dengan getir yang ia telan sendiri.
Sekitar pukul lima sore, sebuah mobil tua berhenti di depan pagar rumah. Suaranya memecah keheningan seperti benda asing yang salah tempat. Dari dalam mobil, keluar seorang laki-laki tua dari dinas sosial, dan... seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun, mengenakan jaket lusuh dan menenteng tas ransel yang tampak lebih berat dari tubuhnya.
Anak itu menatap rumah Raka tanpa ekspresi.
Raka menatap balik dari ambang pintu. Dadanya mengencang. Rambut anak itu ikal, hidungnya mancung kecil, rahangnya tajam—terlalu mirip dengan pria itu, pria yang dulu merebut Sekar darinya. Tapi matanya... matanya bulat, jernih, dengan sorot yang menenangkan. Matanya Sekar.
Raka mengalihkan pandangan secepat mungkin.
"Ini, Pak Raka," kata petugas dinas sosial sambil membuka map. "Namanya Aditya Pramudita. Keponakan almarhumah Bu Retno—adik ipar Bu Sekar. Karena beliau meninggal dunia bulan lalu, dan tidak ada keluarga dekat lain, sesuai surat wasiat Bu Retno, hak asuh sementara jatuh ke Bapak. Kami mohon pengertian dan bantuan Bapak."
Raka tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, pandangannya menembus hujan, menghindari wajah anak itu.
Petugas pamit tak lama kemudian. Suara mesin mobil menghilang dalam kabut tipis senja yang menggantung di jalan.
Kini tinggal mereka berdua.
Raka berdiri di depan pintu rumah, menatap anak itu. "Masuk."
Aditya melangkah perlahan ke dalam rumah. Matanya menelusuri ruangan dengan rasa asing. Ruang tamu itu sederhana: rak buku tua, kursi rotan, foto-foto berbingkai kayu di dinding. Tak ada suara televisi, tak ada suara radio. Hanya jam dinding yang berdetak lambat.
"Sepatunya taruh di rak. Jangan bikin basah lantai," ujar Raka pelan, tanpa menoleh.
Aditya diam. Menuruti.
Malam tiba tanpa banyak bicara. Raka menyuguhkan sepiring nasi goreng dingin dan segelas teh. Mereka makan tanpa suara. Raka duduk di meja sambil membaca koran, pura-pura tak memperhatikan anak itu yang makan pelan, seolah setiap suapan adalah beban.
"Kalau sudah selesai, kamar yang di pojok kiri atas buat kamu. Jangan sentuh ruangan paling kanan. Itu ruang kerja saya."
Aditya hanya mengangguk.
Sebelum tidur, anak itu menatap sebuah foto di ruang tamu—foto perempuan muda dengan kebaya sederhana, tersenyum manis ke arah kamera. Rambutnya disanggul, matanya bersinar.
"Ini... ibu saya?" tanyanya, pelan, nyaris berbisik.
Raka berhenti di tangga. Tubuhnya menegang. Ia tak menoleh. Suaranya terdengar kaku.
"Iya."
Aditya masih menatap foto itu. "Dia cantik."
Raka hanya menjawab dalam hati: Ya. Sangat cantik. Dan aku mencintainya lebih dari hidupku sendiri.
Tapi yang keluar dari mulutnya hanya satu kata:
“Tidur.”