Pagi di Ciamis datang dengan kabut tipis dan bau tanah basah yang menyeruak dari kebun belakang. Ayam-ayam tetangga berkokok tak serempak, suara radio dari warung ujung gang samar terdengar memutar lagu lawas Chrisye. Di dalam rumah, Aditya duduk sendiri di meja makan, menyuap sarapan dengan tenang. Raka memperhatikannya dari ambang dapur.
Sudah seminggu anak itu tinggal bersamanya. Tidak rewel. Tidak banyak bicara. Tidak juga banyak bertanya. Hanya diam, seperti tahu bahwa keberadaannya bukan sesuatu yang diharapkan.
Dan itulah yang membuat Raka makin tak nyaman.
Setiap kali menatap wajah Aditya, sesuatu dalam dirinya bergetar. Ada rasa kesal yang tak bisa dijelaskan. Rahang bocah itu, dagunya, bentuk senyumnya—semuanya mengingatkan pada Reno, suami Sekar, pria yang dulu begitu mudah mendapatkan cinta yang selama ini Raka sembunyikan dengan pengecut.
Tapi ketika Aditya menoleh, saat matanya menatap Raka—tenang, polos, dan penuh rasa ingin tahu—segala amarah itu lenyap, digantikan rasa sakit yang jauh lebih dalam.
Mata itu...
Itu mata Sekar.
Dan tatapan itu... adalah tatapan yang dulu membuat Raka jatuh cinta untuk pertama kalinya. Tatapan yang kini datang dari seorang anak yang bahkan tak tahu betapa dalam luka yang ia warisi.
Hari itu Raka pulang lebih cepat dari sekolah. Hujan gerimis turun lagi—seolah Ciamis tak pernah benar-benar kering. Ia membuka pintu pelan, melepas sepatu, lalu mendengar suara lembut dari ruang tamu.
Suara piano mainan.
Ia berjalan pelan, dan melihat Aditya duduk di lantai, memainkan tuts-tuts plastik pada keyboard kecil warna abu-abu. Lagu yang ia mainkan tak sempurna, tapi jelas: “Kasih Putih”.
Raka berhenti. Napasnya tercekat.
Itu lagu yang Sekar nyanyikan di malam perpisahan SMA mereka. Lagu yang membuatnya diam di sudut aula, menyimpan kata cinta di tenggorokannya.
"Kamu belajar lagu itu dari mana?" tanyanya, datar.
Aditya menoleh. "Ibu sering menyanyikannya dulu. Saat aku belum tidur."
Suasana mendadak hening.
Raka berjalan ke arah rak buku, pura-pura mencari sesuatu. Tangannya gemetar tanpa ia sadari.
"Kamu main sendiri?"
"Iya."
"Siapa yang ngajarin?"
"Bibi. Dulu sebelum tidur, aku suka minta diajari main lagu-lagu yang ibu suka."
Raka mengangguk pelan. Diam. Tapi pikirannya berlarian ke masa lalu yang tak pernah mau pergi.
Setiap gerak anak itu, setiap nada yang ia sentuh, membawa kembali bayangan Sekar: tawa lembutnya, caranya menyisir rambut, bahkan cara dia menatap Raka dari jauh—dengan mata yang sama.
Malam itu, Raka duduk sendiri di ruang kerjanya. Di depannya ada sebuah kotak kayu yang selama ini ia simpan di laci terdalam—kotak tempat ia menyimpan kenangan yang tak pernah ia buang.
Foto-foto Sekar. Surat-surat yang tak pernah ia kirim. Goresan puisi yang hanya ditulis di malam sunyi.
Ia menatap salah satu foto Sekar, diambil tahun 1983, saat mereka masih SMA. Sekar tersenyum ke arah kamera—senyum yang sama seperti Aditya.
Raka menutup mata. Wajah Reno melintas di ingatannya, lalu Sekar, lalu Aditya. Seakan mereka satu bayangan yang terus berputar di kepalanya.
"Aku bukan ayahmu, Dit," bisiknya pelan. "Tapi aku juga bukan orang asing."
Ia menggenggam foto itu erat, dan untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun, air mata menetes di pipi Raka.