Hari Minggu pagi, sinar matahari mengintip malu-malu dari balik awan. Angin semilir masuk dari jendela, membawa bau kayu tua dan rumput basah. Rumah itu masih sunyi. Raka belum bangun.
Aditya, yang sudah terbiasa bangun pagi dari masa tinggal bersama bibinya, berjalan pelan-pelan menyusuri lorong. Ia bosan. Tak ada televisi, tak ada mainan, dan tak ada teman.
Pintu ruang kerja Raka—ruangan yang katanya tak boleh dimasuki—sedikit terbuka.
Anak itu ragu. Tapi rasa ingin tahunya lebih kuat dari rasa takut.
Ia melangkah masuk perlahan.
Ruangan itu sunyi dan rapi. Buku-buku tersusun rapi di rak tinggi, beberapa lukisan tua tergantung di dinding. Di atas meja ada map-map, pulpen, dan sebuah kotak kayu tua dengan tutup setengah terbuka. Seolah sedang menunggu untuk ditemukan.
Aditya mendekat.
Di dalam kotak itu, ia menemukan beberapa foto lama: foto seorang wanita muda tersenyum mengenakan seragam SMA. Matanya... matanya seperti miliknya sendiri.
Dengan tangan gemetar, Aditya menyentuh surat yang terselip di balik foto itu. Kertasnya sudah kekuningan, dilipat rapi, tinta di dalamnya mulai pudar.
Surat itu ditulis tangan.
"Untuk Raka...
Mungkin saat kamu membaca surat ini, aku sudah terlalu jauh darimu. Atau mungkin kamu tak pernah akan membacanya sama sekali. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal: aku tak pernah berhenti bertanya-tanya...
Bagaimana jika aku memilihmu, bukan dia?
Maaf, karena aku pengecut. Aku tahu kamu menyimpan sesuatu, dan aku terlalu takut untuk membuka apa yang kita punya. Aku memilih jalan yang paling mudah, dan mungkin... paling bodoh.
Tapi jika nanti hidup memberiku kesempatan, aku ingin kamu tahu: jika kamu masih sendiri saat ini, itu mungkin karena sebagian hatimu... pernah ada di tempatku."
— Sekar
Aditya menatap surat itu lama. Tangannya gemetar. Ia belum sepenuhnya mengerti, tapi hatinya terasa aneh—seperti kosong dan penuh pada saat yang sama.
"APA YANG KAMU LAKUKAN DI SINI?!"
Suara itu memecah keheningan seperti pecahan kaca. Aditya terlonjak, buru-buru meletakkan surat itu kembali.
Raka berdiri di ambang pintu. Wajahnya merah, matanya tajam, dan napasnya terengah. Untuk sesaat, tak ada kata. Hanya tatapan.
"Aku... aku cuma lihat-lihat," ujar Aditya lirih.
"Sudah kubilang, jangan sentuh ruang kerja ini!"
"Tapi... ini surat dari ibu..."
Raka mendekat cepat, merampas surat itu dan memasukkannya kembali ke dalam kotak. Tangannya gemetar—antara marah, takut, dan mungkin... malu.
"Apa pun yang kamu lihat, lupakan."
Aditya terdiam. Matanya berkaca-kaca. Tapi bukan karena dimarahi. Karena dia melihat sesuatu di wajah Raka—sesuatu yang baru.
Bukan kemarahan.
Tapi luka.
"Apakah... Bapak mencintai ibu saya?" tanya Aditya lirih, nyaris tak terdengar.
Pertanyaan itu membuat Raka diam. Selama beberapa detik yang terasa seperti seabad, tak ada suara.
Lalu akhirnya, Raka berbisik, tanpa menatap:
“Pergi ke kamar, Dit.”
Dan Aditya menurut.
Tapi sejak hari itu, keduanya tahu—jarak di antara mereka telah berubah. Ada sesuatu yang kini menggantung di udara. Sesuatu yang tidak bisa lagi mereka abaikan.