Langit Ciamis menggantung kelabu siang itu. Gerimis turun ringan, menyentuh tanah yang sudah lama lelah menampung rintik. Sekolah mulai sepi. Murid-murid bubar, suara langkah memudar satu per satu. Raka melangkah pelan di lorong kosong, tumpukan kertas esai di pelukannya, wajah lelah menggantung tanpa suara.
Di bangku tua taman belakang sekolah, seseorang duduk menunggu. Wanita itu memakai blus krem, kacamata bundar, dan senyum yang nyaris tidak berubah sejak dua puluh tahun lalu.
“Masih suka pura-pura sibuk biar nggak diajak ngobrol, ya?” suaranya pelan, seperti suara angin yang mengenal nama-nama masa lalu.
Raka berhenti. Matanya menatap dengan ragu.
“Lestari...?”
Wanita itu bangkit perlahan. “Sudah lama ya. Terlalu lama.”
Mereka bersalaman. Hangat tapi canggung. Ada getaran di tangan Raka yang tak bisa disembunyikan. Dunia seperti mundur beberapa tahun ke belakang, ketika nama Sekar masih hidup di antara mereka bertiga.
“Aku dengar tentang Aditya,” kata Lestari, matanya mengamati wajah Raka yang menua dengan sunyi. “Kau benar-benar mengasuhnya sekarang?”
Raka mengangguk pelan. “Seharusnya bukan aku.”
“Kalau bukan kamu, siapa lagi?”
Raka tidak menjawab.
Mereka duduk di bangku taman. Di atas kepala, daun-daun mahoni bergoyang, meneteskan hujan kecil yang tersangkut sejak pagi.
Lestari membuka tas kanvasnya. Ia mengeluarkan sebuah buku puisi lama. “Ingat ini?”
Raka memandang benda itu. Lama. Sangat lama.
“Sekar menyimpan buku ini sampai akhir hayatnya,” lanjut Lestari. “Ia tahu kau yang menulis puisi di halaman terakhir.”
Raka mengerutkan kening. “Dia tahu?”
“Tentu. Kau pikir dia sebodoh itu?”
Raka menunduk.
“Aku pernah tanya ke dia, sebelum hari pernikahannya. ‘Kau yakin dengan pilihanmu?’” Lestari menatap lurus ke depan. “Sekar jawab... ‘Aku ingin tahu, tapi dia tidak pernah bicara. Aku menunggu... tapi dia hanya diam.’”
Suara itu menusuk dada Raka lebih tajam dari apa pun.
“Kenapa kau tak pernah bilang, Ka?” Lestari berbisik.
“Aku terlalu pengecut,” jawab Raka pelan. “Dan aku terlalu takut mendengar jawabannya.”
“Lalu sekarang kau hidup dengan anak yang tiap hari menatapmu dengan mata Sekar... dan wajah ayahnya. Bagaimana rasanya?”
Raka mengatupkan rahangnya. Jemarinya mengepal perlahan.
“Aku ingin memeluknya... tapi rasanya seperti memeluk luka yang belum sembuh. Kadang aku ingin dia pergi... tapi kalau dia pergi, aku tahu aku akan lebih hancur.”
Lestari menoleh. Sorot matanya lembut, tapi dalam.
“Setelah semua ini... kamu masih mencintai Sekar?”
Raka memejamkan mata. Hujan turun makin rapat di kejauhan. Lalu ia mengangguk perlahan, sangat pelan.
“Iya. Masih. Selama ini.”
Lestari tidak bicara. Ia hanya menghela napas—bukan karena kecewa, tapi karena memahami betul betapa berat kalimat itu lahir.
“Ka,” Lestari melanjutkan setelah keheningan panjang. “Aditya bukan dia. Tapi Aditya adalah bagian terakhir dari Sekar yang ditinggalkan dunia buat kamu. Mungkin kamu nggak pernah diminta jadi ayah. Tapi mungkin... memang kamu yang ditunjuk untuk menjaga serpihan terakhir dari perempuan yang kamu cinta.”
Raka menatap tanah, dadanya sesak, tapi matanya mulai basah.
“Kau pikir aku bisa jadi seseorang buat dia?” gumamnya.
“Bukan soal bisa atau tidak. Tapi soal mau atau tidak. Kau sudah kehilangan Sekar. Jangan biarkan kamu kehilangan anak itu juga hanya karena kau takut menyayangi.”
Senja mulai turun ketika mereka berpisah. Hujan sudah berhenti, menyisakan wangi tanah basah yang dalam. Lestari menepuk bahu Raka sebelum pergi.
“Luka itu... tak akan pernah benar-benar sembuh, Ka. Tapi ia bisa berubah bentuk. Dari nyeri... jadi pelajaran. Dari perih... jadi penerimaan.”
Dan setelah ia pergi, Raka tetap duduk di sana. Diam.
Di dalam dadanya, cinta yang selama ini membatu... mulai mencair. Perlahan. Pedih. Tapi nyata.