Hari itu langit mendung sejak pagi. Angin dari utara membawa bau kering daun jati dan tanah yang belum hujan. Suasana di rumah tetap sepi, seperti biasanya. Tapi kali ini, kesunyian itu bukan karena saling diam—melainkan karena sesuatu sedang dipikirkan, oleh dua kepala yang berbeda usia, tapi sama-sama dihantui masa lalu.
Aditya berdiri lama di depan rak buku. Tangannya memegang bingkai foto Sekar. Ia belum pernah melihat ibunya dalam wujud lain selain di foto itu.
“Pak…” suaranya pelan, hampir tenggelam oleh detak jam dinding. “Boleh... malam ini kita ke makam Ibu?”
Raka terdiam. Tangan yang semula membalik koran berhenti. Mata yang tadinya sibuk mencari kata-kata tiba-tiba kosong.
“Malam?”
“Kalau siang... nanti banyak orang. Aku cuma mau berdua. Sama Bapak.”
Raka tak langsung menjawab. Ia menatap hujan yang mulai turun tipis. Di balik kaca jendela, jalanan tampak lengang. Malam ke makam. Di Ciamis. Dengan anak dari perempuan yang ia cintai dan tak pernah ia miliki.
Apakah ia siap?
Tapi akhirnya, ia mengangguk. Pelan.
Jam delapan malam, langit masih menggantungkan gerimis. Mereka naik motor tua Raka, melintasi jalanan desa yang sepi. Lampu jalan berkerlip samar, dan daun-daun pisang di pinggir jalan menari pelan ditiup angin.
Pemakaman berada di atas bukit kecil. Tak berpagar. Hanya deretan nisan batu dan semak belukar. Tanpa lampu. Hanya cahaya senter kecil yang dibawa Raka, dan cahaya bulan yang terselip malu-malu di balik awan.
Langkah kaki mereka menjejak rumput basah. Hening. Tak ada suara burung malam, tak ada anjing menggonggong.
Hanya bunyi napas.
“Yang mana makamnya?” tanya Aditya pelan.
Raka menunjuk satu nisan batu sederhana. Tak berukir mewah. Hanya tulisan tangan pahat:
Sekar Ayuningtyas
1962–1989
"Hidupku adalah cinta yang tak selesai".
Aditya berlutut. Tangannya menyentuh batu yang dingin.
“Ibu...” gumamnya. “…aku datang.”
Raka berdiri di belakang, diam. Tangannya mengepal. Di depan batu itu, semua rasa bersalah yang ia kubur selama ini muncul tanpa izin.
“Aku nggak ingat suaramu, Bu,” ucap Aditya. “Aku cuma ingat pelukannya.”
Lalu ia menoleh ke belakang. Menatap Raka. “Bapak ingat?”
Raka membuka mulut, tapi tak ada suara. Hanya satu helaan napas panjang, berat.
“Ia pernah bernyanyi,” bisiknya akhirnya. “Di malam perpisahan SMA kami. Lagu ‘Kasih Putih’. Suaranya lembut sekali.”
Aditya menunduk. “Aku sering denger dia nyanyi itu pas kecil.”
Dan di situlah, di bawah cahaya senter dan gerimis yang makin halus, dua orang berdiri di hadapan nisan yang sama. Bukan sebagai ayah dan anak. Tapi sebagai dua jiwa yang kehilangan perempuan yang sama—dengan cara yang berbeda.
“Aku nggak tahu harus bilang apa ke dia…” kata Raka, nyaris tak terdengar. “Terlalu banyak yang tidak sempat. Terlalu banyak yang aku pendam.”
Aditya memandangi batu nisan itu. “Aku pikir... Ibu udah tahu, Pak.”
Raka menoleh. “Tahu apa?”
“Bahwa Bapak... mencintai dia.”
Dan kalimat itu—singkat, lembut, polos—menampar seluruh benteng yang Raka bangun selama bertahun-tahun.
Untuk pertama kalinya, ia berlutut di depan makam Sekar.
Bersisian dengan anaknya.
Tangannya gemetar, dan suaranya pecah ketika berkata:
“Aku minta maaf... Sekar. Karena diam. Karena takut. Karena kehilanganmu sebelum pernah memilikimu.”
Angin malam menyapu lembut wajah mereka berdua. Daun-daun jatuh satu per satu, pelan. Gerimis pun berhenti.
Tak ada pelukan. Tak ada air mata histeris. Hanya dua tangan yang bersisian—tangan tua yang gemetar, dan tangan muda yang mulai belajar menerima.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Aditya memanggil Raka dengan suara yang lebih dekat dari sebelumnya.
“Pak…”
Raka menoleh.
“Terima kasih… udah ajak aku ke sini.”