Pagi di rumah Raka tak banyak berubah. Kabut tipis menggantung rendah di halaman, dan suara ayam tetangga terdengar lebih jauh dari biasanya. Tapi ada sesuatu yang terasa berbeda di dalam rumah itu—sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata, tapi bisa dirasakan lewat suasana.
Di dapur, wajan mulai memanas. Raka berdiri diam, menatap sekilas ke rak bumbu yang jarang disentuh. Tangannya ragu mengambil botol kecap, lalu mengurungkan niat.
Sudah lama ia tak memasak untuk orang lain. Bahkan untuk dirinya sendiri, kadang hanya sekadar kewajiban. Tapi pagi ini, tanpa berpikir panjang, ia mengambil sebungkus tempe yang masih terbungkus daun pisang.
Tempe itu sudah mulai mengeras. Tapi masih bisa digoreng.
Satu per satu potongan digulingkan dalam adonan bawang putih dan garam, lalu masuk ke minyak panas yang menggelegak pelan.
Aroma khas langsung menyebar.
Aditya muncul di ambang dapur, rambut acak-acakan, seragam belum dipakai.
Dia tidak bicara.
Raka juga tidak menoleh.
Tapi tempe terus digoreng. Sampai satu piring penuh.
Di meja makan, mereka duduk berhadapan. Ada nasi, teh tawar hangat, dan sepiring tempe goreng di tengah meja. Tidak ada lauk lain. Tidak ada obrolan pagi seperti di keluarga lain. Tapi tidak ada dingin juga. Hanya... keheningan yang tak lagi menusuk.
Aditya menggigit satu tempe, pelan.
"Keras," katanya pelan.
Raka mengangguk. "Tempenya udah dua hari."
Aditya tertawa kecil. Lalu langsung menutup mulutnya, seolah takut Raka tersinggung.
Tapi Raka hanya menatapnya sebentar, lalu berkata, “Besok beli baru.”
Mereka makan dalam diam. Tapi bukan diam yang asing. Diam yang... netral. Diam yang biasa terjadi antara dua orang yang sedang belajar tidak saling menyakiti.
Setelah suapan terakhir, Aditya berkata:
“Bapak tau nggak? Bibi Retno nggak bisa masak.”
Raka menatapnya. “Oh, ya?”
“Tempe selalu gosong.”
Keduanya tertawa kecil. Bukan tawa lepas, tapi cukup untuk membuat pagi itu tidak terasa kosong.
Sebelum Aditya berangkat ke sekolah, Raka memberinya bekal—bukan nasi, bukan lauk rumit. Hanya beberapa potong tempe goreng, dibungkus kertas nasi dengan sambal terpisah di plastik kecil.
Aditya melihat bungkusan itu lama. Lalu mengangguk.
"Terima kasih, Pak."
Raka tidak menjawab. Tapi kali ini, ia menatap mata anak itu cukup lama untuk menyadari satu hal:
Mata Sekar tak lagi hanya membawa luka.
Tapi juga... pengingat, bahwa hidup masih berjalan.
Dan pagi itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Raka menyapu halaman rumahnya sebelum berangkat kerja.