Siang itu, langit cerah di Ciamis. Angin bertiup pelan, membawa bau kapur dari dinding sekolah, dan suara anak-anak SD yang sedang main lompat tali di halaman. Raka sedang pulang lebih awal. Libur koreksi ujian. Rumah sepi seperti biasa.
Tapi saat ia membuka pintu ruang kerja, ia tahu ada yang berubah.
Di atas mejanya, terbuka sebuah album foto lama—yang seingatnya ia simpan paling bawah di rak buku, terselip di belakang kamus sastra dan catatan pelatihan guru.
Foto-foto itu sudah usang. Beberapa sudah sobek di pinggirnya. Di antara halaman, ada satu foto kecil: potret Sekar dan Reno saat baru menikah. Sekar tersenyum, mengenakan kebaya, sementara pria di sampingnya—berdasi merah, berambut klimis—tersenyum percaya diri ke kamera.
Raka menarik napas dalam. Tidak marah. Hanya... menegang.
“Pak...”
Aditya berdiri di ambang pintu, tangannya menggenggam satu lembar foto kecil. Bukan yang dari album. Tapi potongan pasfoto lama—Reno, sendirian, mengenakan kemeja putih.
“Ini... Ayah saya?”
Raka menatap foto itu. Lalu menatap mata anak itu.
Ia mengangguk.
Mereka duduk di ruang tamu. Lama. Tanpa kata. Hanya bunyi kipas tua yang berdengung pelan.
Aditya masih menatap foto itu. Jemarinya menyentuh bagian wajah Reno.
“Dia orang yang seperti apa?” tanyanya, akhirnya.
Raka tak langsung menjawab. Di benaknya, kata pertama yang muncul adalah beruntung—karena bisa memiliki Sekar. Lalu ceroboh, karena pergi terlalu cepat. Lalu laki-laki yang bukan aku.
Tapi yang ia katakan hanya satu:
“Dia... ayahmu.”
“Baik?”
“Sekar memilihnya. Itu cukup menjelaskan.”
Aditya mengangguk pelan.
“Bapak... benci dia?”
Pertanyaan itu menusuk. Raka menatap wajah anak itu—wajah Reno, tapi dengan mata Sekar. Sebuah wajah yang membuatnya benci dan luluh sekaligus setiap hari.
“Aku pernah,” jawab Raka jujur. “Sangat.”
Aditya diam.
“Tapi sekarang?”
Raka memejamkan mata sejenak. Lalu membuka lagi.
“Sekarang... dia sudah tidak ada. Dan yang tersisa darinya adalah kamu.”
Anak itu menggigit bibir bawahnya.
“Kalau aku... mirip dia?”
Raka mengangguk. “Fisikmu, ya. Beberapa gerakan tanganmu, juga.”
“Tapi aku bukan dia.”
Raka menatapnya dalam. Kali ini, tak ada jeda.
“Bukan. Kamu bukan dia. Kamu... kamu adalah kamu.”
Aditya menunduk. Menahan sesuatu. Mungkin perasaan yang baru tumbuh. Mungkin kesedihan. Atau mungkin rasa lega karena akhirnya bisa bicara tentang seseorang yang selama ini hanya jadi nama di akta lahir.
Malam itu, sebelum tidur, Raka melihat kamar Aditya masih menyala. Ia mengintip dari pintu.
Aditya sedang menggambar.
Satu sosok pria, duduk membelakangi, di sebuah taman. Di depannya, dua anak kecil berdiri: satu menyerahkan bunga, yang lain memegang buku.
“Siapa itu?” tanya Raka dari balik pintu.
Aditya menoleh.
“Itu... Ayah. Tapi aku nggak pernah lihat wajahnya jelas. Jadi... aku gambar dari belakang.”
Raka tak berkata apa-apa.
Aditya menunjuk dua anak kecil itu. “Yang ini aku. Yang satu lagi... cuma teman imajiner. Biar nggak sendirian.”
Raka mengangguk pelan.
Lalu berkata, hampir tak terdengar:
“Kamu tidak sendirian.”