Baju Hangat di Musim Hujan

Musim hujan di Ciamis datang lebih awal tahun itu. Hujan turun hampir setiap sore. Langit sering gelap meski jam masih menunjukkan pukul dua siang. Udara dingin menembus dinding rumah, menusuk lantai yang selalu terasa lembap.

Raka mulai batuk-batuk kecil sejak dua hari lalu. Tapi yang lebih membuatnya khawatir-meski tak ia akui-adalah perubahan di diri Aditya. Anak itu jadi lebih diam. Matanya sayu. Pulang sekolah langsung ke kamar, dan tidak menghabiskan makan malam.

"Cuma capek, Pak," katanya waktu itu, sambil menyeka peluh di keningnya.

Tapi pagi ini, tubuh Aditya panas. Keningnya membara. Bibirnya kering. Dan yang paling menakutkan bagi Raka-anak itu tidak bangun meski matahari sudah tinggi.

Raka menyentuh dahinya lagi. Lebih panas dari tadi malam.

"Aditya," panggilnya pelan.

Tak ada sahutan.

Raka mulai panik. Ia pergi ke dapur, mengambil termometer tua yang dulu dibeli saat pandemi campak mewabah-dan jarang terpakai lagi sejak itu.

39,7 derajat.

Dada Raka sesak. Ia berdiri cepat, mengambil jaket dan payung, lalu bergegas keluar tanpa sempat sarapan. Warung Bu Haji dekat simpang sudah tutup karena banjir kecil. Ia lari ke apotek kecil di dekat masjid desa, membelok tanpa melihat kiri kanan.

"Anak saya panas tinggi," katanya sambil ngos-ngosan.

Petugas apotek memandangnya, heran. Raka bukan orang yang dikenal emosional.

---

Setengah jam kemudian, ia kembali ke rumah. Aditya masih di tempat tidur, wajahnya pucat, nafasnya pendek.

Dengan tangan gemetar, Raka menyeduhkan teh manis hangat dan menyiapkan kompres.

Sambil mengganti kain basah di dahi anak itu, ia bergumam:

"Bertahan ya, Dit... kamu harus bertahan."

Aditya menggeliat pelan. Matanya setengah terbuka.

"Pak..." bisiknya.

Raka langsung mendekat. "Iya?"

"Bapak... marah?"

Raka tercekat. "Marah kenapa?"

"Karena aku bikin ribet..."

Dan kalimat itu menghancurkan semua sisa jarak yang masih ada.

Raka menarik napas dalam. Lalu, pelan-pelan, ia meraih tangan anak itu-dingin dan basah karena keringat. Ia menggenggamnya erat.

"Dengar," katanya, nyaris bergetar. "Aku bukan marah. Aku takut. Aku belum siap kehilangan kamu juga."

Aditya diam. Tapi air matanya mengalir perlahan. Raka mengusapnya dengan jari kasar, kaku, tapi hati-hati.

Malam itu, Raka duduk di sisi tempat tidur, tak tidur, tak membaca, tak menulis.

Ia hanya berjaga. Mengganti kompres. Memeriksa napas anak itu.

Dan saat hujan turun deras di luar, menabuh genting tua rumah itu, Raka berdiri, membuka lemari, dan mengambil sesuatu yang ia simpan selama bertahun-tahun.

Sebuah baju hangat kecil berwarna abu-abu. Dulu dibelikan untuk murid favoritnya yang pindah sekolah, tapi tak pernah sempat diberikan.

Kini, ia memakaikannya ke tubuh Aditya yang menggigil.

Dan membisikkan kalimat yang dulu tak pernah berani ia ucapkan bahkan pada Sekar:

"Anakku..."

Pagi hari, demam Aditya turun. Tapi ada sesuatu yang tinggal: sentuhan hangat, dan tatapan Raka yang, untuk pertama kalinya, tidak lagi penuh ragu.