Surat dari Sekolah

Hari itu, Raka menemukan sebuah amplop kecil di tas Aditya, diselipkan rapi di sela buku tulis. Warna amplopnya cokelat muda, berlogo sekolah dasar tempat Aditya belajar. Di bagian depan, ditulis tangan:

Kepada: Wali Murid Ananda Aditya Pramudita

Harap hadir: Hari Senin, pukul 10.00 WIB

Tempat: Ruang Guru SDN Cikoneng 2

Raka menatap tulisan itu lama. Bukan karena isi suratnya mengejutkan, tapi karena ini pertama kalinya ia diakui secara resmi sebagai wali murid. Kata itu asing baginya. Rasanya seperti pakaian yang terlalu besar—tapi tidak bisa ditanggalkan.

Ia tak langsung bertanya pada Aditya. Tapi malam itu, ia menyimpan surat itu di buku hariannya. Halaman kosong. Seperti dirinya, yang baru mulai belajar menjadi tempat berpijak.

Hari Senin datang dengan langit bersih dan udara dingin. Raka mengenakan kemeja putih yang biasa ia pakai untuk rapat guru, dan celana kain abu-abu yang sedikit kusut. Ia naik motor pelan menuju SDN Cikoneng 2, dengan detak jantung yang anehnya tak stabil.

Di ruang guru, ia disambut oleh seorang perempuan muda berkerudung cokelat susu—Bu Iin, wali kelas Aditya.

"Terima kasih sudah datang, Pak Raka," ucapnya sopan.

Raka mengangguk. Duduk. Jemarinya meremas lutut sendiri.

"Ada yang perlu kami sampaikan... tentang Aditya."

Raka mengangkat alis. “Kenapa? Dia bermasalah?”

Bu Iin tersenyum pelan. “Tidak dalam arti itu. Tapi... kami perhatikan, Aditya anak yang sangat tertutup. Dia pintar, tenang, tapi sering menarik diri. Terutama kalau ada tugas bertema keluarga atau masa depan.”

Raka menunduk. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba menyelinap.

"Kemarin dia diminta menggambar cita-cita. Anak-anak lain menggambar jadi polisi, dokter, guru. Aditya menggambar rumah."

"Rumah?"

"Ya. Rumah kecil, dengan dua jendela terbuka, dan di depannya ada dua orang duduk membelakangi. Di bawahnya dia tulis: 'Aku ingin tinggal di tempat yang tidak bikin aku takut pulang.'"

Raka memejamkan mata.

Ia tak tahu—lukanya telah ikut tumbuh dalam tubuh kecil itu.

"Anak ini tidak kekurangan cinta, Pak," lanjut Bu Iin, lembut. "Tapi mungkin... belum tahu bentuknya seperti apa."

Raka mengangguk pelan. Tak banyak bicara. Tapi matanya tak bisa menyembunyikan rasa sesak yang mulai naik ke dada.

"Dia bilang," tambah Bu Iin, "bahwa ibunya sudah meninggal. Dan dia tinggal bersama ‘orang yang kenal ibunya, tapi tidak pernah cerita tentangnya.’"

Raka terdiam lama. Sangat lama.

Lalu akhirnya ia berkata:

"Saya belum tahu bagaimana caranya. Tapi saya sedang belajar. Demi dia."

Dan saat keluar dari ruangan itu, langkah Raka terasa berat.

Tapi juga pasti.

Sore harinya, di rumah, Aditya sedang duduk di lantai, menggambar lagi. Kali ini tanpa banyak detail—hanya dua tangan yang saling menggenggam, digambar dari dekat.

Raka duduk di depannya. Lalu bertanya, pelan:

“Kamu ingin tahu lebih banyak tentang ibumu?”

Aditya menoleh. “Iya.”

Raka menarik napas dalam.

“Besok, kita akan buka kotak lamaku bersama. Di dalamnya ada... hal-hal yang aku simpan terlalu lama. Tapi aku rasa... sekarang sudah waktunya.”

Aditya mengangguk.

Dan kali ini, ia yang lebih dulu menggenggam tangan Raka.