Hari Minggu pagi. Matahari naik perlahan di balik kabut tipis. Halaman rumah dipenuhi bau tanah yang lembap, daun-daun jati berserakan di teras.
Raka menyapu pelan, langkahnya lambat tapi teratur. Di dalam, terdengar suara panci bergemerincing—Aditya sedang belajar merebus air. Ia bilang ingin mencoba membuat teh sendiri.
Tak lama, anak itu keluar membawa dua cangkir. Tangannya masih kaku memegang nampan, tapi cangkir tidak tumpah.
“Tehnya kebanyakan gulanya,” katanya sambil nyengir.
Raka menyeruput sedikit. “Manis sekali.”
Aditya duduk di sampingnya. Angin pagi membelai pelan wajah mereka.
Hening. Tapi nyaman.
Lalu, Aditya membuka mulut. Suaranya pelan.
“Boleh aku tanya sesuatu?”
Raka menoleh. “Tentu.”
“Kalau Ibu masih hidup... menurut Bapak, apa dia akan bahagia lihat kita sekarang?”
Pertanyaan itu seperti angin yang tiba-tiba menembus tulang. Raka tak langsung menjawab. Ia memandangi halaman, lalu menjawab pelan:
“Aku rasa... iya. Bukan karena semuanya sempurna. Tapi karena kita tidak saling menjauh.”
Aditya mengangguk. Lalu menarik napas panjang.
“Pak…”
Raka menoleh lagi. Kali ini, mata Aditya menatapnya lurus—jernih, tapi gemetar.
“Kalau... aku manggil Bapak ‘Ayah’... Bapak keberatan?”
Raka tak sempat menjawab.
Karena tenggorokannya mengatup.
Matanya mulai basah.
Aditya melanjutkan:
“Karena aku capek bilang ‘Pak’. Karena yang ngasih aku makan, yang rawat waktu aku demam, yang dengerin aku cerita soal Ibu… itu bukan cuma ‘Pak’.”
Raka menutup matanya.
Lalu, akhirnya, dengan suara serak yang tak bisa ia tahan:
“Aku... sangat bersedia.”
Aditya tersenyum. Lalu bersandar ke bahu Raka.
Dan di situlah, di teras rumah tua di Ciamis, pada pagi yang biasa dan sunyi, satu kalimat sederhana akhirnya lahir:
“Terima kasih, Ayah.”
Dan dunia, yang dulu penuh luka, kini terasa utuh. Tidak sempurna. Tapi cukup.