Mata Ibunya

Musim hujan belum berakhir. Tapi pagi itu cerah. Burung-burung gereja beterbangan di halaman, hinggap sebentar di genting, lalu terbang lagi. Raka duduk di bawah pohon mangga, mengenakan sweater lamanya. Di sampingnya, Aditya membentangkan kertas gambar, pensil warna tersebar di rumput.

Sudah beberapa minggu sejak Aditya memanggilnya Ayah untuk pertama kalinya. Kata itu tak ia ucapkan setiap hari. Tapi saat ia ucapkan, Raka tahu: dunia telah berubah.

Raka mengangkat cangkir tehnya. Hangat. Diam. Tapi dalam hatinya, segala sesuatu sudah mulai menemukan tempatnya.

"Kau menggambar apa kali ini?" tanyanya.

Aditya menoleh, tersenyum. "Potret."

"Potret siapa?"

"Entahlah. Mungkin... potret yang belum pernah ada."

Raka mengangguk. Ia paham maksud anak itu.

Beberapa menit kemudian, Aditya meletakkan pensilnya. Ia mengangkat gambarnya ke arah cahaya matahari.

Sebuah wajah. Wajah perempuan.

Rambut disanggul. Senyum tipis. Sorot mata yang sangat ia kenal.

"Mata itu," kata Raka pelan, "mata yang dulu membuatku jatuh cinta. Tapi sekarang... juga mata yang membesarkanku kembali."

Aditya menatap gambar itu. "Aku juga nggak ingat jelas wajah Ibu. Tapi aku selalu ingat matanya. Mereka tinggal di sini," ia menunjuk dadanya.

"Dan sekarang... juga tinggal di wajahmu," sambung Raka.

Aditya diam. Lalu berkata pelan:

"Kadang, aku takut Ibu benar-benar hilang."

Raka menoleh.

"Ibu tidak hilang, Dit. Dia tinggal di suaranya yang kau dengar di kaset. Di pita merah yang masih kusimpan. Di surat yang kau baca. Di mimpi yang kau ceritakan. Di teh manis yang terlalu banyak gula. Dan..."

Ia menunjuk wajah Aditya.

"...di matamu."

Aditya tersenyum kecil. "Kadang, aku lihat Bapak seperti sedang bicara dengan Ibu... pakai tatapan."

"Karena aku masih sering bicara dengannya. Dalam hati."

Angin berembus pelan. Beberapa daun mangga jatuh di sekitar mereka.

Raka berdiri, membersihkan celananya dari rumput.

"Mau kita bingkai gambar itu?" tanyanya.

Aditya mengangguk.

"Taruh di mana?"

Raka berpikir sejenak. Lalu menjawab:

"Di ruang tamu. Di bawah foto Sekar. Biar ketika orang datang dan tanya siapa itu... kita bisa jawab: itu bukan Sekar. Bukan Aditya. Tapi cinta-yang tetap tinggal."

Malam itu, sebelum tidur, Aditya menatap foto ibunya di dinding. Lalu menatap lukisan yang baru digantung ayahnya.

"Selamat malam, Bu," bisiknya.

Lalu menoleh ke kamar sebelah. "Selamat malam, Ayah."

Dan di kamar itu, Raka menutup buku hariannya. Di halaman terakhir, ia menulis:

> Aku pernah mencintai Sekar dalam diam.

Kini, aku mencintai Aditya... dengan seluruh suara yang akhirnya berani aku keluarkan.

Dan di antara mereka, ada satu hal yang menyatukan kami:

Mata Ibunya.

TAMAT