Ridwan_Febriansyah

Di dunia digital yang nyaris tanpa batas, dua orang hidup dalam topeng mereka masing-masing.

Hana, seorang VTuber populer bernama Lumi, menyembunyikan wajah dan identitas aslinya dari jutaan penggemar. Sementara itu, Rei, seorang peretas misterius bernama Zake, menghabiskan hari-harinya meretas sistem demi membongkar kejahatan digital... dan sedikit untuk iseng.

Mereka bertemu-tanpa tahu identitas satu sama lain-dalam sebuah forum rahasia. Awalnya saling sindir, lalu makin dekat. Tapi saat mereka saling curiga, perasaan justru tumbuh. Sialnya, di balik semua ini, ada sistem gelap bernama Root Protocol yang ingin mengendalikan seluruh dunia maya... dan mereka berdua terseret di tengahnya.

Di balik layar, di balik nama samaran, mereka harus memilih: terus bersembunyi, atau saling percaya.

Kisah ini adalah tentang dua orang asing yang saling jatuh cinta -
bukan pada wajah, tapi pada versi paling jujur dari diri masing-masing.

Encrypted Love: Cinta dalam Mode Anonim

“Rei. Hana. Kalian satu kelompok, ya. Deadline minggu depan.”

Satu kalimat dari Bu Dita, dosen mata kuliah “Media dan Teknologi Virtual”, langsung bikin Hana pengen menghilang dari bumi. Otomatis, dia nengok ke arah pojok kelas—tempat Rei duduk dengan hoodie-nya yang kayak gak pernah dicuci dan wajah datar tanpa dosa.

Rei cuma ngangguk kecil. No ekspresi. No emosi. No belas kasihan.

Hana langsung bersandar ke kursi, ngebatin keras: Kenapa harus dia?! Dari sekian banyak manusia di kelas ini, kenapa harus dia?!

Di sisi lain, Rei juga punya pikiran sendiri.

Serius nih? Sama dia? Si ‘buffering girl’?

Bukan karena dia gak suka Hana secara personal, tapi ya… dia tuh selalu telat, sering nge-freeze kalau ditanya, dan entah kenapa bawaannya kayak panik mulu. Kayak laptop RAM 2GB dipaksa buka 10 tab Chrome.

Yang ironis—banget—adalah malam sebelumnya dia habis ngobrol panjang sama Lumi soal pentingnya kolaborasi dan komunikasi.

Ya, komunikasi. Sesuatu yang kayaknya bakal jadi tantangan berat bareng Hana.

Setelah kelas bubar, mereka akhirnya berdiri berdua di depan pintu kelas. Sunyi. Kaku. Nggak ada yang buka suara duluan.

“Ehm…” Hana mulai duluan. “Jadi... tugasnya mau dibagi gimana?”

“Bebas. Mau ambil bagian mana?” jawab Rei santai, sambil ngelirik ponsel.

“Aku bisa bagian… riset dan narasi. Tapi… kamu bisa coding-nya kan?”

Hana ngerasa kayak ngomong sama tembok Wi-Fi.

“Jangan ‘hmm’ doang dong,” gumamnya, setengah kesel.

“Ya udah. Aku coding, kamu riset. Deadline hari Jumat. Jangan mepet, ya.”

Sebelum Hana sempat bales, Rei udah jalan duluan sambil masukin tangan ke kantong jaketnya. Padahal dalam hati, dia juga agak nyesel udah ngomong gitu. Tapi gaya cool udah jadi kebiasaan. Sulit lepas.

Malamnya, suasana beda 180 derajat.

Hana udah duduk depan laptop, headset nyangkut di kepala, sambil cek Discord.

Lumi: “Menyebalkan. Aku sekelompok sama cowok ngeselin di kelas. Sok cool. Pelit kata. Sumpah pengen kutarik hoodie-nya.”

Null: “Wah, selevel itu, ya? 😂”

Lumi: “Iya! Tapi katanya jago coding. Jadi... ya sudahlah.”

Null: “Mungkin dia cuma awkward aja, bukan nyebelin.”

“Kayaknya gue ngeselin juga di dunia nyata, ya,” bisiknya sendiri.

Tapi dia gak tulis itu. Biarin aja dulu.

Besoknya, mereka ketemuan di ruang perpustakaan buat ngerjain tugas bareng. Hana bawa laptop pink-nya yang penuh stiker, Rei duduk di seberang dengan laptop hitam polos yang udah kelihatan tua tapi isinya full tools hacker.

Mereka kerja... dengan suasana canggung tapi efektif.

Kadang Hana nyengir kecil karena ide yang Rei kasih ternyata bagus. Kadang Rei ngelirik Hana yang ternyata bisa mikir cepat kalau lagi gak gugup. Mereka bahkan gak sadar udah ngobrol dua jam tanpa ribut.

“Eh... kamu kayak familiar deh suaranya.”

“Kayak... suara seseorang yang aku denger tiap malam.”

Rei senyum tipis. “Mungkin kamu halu. Kurang tidur, ya?”

Hana manyun. “Yah, mungkin sih…”

Tapi entah kenapa... Rei mulai mikir.

Apa dia harus kasih clue? Atau biarin aja dulu?

Tugas Kelompok, Bukan Takdir