Randy dan Ditya menoleh ke arah wanita itu. Dia memiliki tinggi sekitar 160cm. Rambutnya terurai panjang dan bergelombang. Pipinya chubby, dan wajahnya putih merona. Dia memakai kemeja panjang berwarna merah dan rok hitam selutut. Penampilannya terlihat elegan layaknya seorang wanita karir. Wanita itu melambaikan tangannya dan tersenyum kepada Randy. Wanita itu berjalan menghampiri Randy. Setiap gerak-geriknya menampilkan keanggunan seorang wanita.
"Randy, kamu ada bimbingan juga hari ini?" tanyanya lembut.
"Iya. Tapi udah selesai."
"Oh, gitu. Kamu udah makan? Bagaimana kalau kita makan bareng?" tanya dia antusias.
"Maaf ya, tapi aku udah janjian mau makan sama Ditya. Kita duluan ya." Randy menarik tangan Ditya dan merekapun berlalu meninggalkan wanita itu sendiri.
Ditya merasa canggung karena kejadian barusan. Dia merasa kalau wanita itu pasti ingin sekali makan bersama Randy. Tapi Randy justru menolak dan memilih makan bersama dia.
Setelah kira-kira 10 menit perjalanan, Randy menghentikan motornya di depan Rumah Makan Khas Sunda.
"Kak, kita mau makan disini?"
"Iya. Kenapa? Kamu nggak suka? Atau kamu mau makan makanan yang lain?" tanya Randy bingung.
"Kenapa kita nggak makan di pinggir-pinggir jalan dekat kampus sih? Kaya makan *tutug oncom. Kan enak."
Randy langsung tahu alasan kenapa Ditya menolak makan ditempat itu. Semenjak ayahnya meninggal, kondisi perekonomiannya pun tidak seperti dulu lagi. Mereka bisa makan dan sekolah dari 2 rumah yang dia kontrakan dan berdagang pulsa. Ditya pun berjualan online untuk menambah uang saku dan membeli beberapa buku. Terkadang dia juga mendapatkan uang tambahan dari saudara-saudara ayahnya. Ditya juga bisa melanjutkan kuliah karena mendapatkan beasiswa dari kampus tersebut. Karena itulah Ditya harus bisa mengatur keuangannya sebijak mungkin.
"Aku lagi pengen makan disini. Disini juga ada tutug oncom kok. Dan karena aku yang ajak kamu kesini, jadi aku yang traktir." Randy berusaha meyakinkan Ditya.
"Tapi, kak.."
"Udah ayo, jangan kelamaan mikir. Memangnya kamu mau tanggung jawab kalau aku mati kelaparan disini?" ujar Randy sambil menarik tangan Ditya ke dalam rumah makan.
Mau tidak mau Ditya mengikuti Randy ke dalam. Mereka pun duduk di salah satu spot yang nyaman dan memiliki view yang bagus. Mereka memesan makanan dan minuman. Sekitar 10 menit kemudian, pesanan mereka pun datang.
"Kak, ngomong-ngomong, siapa perempuan yang ngobrol sama kakak di parkiran tadi?"
"Oh, itu. Dia Sarah. Teman satu jurusan. Beberapa kali kami sempat satu kelas di beberapa mata kuliah."
"Kayanya dia suka deh, sama kakak." ucap Ditya sambil menyendokkan makanannya ke dalam mulutnya.
"Sok tahu kamu," Randy tertawa.
"Kak, I'm serious. I can see it clearly. Kenapa kakak malah nolak ajakan dia? Memangnya kakak nggak suka sama dia?"
"Nggak."
"Sama sekali?" tanya Ditya tidak percaya.
"Ditya, aku benar-benar nggak suka sama dia." wajahnya bersungguh-sungguh.
"Kenapa kakak nggak coba jalan dan Nerima ajakan dia tadi? Siapa tahu kalian cocok."
"Loh, kan aku udah lebih dulu ajak kamu makan. Masa harus aku batalin cuma untuk makan sama dia."
"Kalau kakak main Mulu sama aku, kapan kakak bisa punya pacar?" pikir Ditya.
"Kalau aku punya pacar, lalu siapa yang bakalan nemenin kamu disaat teman-teman kamu punya urusan masing-masing seperti hari ini?" Randy membalikkan kata-kata Ditya dengan nada bercanda. "Lagipula aku mau fokus dulu sama skripsi, biar cepet lulus."
"Kak..."
"Apalagi Ditya?"
"Janji ya, jangan jadikan aku alasan untuk kakak menghindari wanita? Kakak nggak usah mikirin nanti aku sama siapa atau yang lainnya. Aku bukan anak kecil lagi. Aku bisa jaga diriku sendiri. Aku masih bisa melakukan hal yang menyenangkan sendiri." Ditya merasa sudah menjadi beban dan alasan bagi Randy untuk menyendiri.
"Ok."
Mereka pun melanjutkan makan mereka dengan sesekali membicarakan topik-topik ringan mengenai kehidupan kampus mereka. Selesai makan, Ditya meminta Randy untuk mengantarnya kembali ke kampus. Sesampainya di kampus, Randy pun langsung pamit pulang pada Ditya.
Ditya memutuskan untuk menunggu kelas selanjutnya di bangku taman yang ada di dekat ruang kelas jurusannya. Dia masih saja memikirkan kejadian tadi. Selama ini Randy memang hanya menghabiskan waktunya untuk belajar, himpunan mahasiswa, bermain basket, santai di rumah atau menemani Ditya kemanapun dia pergi. Ditya belum pernah mendengar Randy pergi dengan seorang wanita kecuali dengan dirinya dan ibunya. Bahkan ketika dia sedang memiliki pacar. Dia selalu menolak untuk sekedar nonton film, makan diluar dan sebagainya. Oleh sebab itu, hubungan mereka tidak pernah berlangsung lama.
Ketika Ditya sedang asik dengan lamunannya sendiri, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya.
"Hei, sendirian aja?"
"Eh, kamu, Bar." ucap Ditya setengah terkejut tersadar dari lamunannya. "Iya nih, sendirian. Kamu sendiri tumben nggak bareng sama Raja dan Taufik?"
"Mereka lagi pada main game PUBG dikosan. Aku bosan, jadi ke kampus duluan. Ternyata ada yang udah standby juga. Padahal kelas masih satu jam lagi." jawab Akbar.
Ditya mengangguk.
"Oh ya, kita kan sekelompok di acara peresmian Mahasiswa Baru nanti. Tapi aku belum punya nomor handphone atau WhatsApp kamu. Boleh aku minta nomornya? Supaya nanti gampang komunikasinya." pinta Akbar.
Akbar memang satu kelompok dengan Ditya bersama dengan lima orang lainnya untuk acara peresmian MaBa nanti. Panitia sengaja membagi-bagi mereka ke dalam kelompok untuk beberapa bagian acara seperti post to post dan lainnya sehingga mereka bisa lebih akrab lagi satu sama lain.
Ditya akhirnya mengeluarkan handphone nya dan menunjukkan nomor WhatsApp nya kepada Akbar. "Ini nomor aku. Maaf nggak aku sebut satu per satu soalnya aku nggak hafal sama nomornya."
"It's Ok." Akbar menambahkan nomor Ditya ke dalam kontak handphonenya. "Thanks a lot." ucap Akbar sambil tersenyum.
"Never mind." balas Ditya santai.