Delusi

"Kamu..., mana bapakmu?" Ku cengkeram tangan wanita yang ketakutan dihadapanku. Aku menyadari raut gemetarnya, namun aku harus memberitahu mimpiku agar aku bisa selamat dari kebingungan ini. "Bapakmu mati, kan? Ini fotomu, to?" ku acung-acungkan selembar foto yang membuatnya semakin bungkam.

Tak ku sangka ia menjerit histeris, lalu puluhan orang datang dan menjauhkanku darinya.

"Pak, tolong, Pak! Ema takut." Wanita itu berpindah dengan jarak yang lebih jauh dariku.

Aku berusaha meyakinkan pada apa yang ada di sekelilingku bahwa pendapatku harus didengar. Bahwa perihal yang aku sampaikan sangat penting, hingga dua sosok yang semula mengisi lembar foto itu muncul di sebelah wanita bernama Ema.

Aku tak bisa berbicara. Pikiranku bertarung memperebutkan pendapat apakah ini nyata, atau tidak. Lalu tubuhku mengejang, dan membuatku tak sadarkan diri.

*

Sekelilingku ramai. Aku merasakan punggungku beralas kasur yang nyaman, namun tubuhku yang tak bisa bergerak membuatku gusar.

Ada simpul pada setiap sudut ranjang yang berhenti di pergelangan tangan dan kakiku. Seseorang mencoba membuatku tak dapat melakukan apapun. Aku memanggil,meminta tolong dengan cara yang histeris, namun orang-orang di luar hanya melanjutkan celoteh mereka karena tahu bahwa ketidak warasanku berbahaya.

"Mas Anto," seseorang datang, ia berusaha menenangkanku. "Mas Anto jangan teriak-teriak, malu didengar banyak orang." Sosok itu seperti tak asing. Seperti tetanggaku, tapi aku lupa namanya.

Aku memohon untuk dilepaskan, tapi merka ragu.

"Bagaimana ini?" Batinku resah, "Bagaimana dengan anak itu?"

Aku mencoba tenang dan menyusun kalimat lengkap agar orang-orang yang berkumpul di sekitarku paham.

"Pak, bagaimana dengan wanita itu, Pak? Wanita yang di foto itu?"

Pria yang berdiri di samping tetanggaku melayangkan tanya.

"Itu, loh. Foto yang mas Anto temukan di jalan, yang setiap hari ia bawa sepanjang hari. Masa kamu tidak tahu?" 

Lalu mereka melanjutkan pembicaraan tentangku tanpa peduli bahwa aku pun masih mengerti maksud mereka. Tentang pembicaraan bahwa aku telah cukup lama ditimpa kemalangan, tentang delusi, dan mimpiku yang tidak nyata.

"Aku tidak gila, Mas. Aku bisa buktikan, kok!" Mereka meloncat saat pembicaraannya terpotong jerit.

Aku meronta, histeris, kalut karena pendapatku dibantah. Tak ada yang benar di sini. Tak ada yang paham apa yang sebenarnya terjadi kecuali aku.

Yang ku ingat selanjutnya hanya suara yang bergema dari pita suara ke kepalaku, lalu beberapa orang menggotongku untuk diantar pada rumah sakit jiwa.

Aku kalah, dan kekalahan ini membuatku tak bisa menolong wanita di dalam foto.

Bersambung