Ketika melihat Leo berada di hadapannya, entah kenapa Anna memikirkan kejadian di malam lusa kemarin. Jujur saja, beberapa kali di kelas gadis itu kedapatan tengah menatap Leo. Ia merasakan perasaan bersalah karna telah mengingkari janjinya pada laki-laki itu.
"Maafin gue, Yo. Gue tahu gue salah."
Ucap Anna, tatapannya sendu. Tapi siapapun bisa menyadari ada penyesalan dari nada bicara gadis itu.
Leo menatap tajam Anna. Ia berjalan mendekat, lantas kedua tangannya mengunci lengan Anna dengan keras membuat gadis itu meringis kesakitan.
"Oh ya, terus kalau lo tahu lo salah, kenapa lo tetap ngelakuin itu ke gua?!"
"Maaf."
Anna menundukan kepalanya tidak berani menatap ke arah Leo. Pancaran mata laki-laki itu seakan telah menusuk ke dalam relung hatinya.
Tapi Leo tak menghiraukannya. Bukannya melepaskan kedua tangannya, ia malah semakin keras mencengkram lengan Anna, hingga gadis itu pun menggigit sebagian bibir bawahnya menahan sakit.
"Lo tahu kenapa gue marah? karna, gue suka sama elo, Anastasya!"
Napas Leo mulai tidak beraturan meskipun kata-kata yang diutarakannya diucapkan dengan tegas. Kontan hal itu membuat beberapa orang yang menyaksikannya tersentak. Begitu pun dengan Anna, ia membulatkan mata sempurna karnanya.
"Sekarang lo paham kan? itulah kenapa gue amat sangat kecewa sama lo!"
Anna menghela napas panjang. Ia menatap lekat-lekat lelaki itu.
"Sejak kapan, Leo? kenapa lo gak pernah bilang?"
Leo tertawa sinis, matanya menyalang tajam menatap Anna.
"Enggak usah pura-pura, Anna."
Tak lama, Leo mendekatkan mulutnya, ia membisikan kata tepat di telinga gadis itu.
"Lo sebenarnya tahu kan kalau gue suka lo dari awal. Tapi lo acuhin gue hanya demi cowok itu, yang jelas-jelas cintanya enggak lebih besar dari gue. Apa karna dia lebih punya segalanya dibanding gue sampai lo mati-matian ngejar-ngejar dia? Lo, mu-ra-han."
Anna tercengang dengan apa yang di dengarnya, ia menggeleng lemah seakan tak percaya akan setiap kata yang meluncur dari mulut laki-laki itu.
"Sumpah, gue enggak ngerti, Yo. Apa yang membuat lo berpikir sepicik itu tentang gue?!"
Leo terkekeh pelan.
"Apa lagi? bukankah memang semua sudah sangat jelas. Hanya cewek bodoh yang tega menyia-nyiakan cowok yang benar-benar tulus mencintainya, demi cowok brengsek!"
Setelah berkata itu, Leo melepaskan tangannya dengan paksa hingga Anna terhuyung ke belakang, lalu meninggalkan Anna yang hanya bisa terdiam menatap sendu kepergian punggung laki-laki itu. Sampai pada akhirnya...-
Prok Prok Prok
Suara tepuk tangan terdengar memenuhi ruangan.
Anna bernapas lega, lalu berbalik ke arah segerombolan murid yang duduk di lantai ruang teater. Sebagian besar menatapnya dengan senyum lebar. Hingga di mana seseorang bangkit, menghampiri dan merangkul pundak gadis itu.
Seinget Anna, namanya Disya. Murid kelas sebelah dirinya.
"Gue percaya lo bisa ekting, secara nyokap lo artis. Kenapa lo gak ikut teater beneran saja sih, An?"
Anna terkekeh singkat.
"Gue gak tertarik, atau mungkin belum tertarik saja."
Disya mengangguk paham.
"Oke, pokoknya selamat datang di keluarga teater SMA Academy, kami yakin lo bakal happy, dan yang pastinya enggak akan pernah nyesel sudah gabung."
"Gue bakal berusaha buat enggak ngecewain kalian."
Setelah itu, para anggota yang lain pun saling memperkenalkan diri masing-masing. Hampir dari mereka memuji penampilan Anna juga Leo.
Nyatanya, senyum yang dipamerkan Anna sejak tadi tidak mewakili perasaannya. Ia lega, bahkan dibilang sangat lega karna telah menyelesaikan tes seleksi yang menurutnya tidak penting itu, jika bukan hanya karna demi kepentingan nilai kesenianya diakhir semester. Tapi, Anna tidak pernah menyangka ektingnya dengan Leo akan mendapat reaksi yang sebegitu menabjukan. Ia sendiri masih bisa merasakan sakit pada kedua lengan yang dicengkram laki-laki itu tadi. Entah kenapa, ia merasa Leo melakukan itu dengan sengaja.
"Maaf soal yang tadi, gue lost control. Apa yang tadi itu sakit?"
Leo datang dengan tatapan menyesal. Sementara Anna yang melihat itu menghembuskan napas.
"Iya, sakit tahu! segitu dendamnya lo sama gue soal kemaren."
Leo terkekeh.
"Udah gue bilang, gue enggak marah. Lagian kemaren juga tiba-tiba ban motor gue bocor di tengah jalan. So, maaf.. gue juga gak bisa nyusul lo. Takut kelamaan lo nunggu gue-nya."
Katanya dusta. Sementara Anna menjawab mengangguk, Memang saat itu juga dirinya mendapat pesan dari laki-laki itu, sesuai dengan apa yang dikatakannya tadi. Walau entah kenapa Anna tetap merasakan rasa bersalah.
"Kalian berdua hebat! Gue pikir kalian berdua cocok dapat peran di pensi nanti."
Puji Jasmine tiba-tiba seraya memberi jempol di kedua tangannya. Anna dan Leo hanya terkekeh mendengar itu. Kemudian Jasmine pun menepuk-nepukan keras tangannya seakan meminta perhatian orang-orang di ruangan itu.
"Okey, guys! boleh gue minta perhatiaannya sebentar. Kita akan ngomongin dulu buat pensi nanti."
***
Jadi, sumpah lo, An? Gila! gue enggak nyangka si Revan datengin lo juga."
Anna mengangguk semangat menjawab pertanyaan Karin seraya memutar-mutar minuman kaleng yang sepertiganya sudah habis diminum. Siang ini sepulang sekolah, Anna dan kedua sahabatnya tengah berada di kantin. Setelah sebelumnya gadis itu melakukan tes seleksi drama di kelas teater, pun dengan Karin dan Manda akan pilihannya.
Dia menceritakan bagaimana terkejutnya ia saat melihat Revan datang kerumahnya kepada kedua sahabatnya itu, padahal laki-laki itu sempat menolak ajakan Anna sebelumnya.
Tanpa sadar, Anna tersenyum mengingat malam itu.
*Flashback On.
"Kok lo udah nyam...-"
Kontan, Anna menghentikan ucapannya tatkala melihat siapa yang terduduk di sofa. Dan satu hal yang pasti, gadis itu membulatkan mata sempurna karnanya.
"Revan?"
Dilihatnya Revan tengah memandang intens dirinya dengan kedua tangannya yang dilipat menjadi satu. Lantas laki-laki itu pun bangkit dari duduknya dengan ekspresi yang sulit dideskripsikan.
"Kenapa? kamu sedang menunggu seseorang selain aku?
Anna hendak membuka mulutnya mengatakan sesuatu, sebelum akhirnya..-
"Sudahlah, sebaiknya kita pergi sekarang. Sebelum terlalu malam."
Katanya seraya melihat arloji di tangannya.
"Tapi..-"
"Mau pergi atau tidak?"
"Ah, iya."
Anna mengerjap, senyuman tercetak di bibir gadis itu. Melihatnya, Revan pun mengangguk lantas berbalik melangkah menuju luar rumah.
Anna mematung tatkala melihat punggung laki-laki itu menjauh. Ia berusaha menahan jeritnya dengan cara menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Tak lama, kakinya melangkah cepat mengikuti laki-laki itu.
*Flashback Off.
"Lah, malah senyum-senyum dia. Ngayal terooos!"
Karin meledek melihat tampang Anna yang tengah kasmaran itu. Sementara Manda hanya tertawa jenaka mendengarnya.
"Sirik saja lo berdua!"
Anna berdecal sebal, tiba-tiba matanya menangkap Leo yang tengah bermain basket di lapangan dari balik kaca jendela kantin.
Ia menopang dagu dengan satu tangannya serta menggigit jari telunjuknya seraya terus memperhatikan laki-laki itu.
Ingatan Anna masih segar akan kejadian di kelas teater. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Bukan hanya sekedar sandiwara belaka, tapi ia merasa melihat suatu kesungguhan dari ucapan Leo melalui matanya. Itu seperti, sesuatu yang sulit diungkapkan.
Anna menggeleng-gelengkan kepala.
Tidak!
Tidak seharusnya ia memikirkan hal macam-mecam tentang laki-laki itu.
Mungkin ia hanya merasa bersalah karna tidak menempati janjinya pada Leo. Tapi, yang dikatakan laki-laki itu sebelumnya juga telah berhasil membuat Anna melupakan rasa bersalahnya.
Anna yang sibuk berkutat dengan pikirannya, hingga tidak menyadari Manda yang duduk tepat di sampingnya memperhatikan gadis itu. Ia melihat Anna yang sadari tadi melihat ke arah luar jendela.
Gadis itu merasakan kembali denyutan sakit pada hatinya, ia merasakan perasaan takut. Ya, Manda cukup tersentak saat tahu apa yang Anna lihat, tanpa tahu apa yang gadis itu pikirkan.
***
Saat pulang, Manda menjalankan si putih -mobilnya, dengan pikiran kusut. Ingatannya masih seputar Anna yang terus memperhatikan Leo di kantin. Ia juga melihat bagaimana gadis itu selalu menatap laki-laki itu saat di kelas.
Ya, jelas Manda menyadarinya.
Terus terang, ia lelah dengan perasaannya itu. Kenapa sulit sekali mengenyahkan Leo dari pikiran dan hatinya. Jelas-jelas laki-laki itu sekalipun tidak pernah melihat dirinya.
Manda menghembuskan napasnya gusar.
Tiba-tiba ia merasakan beberapa kali tubuhnya terdorong ke depan dengan cepat lalu kembali mundur.
Shit!
Saat itu juga Manda memukul setirnya keras.
"Kenapa harus mogok sekarang sih!"
Manda keluar dari mobilnya dengan kesal. Ia membuka kap mobilnya, dan saat itu pula asap keluar dari mesin mobil itu. Manda berdecak, siang ini dirinya harus menerima kesialan. Padahal si putih -mobilnya itu baru di servic beberapa hari yang lalu.
Gadis itu merogoh ponselnya di saku, dia akan mencoba menghubungi seseorang. Tapi nyatanya, ponselnya mati karna habis batre.
Ugh!
Manda putus asa, mana mungkin dia mendorong mobilnya sendiri. Mana jalan daerah yang dia lalui sepi kendaraan.
Lain halnya dengan Leo, ia mengenderai motornya dengan pikiran yang berkecambuk.
Ingatannya kembali ke saat ia dan Anna berekting di kelas teater. Sejujurnya semua kata yang terucap dari mulutnya mengalir begitu saja, seakan kata-kata itu keluar untuk mewakili perasaannya, dan Leo tidak ingin mengelak karnanya.
Ia juga harus berbohong pada Anna tentang kejadian semalam yang nyaris membuatnya kecewa, hanya demi mengenyahkan pikiran gadis itu dari rasa bersalah yang terpampang jelas di wajahnya.
Ya! dirinya tidak butuh dikasihani.
Kontan, Leo mendadak menghentikan motornya tatkala ia melihat Manda yang terdiri seraya berkacak pinggang melihat mobilnya yang berasap.
Setelah berkutat dengan pikirannya, Leo memutuskan nurun dari motornya dan menghampiri gadis itu.
"Kenapa sama mobil lo?"
Tanya Leo kemudian, Manda yang sejak tadi melihat ke arah mobilnya tersentak begitu tahu siapa menghampiri.
"Leo?"
Gadis itu hampir melotot melihatnya, jantungnya mendadak berdegup kencang. Tapi, karna tak ingin membuat laki-laki itu berpikir macam-macam padanya, Manda pun buru-buru menyadarkan dirinya.
"Ah, ini mobil gue mogok lagi. Mana ponsel gue mati."
Leo tampak mengangguk, lantas ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang entah siapa. Sementara Manda diam-diam memperhatikan Leo, meneliti setiap inci wajah laki-laki itu.
"Gue udah ngehubungi montir langganan bokap gue, lo bisa tenang sekarang."
Katanya seraya memasukan kembali ponselnya ke dalam saku, dan Manda seketika mengerjapkan matanya.
"Oh ya, makasih, Yo."
Leo mengangguk.
"Kalau lo mau, lo bisa bareng gue. Mobil lo pasti aman, sebentar lagi montirnya juga pasti datang."
Manda membulatkan mata sempurna mendengar itu, mendadak ia sulit bernapas.
"Boleh?"
Sekali lagi Leo mengangguk dengan senyum, lalu berbalik melangkah menuju motornya. Melihatnya, senyuman terbit di wajah cantik Manda. Ternyata ini bukan hari sialnya.
Oh astaga!
Tak ingin membuat Leo menunggu. Dengan segera, gadis itu mengambil terlebih dahulu tasnya, kemudian menghampiri laki-laki itu.
Hingga sesaat mereka di perjalanan. Senyuman masih tercetak di bibir Manda. Sementara tanpa Manda sadari, Leo menyaksikan itu dari balik kaca spionnya.
Satu hal, seringai muncul di bibirnya.