Rahasia Hati Seseorang

Diantara musim panas dan musim hujan, ku temukan satu waktu untuk merenung.

Bahwa kita tidak pernah saling membenci.

Melainkan saling merindu.

.

.

Anna membuka pintu kamarnya lebar-lebar. Dengan piyama yang membalut tubuhnya, ia memutuskan keluar dari kamar setelah beberapa kali mencoba menutup mata, namun tetap saja dirinya tak kunjung lelap.

Dilihanya sekeliling rumah yang gelap, mungkin saja karna seluruh penghuni rumah itu telah tertidur.

Anna menghembuskan napas bosan.

Sesaat ia akan kembali melangkah menuju kamar, tanpa sengaja ekor matanya melihat suatu benda yang cukup besar. Untuk beberapa saat ia terpaku menatap benda itu, sampai di mana gadis itu mendapati dirinya mendekat.

Tinggg

Adalah sebuah grand piano hitam yang sudah lama tersimpan dan tak tersentuh. Dengan lembut Anna mengelus body piano, hingga jarinya terus menuntunya untuk menekan tuts tuts pada benda itu.

Anna mendudukan dirinya di kursi, ia mencoba menarik napas sejenak lalu menghembuskannya, sebelum akhirnya jari-jemarinya mulai mengalunkan nada when the love falls dari Yiruma. Tak hanya sekedar memainkan, tapi ia juga menuangkan segala perasaannya pada benda itu.

Anna -gadis itu terpejam menghayati permainan pianonya, sendirian.

*Flashback On.

Suara detingan piano terdengar tatkala Anna -si gadis kecil terbangun dari tidur siangnya.

Gadis kecil itu mengernyit. Pikirannya mulai aneh-aneh.

Apakah itu hantu yang tengah bermain seperti film yang beberapa hari lalu ia tonton sebelumnya? Seingatnya, tidak ada orang lain selain dia dan beberapa maid di rumah ini.

Anna pun bangkit, melangkahkan kakinya menuju luar kamar. Dengan langkah pelan dan alis bertautan dia berjalan menelusuri ruangan.

Anna tertegun.

Ia dapat melihat punggung seorang laki-laki dengan jemarinya yang lemah gemulai membuat serangkaian melodi yang indah. Laki-laki itu seperti...-

"Bang Rio!"

Anna berteriak memanggil tatkala ia tahu siapa. Sementara Rio yang tengah bermain piano itu pun mengangkat jarinya dari tuts, lalu memutarkan badannya, menoleh ke belakang.

Senyuman terbit pada wajah tampan Rio, saat itu pula Anna berlari memeluk laki-laki itu, menyalurkan rasa rindu yang tak terbendung.

"Abang kenapa baru pulang sih? Anna kan bosen jadinya."

Rio terkekeh.

"Maaf, adek abang yang paling cantik. Bang Io kan baru pulang study tour dari luar kota. Kamu lupa?"

Anna cemberut, tak lama menggeleng kemudian.

"Sini duduk samping abang."

Katanya seraya menepuk-nepuk bangku kosong di sampingnya. Dan gadis kecil itu menurutinya, hingga ia kembali mendengar alunan nada yang dimainkan Rio.

Rio tersenyum, saat dilihatnya Anna tengah terpejam seakan menikmati alunan piano yang amat terdengar menenangkan itu.

"Kamu suka?"

Laki-laki itu bertanya tanpa menghentikan permainannya, dan Anna mengangguk cepat.

"Suka banget bang! bang Io mau kan ngajarin Anna biar bisa kayak abang?"

Rio terkekeh kembali.

"Pasti, kapanpun kamu mau, abang siap ajarin Anna."

"Yeee... makasih bang!"

Anna berteriak senang, membuat Rio tersenyum karnanya. Walau tak lama senyum itu berubah menjadi senyum kesedihan.

Nyatanya, satu hal yang tidak diketahui gadis kecil itu. Rio memendam beban yang amat berat. Itu dimulai sejak saat itu, sejak ia mengetahui akan kenyataan pahit dalam hidupnya. Kenyataan yang membuat hidupnya berbanding terbalik dengan sebelumnya.

Rio menghela napasnya dan menarik dirinya dari lamunan.

Dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia tidak ingin memikul beban itu sendirian. Ia berharap dapat berbagi dengan seseorang. Dan, Anna bukan orang yang tepat menurutnya.

Tapi, dia merasa lebih baik. Setidaknya, untuk saat ini, bersama tawa Anna yang selalu ingin didengarnya.

*Flashback Off.

Anna menghentikan permainannya, sekelabat kenangan Rio akhir-akhir ini selalu menghantui dirinya.

Tidak bisa ia pungkiri, piano adalah sebagian dari cerita manis bersama kakaknya itu.

Ia tak ingin merasakan ini. Ia tak ingin mengakui hal ini, tetapi pada kenyataannya, ia merindukan Rio lebih dari apapun.

***

Saat ini di ruang osis, Revan tengah membereskan kertas-kertas di atas meja. Dilihatnya satu-persatu kertas itu lalu di masukan kembali ke dalam map. Sempai pada akhirnya ia berbalik...-

Astaga!

Revan memekik kaget, jantungnya hampir saja copot tatkala melihat Anna yang tengah menatap dirinya seraya tersenyum simpul dengan kedua tangan yang menopang dagunya di meja.

Saat itu juga, helaan napas gusar keluar dari mulut laki-laki itu.

"Kenapa?"

"Enggak kenapa-napa, cuma lagi pengen nemenin pacar aku saja di sini."

Revan memutar bola matanya malas tanpa ingin membalas ucapan gadis itu, lalu dirinya kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.

"Baby, aku kangen mommy sama daddy. Kapan kamu akan membawaku ke rumahmu lagi?"

Revan menautkan kedua alisnya, kenapa perempuan mudah sekali melibatkan perasaan? dikit-dikit kangen, dikit-dikit kangen. Tidak dengan Laura -mommy nya, sekarang gadis itu.

"Kenapa harus?"

"Ya, karna aku kangen orangtua-mu, terlebih mommy. Aku senang bisa ketemu mereka, mereka baik. Kamu sangat beruntung, Van. Punya orangtua seperti mereka."

Revan terdiam, tatapannya terpaku lama menatap Anna. Raut laki-laki itu tak bisa ia baca sama sekali. Sebelum Anna menebak-nebak lebih lanjut, Revan mengangguk.

"Orangtua-mu juga sama baiknya."

Dan siapapun yang mendengar kalimat Revan barusan pasti tahu jika laki-laki itu tengah menyindir dirinya. Maka dari itu Anna mengalihkan pandangannya, ia tersenyum tipis sebelum akhirnya tertawa garing.

"Kamu benar."

Revan menghembuskan napas, ia menatap Anna intens yang saat ini lebih memilih memperhatikan sekeliling ruangan.

Dalam hati ia berkata, kenapa Anna selalu memasang tampang menyedihkan seperti itu saat membahas kedua orangtuanya. Apakah ini termasuk yang di katakan Laura saat itu, bahwa gadis itu bukan seperti yang orang lain lihat?

Tapi bukankah Anna juga termasuk gadis yang beruntung seperti yang orang-orang katakan, semua orang pasti ingin seperti dirinya. Revan masih belum bisa menebak sebenarnya apa yang terjadi pada gadis itu.

"Kenapa?"

Revan mengerjap, lantas ia pun menggelengkan kepala dan kembali menyusun map-map dan di masukannya ke dalam rak.

Sementara Anna menyaksikan itu dengan kerutan di dahinya. Walau tak lama senyuman riang terpampang di wajah cantiknya.

"Baby, aku bantuin. mau, ya?"

Katanya seraya mengambil salah satu map itu. Mendengarnya, lantas Revan pun menoleh lalu mengangguk kemudian.

Senyuman tercetak di bibir Anna tatkala dirinya tengah menyusun setiap map yang ada di depannya. Sementara Revan yang melihat itu, diam-diam menatap gadis itu dengan pandangan yang sulit diartikan.

***

Lembar demi lembar buku sudah Anna lalui. Menghela napas pelan gadis itu melirik jam yang menggantung di dinding perpustakaan. Anna bersyukur guru yang mengajar diakhir pelajaran tidak hadir, membuatnya leluasa membaca buku di perpustakaan.

"What?! Erik nyium lo di depan sekolah? yang benar saja, Rin!"

Anna mendengus saat mendengar pekikan heboh sahabatnya itu. Menurutnya Manda dan Karin terlalu berlebihan, lagi pula Erik -pacarnya Karin itu hanya mencium Karin di keningnya. Haruskah mereka berlebihan seperti itu?

"Berisik lo berdua ih! Kita lagi di perpustakaan. Kalau diusir gimana?"

"Iya nih... lo sih, Man."

"Apaan sih? cuek saja kali."

Manda mencurutkan bibirnya. Ia lantas menarik napas, lalu menatap ke arah samping. Ada Leo di sana, tengah melihat-lihat buku di rak seraya mengobrol dengan Danist -teman sekelas mereka.

Gadis itu tersenyum, tanpa sadar pikirannya melayang pada kejadian kemarin sepulang sekolah. Pertama kalinya ia satu motor, pulang bareng laki-laki itu.

"Lo napa deh, jadi senyum-senyum sendiri?"

Tanya Karin penasaran, menatap horor Manda. Sementara Manda mengerjap, tak lama menggelengkan kepala.

Manda merasa sangat tidak siap untuk mengatakannya. Ia masih menyimpan perasaan itu dengan rapi, di sudut tersendiri di hatinya. Jadi tidak seharusnya kedua sahabatnya itu tahu sekarang.

Hingga pada akhirnya bel pulang terdengar berbunyi nyaring. Semua siswa siswi yang ada di perpustakaan itu pun lekas membubarkan diri.

Pun dengan Anna, gadis itu dengan terburu-buru terlihat tengah membereskan bukunya.

"Udah ah, gue duluan ya. Bye!"

Setelah berkata itu Anna bangkit dan melangkahkan kakinya untuk mengambil tas lalu keluar dari perpustakaan. Melihatnya, lantas Karin berdecak, dan Manda menggeleng-gelengkan kepalanya.

Kedua gadis itu akhirnya juga keluar dari ruangan itu. Karin yang saat itu melihat Erik bersandar di mobil, tersenyum dan melambaikan tangannya pada laki-laki itu.

"Man, kita duluan ya? atau lo mau bareng saja?"

Tanya Karin mengingat mobil gadis itu kembali masuk bengkel. Manda tampak berpikir sesaat, sebelum akhirnya..-

"Engga deh, gue pake bis saja. Lagian lo sama gue beda arah."

"Gak apa-apa kali, Man."

Kata Erik menimpali, dan Manda kembali menggeleng.

"Beneran, gak apa-apa, gak usah."

"Serius, beneran gak mau bareng nih?"

"Enggak apa-apa elah, Rin. Udah ah sana kalian pergi."

Mau tidak mau akhirnya Karin dan Erik mengalah, mereka pun pamit pulang lebih dulu. Hingga di mana mobil Erik -pacar Karin itu hilang dari pandangan Manda.

Manda kembali menghembuskan napas, ia membenarkan tasnya yang melorot sebelum akhirnya kembali melangkah.

"Lo pulang pake apa? mobil lo masih di bengkel kan?"

Tiba-tiba suara seseorang menghentikan langkahnya. Manda menoleh, matanya membulat sempurna.

"Leo? Ah iya, gu.. gue pake bis. Ke.. kenapa emang?"

Dalam hati gadis itu meruntuki dirinya, kenapa dirinya menjadi sangat gugup di depan lelaki itu sih?

Bodoh!

Leo mengangguk dan tersenyum kecil.

"Ayo, pulang bareng gue saja. Dari pada lo lama lagi nunggu bis."

"E...?"

"Ayok!"

Leo memberi Manda isyarat melalui dagunya, sebagai tanda agar gadis itu cepat menaiki motornya. Dengan ragu manda mengangguk. Ia lantas menaiki motor laki-laki itu.

Dan, baru saja Leo menyalakan mesin motornya, suara Manda yang muncul di telinganya terdengar sangat dekat ketika gadis itu bertanya..-

"Tapi gak ngerepotin, kan?"

Leo menggeleng sebagai jawaban, setelah itu ia terdiam berbalik memunggungi Manda untuk menyalakan mesin motornya. Akan tetapi, laki-laki itu malah kembali membalikan tubuhnya hingga menghadap Manda.

"Kalau singgah dulu ke sesuatu tempat boleh, kan?"

Manda terdiam, tiba-tiba jantungnya berpacu cepat. Itu karna wajah Leo yang terlalu dekat dengan dirinya.

"Bo.. boleh."

Ucap manda akhirnya, dan Leo kembali tersenyum.

Di sisi lain, Marchel yang saat itu berjalan menuju parkiran seraya mengobrol dengan Dimas serta Billy tidak sengaja menyaksikan itu. Ia menatap dengan tatapan yang sulit dideskripsikan seakan kata-kata muncul didahinya.