Secangkir Kopi Pahit

Anna tersenyum penuh arti saat menyadari Revan membawa pulang ke rumahnya, rumah pemuda itu. Gadis itu berlari kecil hingga memasuki rumah bergaya minimalis bercatkan abu putih. Walaupun Anna baru datang sekali ke rumah Revan, tapi ia merasa tidak asing lagi dengan keadaan sekitar rumah laki-laki itu.

"Mommy!"

Panggilan Anna terdengar tatkala Laura tengah membantu bi Sari masak di dapur. Lantas wanita itu pun bergegas ke luar dan mendapati Anna yang tersenyum senang melihatnya, sementara Revan terlihat tengah berjalan menyalaminya dan masuk ke dapur untuk mengambil air mineral di kulkas.

"Aduh, si cantik datang juga akhirnya. Mommy rindu banget sama kamu. Pas banget, masakannya mau jadi. Kita makan sama-sama, oke?"

Katanya seraya memeluk singkat gadis itu. Anna mengangguk antusias mendengarnya.

"Anna juga kangen banget sama mommy. Tahu gak, mom? kan baru tadi Anna bilang kangen banget sama mommy ke Revan. Lah, tahu-tahu udah dibawa ke rumah."

Laura tertawa kecil.

"Sama dong kita. Dia memang begitu, An. Diam-diam tapi sebenernya pengertian. Tapi kamu suka kan?"

Mendengar itu lantas Anna mengangguk seraya tersenyum malu. Ia dapat melihat Revan yang ke luar dari dapur lalu melangkah lebar menaiki tangga menuju kamarnya.

"Oh ya, mom. Gwen mana?"

"Gwen sedang tidur siang, dear. Yuk, ikut mommy ke dapur."

"Oke, mom!"

Anna kembali mengangguk, gadis itu pun mengikuti Laura akhirnya.

Sementara itu dilain tempat, bunyi lonceng terdengar memenuhi ruangan cafe begitu Manda dan Leo masuk. Beberapa pasang mata langsung memandang ke arahnya. Tak terkecuali seorang laki-laki berapron merah yang berdiri tepat di balik meja bar.

"Hai, Yo. Akhirnya mampir juga lo."

Zacky, laki-laki berapron itu menyapa seraya mengangkat tangan kirinya untuk menyambut Leo yang sekarang berdiri di depannya. Lantas, Leo pun menyambut high five dari laki-laki itu.

"Sorry, Zac. kebetulan gue baru ada waktu sekarang."

"Iya, gue maklum. Lo kan baru pindahan. By the way, siapa ni? Udah ada yang gaet saja lo."

Sindir Zacky begitu ia melihat Manda yang berdiri tepat di belakang Leo. Sementara Leo terkekeh mendengarnya.

"Oh ya, Man. Ini sahabat gue semasa kecil, namanya Zacky. Dan Zac, ini temen sekelas gue, Manda."

Yang dipanggil Manda menoleh, dan tersenyum lebar melihat Zacky. Laki-laki itu tersadar..-

"Zacky Alatas."

Manda mengulurkan tangannya, menyambut nama-nya pula, menjabat tangan laki-laki itu -umm, maksudnya Zacky Alatas.

"Mau cheseecake? atau strowbarrycake mungkin?"

"E..?

"Gratis dari gue. Sebagai tanda perkenalan"

Kata Zacky terkekeh, mendengar itu Manda balik terkekeh juga.

"Apa saja."

"Oke! lo mau apa, Yo?"

"Coklat panas kayaknya."

"Siap!"

Ucap Zacky, ia mengusap tangannya ke apron dan mulai meraih gelas.

"Gak masalah kan kita mampir dulu ke sini?"

Leo bertanya pada Manda seraya menarik kursi di depan meja bar, yang diiikuti Manda kemudian.

Manda tersenyum kecil.

"Iya gak masalah kok, gue juga seneng bisa kenal sama Zacky."

Dan, yang lebih penting, bisa deket sama elo...

Manda membatin, dalam hati ia ingin sekali menjerit senang.

"Oh ya, Man. Dulu itu si Leo terkenal playboy-nya, banyak loh yang ngantri pengen jadi cowok dia."

Manda langsung menatapnya yang dibalas Zacky dengan anggukan.

Begitulah, pembicaraan mereka yang tak jauh-jauh dari masa lalu Leo dan Zacky semasa kanak-kanak. Tak ayalnya, kedua laki-laki itu tampak saling meledek satu sama lain. Selama itu, Manda memilih bungkam, tapi tetap menyimak pembicaraan mereka seraya sesekali memberikan reaksi senyuman dan anggukan.

Setidaknya, untuk saat ini, Manda hanya ingin menikmati masa-masa bersamanya.

***

Baru saja Revan menjatuhkan badannya ke sofa, mendadak ada laporan terdengar di telinga.

"Van, tadi ada telepon dari bunda Nayla."

Lapor Laura -mommy Revan dari ruang makan yang bersebelahan dengan ruang keluarga, di mana Revan duduk saat ini.

Mendengarnya, membuat laki-laki itu pun menunjukan wajah terkejutannya.

"Terus gimana, mom? dia titip pesan atau enggak?"

Laura mengangguk.

"Akhir-akhir ini beliau sibuk jadi belum bisa memenuhi permintaanmu untuk mencari dia, Van."

Revan menarik napasnya sejenak sebelum akhirnya menghembuskannya kembali. Tak lama ia pun mengangguk paham.

"Sudah tidak apa-apa, mom. Mungkin, memang belum waktunya."

Laura mengangguk dan tersenyum tipis.

"Ya sudah, jangan terlalu dipikirkan. Lihat, sekarang sudah ada Anna. Kamu fokuslah padanya."

Revan menatap canggung ke arah Anna yang saat ini tengah bercanda ria bersama Gwen -adik kecilnya itu di meja makan. Dalam hati dia bertanya, jika Anna tahu kenyataan sebenarnya tentang masa lalu dirinya, apa gadis itu tetap ingin bersamanya?

Revan mengangguk tegas dan kaku merespon kata-kata mommy-nya itu. Ada sebutir peluh yang mengalir dari dahinya, padahal cuaca tidak terlalu panas.

Melihatnya, Laura pun tersenyum kecil lalu kembali ke meja makan tempat di mana ada Anna dan Gwen berada. Meninggalkan Revan yang masih terdiam merenung.

Hingga waktu semakin berlalu, Revan sudah kembali ke kamar. Menyisakan Anna dan Gwen tengah asyik menonton youtube di tablet. Sementara Laura pergi entah ke mana.

"Anna, lihat. Mommy bawa sesuatu untukmu."

Anna mengeryit tatkala melihat laura yang duduk seraya membawa suatu benda di tangannya.

"Album foto?"

Laura mengangguk dan memberikan album itu pada Anna. Dan, Anna menerimanya dengan baik. Dibukanya satu persatu foto di dalamnya. Melihatnya, lantas Anna pun membulatkan matanya

Ini kan?

"Revan waktu kecil ya, mom?"

Anna spontan menolehkan kepalanya kepada Laura, yang saat ini tengah memandangnya dengan senyuman. Tak lama, wanita itu mengangguk.

"Ini Revan 7 tahun yang lalu, masih imut-imut kan keliatannya?"

Laura terkekeh.

Sementara Anna tersenyum merekah, pandangannya kembali ke album itu. Ternyata benar, Revan adalah Vano-nya. Selama ini dia tidak salah menduga. Wajah itu, wajah yang sama dengan anak laki-laki yang pernah ditemuinya dulu. Ah... 7 tahun memang takan bisa merubah bentuk seseorang. Tapi, tidak dengan sikapnya, bahkan dia tidak ingat sama sekali tentang gadis itu.

Ugh menyebalkan!

Anna membuka lembar demi lembar foto di album. Di sana terpampang jelas Revan pada masa itu, dan hampir semua yang Anna lihat tak ada senyuman di bibir laki-laki itu. Walaupun ada, itu pun seperti terpaksa. Hingga di mana Anna membuka album terakhir, ia terdiam dengan mata yang kembali membulat.

Laura yang tersadar dengan diam-nya Anna, melihat apa yang gadis itu lihat. Wanita itu cukup tersentak, sebelum akhirnya...-

"Itu... Maria. Teman Revan semasa kecil. Tapi dia selalu memanggilnya dengan sebutan Marie. Mommy juga tidak tahu kenapa."

Anna menoleh pada Laura, yang tampak tersenyum sedih itu.

Kenapa?

Lantas gadis itu kembali melihat ke arah foto. Di sana terlihat Revan yang tengah merangkul gadis kecil yang bernama Maria. Entah kenapa hanya bersama gadis kecil itu, Revan begitu tampak terlihat tersenyum tulus.

Anna mengerutkan dahinya, ditambah ia juga melihat bagaimana reaksi Laura tadi, yang semakin membuatnya penasaran.

"Mommy gak bisa cerita banyak tentang Maria padamu. Mungkin jika Revan sudah siap, dia pasti akan menceritakannya. Tapi untuk yang sekarang berjanjilah pada mommy, kamu pura-pura tidak pernah melihat foto ini."

Anna kembali mengerutkan dahinya bingung. Sebenarnya siapa gadis kecil itu? Apa arti gadis kecil itu bagi Revan?

Mendadak ia merasakan denyutan sakit pada hatinya.

***

Anna mendesah pelan, mengingat obrolan Laura tadi seketika mengubah suasana hatinya, bahkan melihat irisan strawberry di atas cheseecake-nya saja tidak membuat perasaannya lebih baik.

Ya, saat ini gadis itu lebih memilih pergi ke cafe tidak jauh dari komplek rumahnya. Setelah sebelumnya, ia baru saja pulang dari rumah kekasihnya itu.

Bahkah, saat di perjalanan pulang diantar lelakinya, Anna membisu. Walau dalam hati ia ingin bertanya tentang Maria pada Revan. Tapi bukankah dirinya juga sudah janji pada Laura?

Anna yakin ada sesuatu yang tidak diketahuinya di balik semua ini. Ia tidak punya petunjuk apa-apa selain foto itu. Dan Apakah ia merasa cemburu?

Tentu!

Karna nyatanya ada gadis lain dikehidupan Revan dulu, selain dirinya.

Ia juga tidak mungkin menanyakan to the point pada saat-saat seperti ini. Saat dirinya dan lelaki itu sedang dalam hubungan baik.

Tiba-tiba Anna mendengar seseorang menarik kursi di depannya, lalu seseorang itu pun meletakan secangkir kopi di meja, di mana Anna duduk.

Anna menghela napas.

"Kok elo ada di mana-mana sih, Yo?"

"Sepertinya kita berjodoh."

Leo - lelaki yang di maksud itu kemudian terkekeh. Sementara Anna berdecak mendengarnya.

"Jodoh dari hongkong!"

Sebenarnya Leo hanya ingin keluar sebentar untuk mengusir kebosanan dengan pergi ke cafe terdekat. Tapi ia malah melihat bagaimana Anna yang terduduk di meja, di ujung jendela cafe, yang masih mengenakan seragam dengan tatapan seperti... takut dan gelisah.

Tapi, dia coba mengusir pikiran itu, dan memilih memberikan senyuman

"Jam delapan?"

Leo bertanya seraya melirik jam dinding. Ia sangat hafal betul jam pulang sekolah barunya itu.

Anna terkekeh pelan mendengarnya.

"Biasa, gue baru saja menjalani hari yang berat."

Mendengar itu, lantas Leo pun mengangkat alisnya bingung sehingga membuat Anna menjadi merasa bersalah. Tidak seharusnya gadis itu berkata demikian hanya karna memikirkan tentang gadis masa lalu kekasihnya itu.

Leo tersenyum kecil melihat ekspresi Anna, ia memilih tidak bertanya lagi.

"Oke! kalau gitu lo perlu cicipi kopi ini."

Anna mengerutkan dahinya.

"Kopi?"

Leo mengangguk sebagai menjawabnya.

"Tapi gue gak suka kopi, Yo. Kopi itu pahit."

"Justru itu, kesempurnaan kopi itu berasal dari pahitnya, An. Karna segala sesuatu yang pahit akan membentuk kita menjadi lebih baik di masa depan."

Apaan sih?

"Bisa bijak juga ternyata lo."

Anna tertawa jenaka mendengar perkataan Leo yang terlihat memaksakan itu. Pun dengan Leo, dia terkekeh mendengar perkataan Anna.

Tapi,

Tanpa mereka sadari, Revan menyaksikan itu dari balik kaca jendela cafe. Tadinya ia ingin menemui gadis itu kembali ke rumahnya, karna ponsel gadis itu tertinggal di rumah laki-laki itu.

Tapi nyatanya, asisten rumah gadis itu bilang jika Anna belum pulang. Dan, sekarang ia malah mendapati Anna yang tengah tertawa riang bersama laki-laki itu.