"Ih, An! lo teh kalau tidur matanya melek, ya?"
Pertanyaan barusan membuat Anna mengeryit, ia menoleh ke samping, lalu menemukan Danist yang duduk di sebelahnya.
"Eh, apaan sih lo? siapa yang tidur sih."
"Lagian, gue gini-giniin. Lo tetap gak nyadar-nyadar juga."
Kata Danist seraya menyikut tangan Anna. Mengulang kembali apa yang tadi dilakukannya pada gadis itu.
Oh, ya!
"Emang ada apa?"
"Itu, nama lo disebut-sebut tuh."
Danist mengedikan dagunya ke arah depan, di sana terlihat beberapa anggota teater lainnya, termasuk Jasmine, ketua teater. Anna langsung menolehkan kepalanya ke arah mereka, dan benar saja, pandangan mereka juga terarah padanya.
"Lo, jadi putri salju ya."
Kata Jasmine kemudian, seraya menunjukan tangannya pada Anna. Mendengar itu kontan saja gadis itu menganga.
"Hah?"
"Jadi setelah obrolan kita kemarin, kita juga sudah sepakat bukan? kalau kita akan memakai tema Snow white and the seven the dwarft. Lagian gue udah konfirmasi ini ke pihak osis, dan mereka setuju."
Anna menggigit bibir mungilnya, sebenarnya ini bukan soal permasalahan judul drama tersebut. Tapi kenapa ia yang harus jadi pemain utama sih?!
Gadis itu menghela napas-nya, malas.
"Di tangan gue ada daftar nama cast untuk kalian masing-masing."
Rosa - wakil teater itu berkata kemudian seraya mengangkat sebuah kertas di tangan kanannya. Ia memincin ke arah Anna.
"Lo bengong mulu ya dari tadi?! lagian gue udah teriak-teriak juga, Pokoknya lo jadi putri salju!"
Anna mendengus,
Maksa amat sih! Pake acara ngomong toa segala lagi, dikata gue budeg apa!
"Untuk pangerannya diperankan, Leonandra."
Dan, pernyataan tersebut seketika membuat Anna menoleh pada Leo yang duduk tak jauh darinya. Laki-laki itu hanya menerima dengan anggukan. Tak lama kemudian, Rosa kembali membacakan nama-nama pemeran selanjutnya.
Anna mendesan pelan seraya menyenderkan punggungnya ke tembok. Mendapat peran utama dalam teater adalah hal terakir yang tidak diinginkannya, dan sekarang dia malah diminta berakting menjadi putri salju dengan Leo sebagai pangerannya. Bukankah itu artinya ia akan menghabiskan waktu lebih banyak di kelas teater.
Namun terima atau tidak, semua ini juga sudah pilihannya, sadari awal ia memilih drama.
"Tapi, kan gue baru gabung kemarin-kemarin."
Protes Anna tanpa sadar.
"Lo cocok kok, An. Muka lo kan mirip-mirip putri di kartun gitu."
Timpal Danist dengan kekehan yang tanpa sengaja mendengar gerutuan gadis itu. Sementara Anna berdecak mendengarnya.
"Oke, karna kita sudah tahu peran masing-masing. Gue rasa pertemuan pagi ini kita cukupkan untuk hari ini. Terimakasih karna teman-teman semua sudah mau datang ke sekolah lebih pagi. Kalian boleh bubar ke kelas masing-masing sekarang."
Tegas Jasmie, sebagai tanda rapat itu telah berakhir. Hingga satu-persatu dari anggota itu pun meninggalkan ruangan. Menyisakan beberapa orang diantaranya..-
"Sepertinya kita bakal lebih sering berintraksi nanti."
Anna yang saat ini tengah memasukan buku catatannya ke tas, mendongak dan mendapati Leo yang berdiri seraya memasukan kedua tangannya ke saku celana.
Anna mengangguk-anggukan setuju, lantas ia pun bangkit dari dudukannya.
"Ya, mohon kerjasamanya tuan Leonandra yang terhormat."
Menanggapi ucapan tersebut, Leo hanya terkekeh pelan.
Akhirnya mereka pun beriringan, melangkah kembali ke kelas, sadari jam masuk sekolah sudah berbunyi nyaring.
***
"Jadi, lo dapet peran utama?"
Seorang penjual kantin telah selesai mencatat pesanan mereka. Kali ini dijam istirahat, Anna dan kedua sahabatnya tengah duduk di meja, di kantin.
Tidak seperti biasanya, hari ini kantin tidak terlalu ramai. Jadi mereka dapat leluasa memilih meja di manapun.
Anna mengangguk menjawab pertanyaan Manda.
"Sebenarnya mah males gue, merepotkan tahu gak."
"Santai saja sih, An. Kan drama cuma pembukaan pensi. paling se-kejap juga selesai. Iya gak, Man?"
"Iya, udah gitu semua orang juga lupa tuh nantinya begitu Jaz tampil."
Manda menimpali perkataan Karin. Sementara Anna berdecak mendengar itu.
Jaz mulu!
"Tema-nya snow white kan, ya? kalau lo jadi putri salju, terus pangerannya siapa?"
"Itu...-"
Pranggg
Anna menghentikan ucapannya begitu mendengar suara benda jatuh. Kontan, ketiga gadis itu pun menolehkan kepalanya, melihat apa yang terjadi.
"Lo tuh kalau jalan pake mata gak sih?! Lo lihat, makanan gue jadi jatoh. Ganti gak lo!"
Seorang gadis bergetar tatkala gadis dihadapannya itu berteriak-teriak padanya.
"Maaf kak... tapi benaran, aku gak sengaja."
Katanya lirih, gadis itu pun menundukan kepalanya tidak berani melihat seseorang yang cukup terkenal di sekolahnya itu.
"Mau sengaja ataupun enggak, lo harus tetep ganti!"
Mendengarnya, lantas Anna yang terduduk menyaksikan semua itu terpejam. Hembusan napas kasar keluar dari mulut gadis itu. Kedua kakinya bergoyang-goyang seakan menahan gejolak di hati. Sementara suara-suara itu masih senantiasa memancing rasa panas pada dirinya. Sampai pada akhirnya...-
Brakkk
Suara gebrakan meja terdengar mendominasi penjuru ruangan kantin. Semua mata yang ada di sana langsung tertuju pada si pelaku, bahkan Manda dan Karin pun dibuat melotot karnanya.
"Sudah cukup, basa-basinya."
Anna tersenyum kecil seraya bangkit dari duduknya untuk menghampiri seseorang yang menurutnya menjengkelkan itu.
"Ada apa ya ini? kok berisik banget."
Anna bertanya seraya memandang polos gadis di depannya, membuat gadis itu pun mendelik manatap tajam Anna akhirnya.
"Ini gak ada urusannya sama lo!"
"Masa sih? tapi sayangnya lo ganggu pendengaran gue, kak Jessi. So, itu juga jadi urusan gue sekarang."
Ya, gadis itu Jessica yang saat ini tengah menaik-turunkan dadanya menahan emosi.
"Lo tuh gak ada kapoknya ya berurusan sama gue?!"
"Kenapa mesti kapok sih? lagian kak Jessi gak dengar apa yang tadi ade kelas ini bilang, dia gak sengaja nabrak kakak. Kenapa kak Jessi masih minta ganti?"
"Suka-suka gue dong, mulut-mulut gue! bisa gak sih lo gak usah ikut campur?!"
Anna menghembuskan napasnya kasar, kesabarannya terhadap Jessica sudah dipenghujung batas. Tapi sekali lagi, gadis itu tetap memaksakan senyumnya.
Tanpa mereka sadari, orang-orang mulai berdatangan ke kantin, begitu pun dengan Leo. Tak lupa, Revan dan kawan-kawannya.
"Lagian gue juga heran ya sama Revan, kok mau-maunya punya pacar kayak elo, cewek bar-bar."
Anna tersentak, kenapa jadi bawa-bawa Revan sih? Sementara Revan yang baru tiba itu mengerutkan dahinya tatkala seseorang menyebut-nyebut namanya.
Mau tak mau, laki-laki itu pun melihat apa yang berlaku di depannya.
"Lo tuh apa-apa sih, Jess. kenapa urusannya jadi kemana-mana?!"
Karin datang tak terima dengan apa yang diucapkan pada sahabatnya itu, pun dengan Manda yang memandang tajam Jessica.
"Gue udah cukup sabar ya ngadepin elo, kenapa lo jadi bawa-bawa Revan?!"
Jessica terkekeh sinis, akhirnya gadis itu berhasil memancing amarah Anna.
"Lo pasti maksa dia buat jadi pacar lo, kan? dan gue yakin, dia nerima lo secara terpaksa. Itu artinya, tetap saja cinta lo bertepuk sebelah tangan. Me-nye-dihkan."
Anna terdiam, kalimat terakhir Jessica telah sukses menohoknya.
Di sisi lain, Revan yang melihat itu menyadari keterdiaman Anna, dan tahu jelas apa yang gadis itu rasakan sekarang.
"Van, lo gak bantuin Anna? kok gue jadi kasian liat dia."
Dimas merasa kesal saat melihat Revan yang hanya diam tak berkutik menyaksikan semua itu.
Anna menelan rasa perih ditenggorokannya, haruskan dirinya mengelak sementara perkataan Jessica itu benar adanya?
Tapi tunggu!
"Se'enggaknya gue beneran tulus mencintai dia. Enggak seperti lo, ada maunya."
Kali ini giliran Jessica yang menatap kaget ke arahnya.
"Maksud, lo?"
Anna tersenyum sinis, lantas ia pun mengeluarkan ponselnya di saku. Entah apa yang akan gadis itu lakukan sekarang, membuat semua mata bertanya-tanya karnanya.
🔊 "Cuma ekting kaki pincang di depan dia. Langsung saja tuh cowok nawarin gue balik. Gue yakin, gue cewek pertama yang dibonceng berdua sama dia."
🔊 "Ternyata gampang banget ngibulin si Revan. Terus gimana kalau si Anna tahu?"
🔊 "Bodo amat sama si cewek barbar, pokonya gue harus dapetin Revan. Karna itu penting bagi popularitas gue!"
Semua tersentak, suara rekaman dari ponsel Anna mendadak membuat atmosfir di sekitar kantin menjadi terasa hening. Walaupun pada akhirnya, beberapa orang terdengar berbisik-bisik satu sama lain.
"Elo?!"
Jessica melotot seakan tak percaya dengan apa yang dilakukan gadis itu. Kemarahannya terhadap Anna sudah mencapai ubun-ubun. Ia tidak menyangka, bahwa gadis itu merekam semua pembicaraan dirinya, hingga akhirnya mempermalukan ia di muka umum.
"Brengsek lo, Anna!"
Tanpa sadar, Jessica mendapati dirinya mendekat. Ia ingin sekali memberikan pelajaran pada gadis itu. Sebelum akhirnya..-
"Revan?"
Ucap Anna dengan tatapan membulat.
Ya, tiba-tiba saja Revan berdiri tepat di tengah-tengah kedua gadis itu. Ia menatap tajam Jessica yang tengah memandang kaget dirinya.
"Apa belum cukup sandiwaranya? Ini, benar-benar, memuakan."
Revan berkata dengan penuh penekanan hingga membuat Jessica membisu. Mendadak ia takut dengan tatapan tajam laki-laki itu.
Revan membalikan badannya, secara impulsif laki-laki itu meraih tangan Anna, lalu membawa pergi gadis itu. Meninggalkan semua orang yang mamandang tanya keduanya.
Pada akhirnya perasaan tidak bisa berbohong dan dibohongi. Ia akan selalu ada di sana. Memintamu untuk memperjuangkannya.