Jessica berjalan cepat menelusuri koridor dengan bibir terkatup menahan geram. Gadis itu dengan sengaja menabrakan bahunya pada orang-orang yang tak sengaja berpapasan di jalan dengannya. Hingga orang-orang itu pun mengaduh dan menatap heran dirinya.
Sementara Marsya yang sadari tadi mengekori gadis itu tampak bersusah payah mengejarnya.
"Jess, tunggu! Sebenernya lo mau ke mana?"
Berkali-kali dengan nada setengah teriak, Marsya menanyakan hal yang sama. Namun, Jessica masih saja terdiam dan terus berjalan tanpa memperdulikan-nya.
Langkah-langkah mereka masih bergesekan dengan lantai. Belum berhenti sama sekali -bahkan sudah melewati kelas mereka, tetapi Marsya tidak peduli, ia terus mengikuti ke mana gadis itu pergi.
Hingga di mana Jessica menghentikan langkahnya, dan memasuki gudang sekolah.
Brakkk
Gadis itu mendorong keras barang-barang di depannya. Kemarahannya terhadap Anna telah membeludak. Dan tidak ada satupun yang mampu menahan emosinya kecuali jika sudah tersalurkan, yaitu dengan cara menghancurkan apapun yang ada di sekitarnya.
"Argh, brengsek lo, Anna! Berani-beraninya lo mempermalukan gue di depan semua orang!"
Marsya terperagah menyaksikan itu dengan napas yang terengah-engah , ia melihat sekeliling untuk memastikan, sebelum akhirnya masuk kemudian.
"Jess, mending lo tenang dulu deh sekarang. Karna dengan lo begini, mereka malah akan mandang lo lebih buruk lagi."
Jelas Marsya kemudian. Perkataan barusan membuat Jessica membalikan tubuhnya dan berjengit sedikit menatap gadis itu.
"Apa lo bilang?! Lo, nyuruh gue tenang? Gak! gak bisa. Gue udah gedeg banget sama tuh cewek."
Katanya tegas, Jessica menggeleng-gelengkan kepalanya tak terima.
Yang benar saja!
"Iya gue paham, tapi gimanapun lo harus kontrol emosi lo."
"Ngontrol emosi gimana maksud elo?! Lo lihat sendiri kan tadi?! Dia udah mempermalukan gue di depan anak-anak. Dan, lo tahu apa yang lebih parah?! Revan benci sama gue gara-gara cewek sialan itu!"
Jessica menaik-turunkan dadanya menahan emosi. Demi Tuhan, dia tidak terima akan perlakuan Anna padanya tadi.
Ia masih ingat, bagaimana orang-orang yang berbicara buruk tentangnya, dan yang lebih sadis adalah tatapan tajam Revan yang seakan menusuk jiwanya sehingga ia kehilangan nyalinya seolah menciut.
Tiba-tiba Jessica dan Marsya mendenger suara langkah seseorang yang memasuki gudang. Keduanya pun menolehkan kepala pada orang itu.
Adalah seorang laki-laki yang tampak intens memperhatikan keduanya seraya memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana.
"Sekarang lo percaya, kan? dan lo tadi lihat sendiri, dia udah bikin malu gue. Mau ditaro di mana muka gue sekarang, hah?!"
Laki-laki itu pun tersenyum tipis.
"Terus lo mau gue gimana?"
Mendengar itu, Jessica hampir melotot. Walau tak lama seringai tercetak di bibirnya. Setidaknya ada seseorang yang akan membantunya membalaskan dendamnya itu.
"Gue mau, lo lakuin apa yang pernah kita bicarakan sebelumnya. Apa lo sanggup?"
Jessica melihat Laki-laki itu terperagah, ia pun bisa menebak bahwa laki-laki itu merasa tertantang. Sebelum akhirnya helaan napas keluar dari mulut laki-laki itu.
"Gue coba. Tapi lo juga harus janji satu hal sama gue."
Gadis itu pun mengeryit,
"Apaan?"
"Lo jangan pernah dekati cewek itu lagi dan, jangan pernah ikut campur masalah gue."
Marsya yang sadari tadi diam menatap tanya keduanya. Tapi satu hal yang pasti, pertemuan kedua ia dan laki-laki itu memberikan gambaran bagaimana laki-laki itu sebenarnya.
***
Anna menatap punggung itu lama sekali. Ia ingin melangkah lebih dekat, menyentuh punggung yang dicintainya itu, lalu bertanya apakah Revan marah padanya? Tapi ia meragu.
Dilihatnya rambut hitam Revan yang berterbangan seiring kencangnya angin yang menghampiri mereka. Dan tak lama, laki-laki itu pun membalikan badannya menghadap Anna.
"Sepertinya kamu lupa dengan perjanjian kita waktu itu."
Sekali lagi, Anna menatap Revan, kali ini ia merasa tidak enak dengan pernyataan laki-laki itu. Namun, tak ada raut kesal ataupun marah, apalagi kecewa di wajahnya. Ia tampak tak berekspresi seperti biasanya.
"Maaf."
Anna menundukan kepalanya, mendadak tak berani melihat manik mata Revan yang kehijauan itu.
Saat ini, tepatnya di rooftop sekolah mereka berdiri. Setelah insiden di kantin tadi, Revan langsung menarik Anna dan membawanya ke tempat itu.
Revan memang tidak pernah menyangka jika setibanya di kantin, ia malah disuguhkan pemandangan yang tak mengenakan. Ia tidak tahu harus bereaksi apa saat tahu ada seseorang yang tengah memanfaatkannya demi popularitas. Ditambah ia juga mendengar isi hati Anna, yang menyatakan bahwa gadis itu benar-benar mencintainya secara langsung di depan semua orang, dan itu terdengar begitu tulus, tidak seperti sebelumnya.
Laki-laki itu hanya diam di tempatnya. Pernyataan itu yang membuatnya kembali terhenyuk. Maksudnya, ayolah, apakah dia melakukan hal-hal yang romantis terhadap Anna, sehingga gadis itu begitu mencintainya? Ia sama sekali tidak memberi tanda. Sama sekali tidak.
Tapi, mendadak ingatan Revan kembali pada kejadian tadi malam, jika Anna memang tulus mencintainya, kenapa gadis itu masih tetap dekat dengan laki-laki itu, yang jelas-jelas ada maksud tersembunyi.
"Apa yang kamu katakan tadi itu benar?"
Anna berdenyit, ia mendongkak untuk kembali mendapati kekasihnya yang tengah memandang intens dirinya.
"Yang mana?"
"Mencintaiku."
Deg
Seketik wajah Anna merah padam. Kenapa laki-laki malah kembali menanyakan hal yang sudah pasti.
"Bu.. bukankah semua sudah jelas."
Revan tampak mengangguk-anggukan kepalanya ragu. Walau tak lama laki-laki itu kembali berkata..-
"Tapi, semalam aku melihatmu bersama laki-laki lain di cafe, siapa ya? Leo? bukankah kemarin jelas-jelas aku mengantarmu pulang ke rumah setelah pulang dari rumahku."
Anna tersentak,
Revan lihat? Ah ya, kata bi Marni kan dia ke rumah nganterin handphone. Bodoh!
"Ah, itu.. Aku mendadak pengen yang manis-manis, jadi aku ke cafe sebentar beli cake sebelum pulang. Dan, ya. aku ketemu Leo di sana. Tapi itu pun gak sengaja kok,"
Dusta Anna, mana mungkin dirinya mengatakan hal sebenarnya, tentang kegalauannya terhadap gadis kecil masalalu laki-laki itu.
Revan menghembuskan napasnya pelan seraya mengusap-usapkan lehernya. Haruskah dirinya percaya pada gadis itu?
Sementara Anna mengerutkan dahinya saat melihat reaksi aneh laki-laki itu. Ia tampak menebak-nebak kenapa, sebelum akhirnya senyuman terbit di wajah cantiknya.
"Kamu cemburu, ya?"
Pertanyaan itu kontan membuat Revan tersentak kaget.
Ekspresi laki-laki itu seketika berubah kaku dan tak terbaca. Ia menghalangi jalan kontak mata dengan Anna. Hatinya bergemuruh, dilema memutuskan, tetapi terus mengelak. Jujur saja, sisi egoisnya meminta dirinya untuk tetap berpegang teguh pada pendiriannya. Namun, suara kecil di hatinya malah berkata lain. Dan, Sesaat ia akan membuka mulutnya..-
Teeeeet Teeeet Teeeet
"Sudah bel, sebaiknya kita kembali kelas, atau kita akan terkena masalah."
Revan menarik napasnya lalu melangkah melewati Anna.
Anna mematung, tersenyum penuh arti menatap punggung Revan yang semakin menjauh.
"Masih ada harapan, kan?"
***
Suara gemercik air terdengar tatkala Revan tengah membersihkan kedua tangannya di toilet. Dilihatnya dari balik kaca, seorang laki-laki yang cukup dikenalnya itu, tengah berdiri tepat disampingnya.
"Gue gak sangka, lo segitu berpengaruhnya di sekolah ini, sampe lo diperebutkan banyak gadis dan disukai banyak guru."
Katanya seraya balik menatap Revan melalui kaca, sementara Revan hanya menghela napas pelan mendengar itu.
"Terus terang, gue juga pernah di posisi lo dulu, dan rasanya benar-benar menyenangkan, bukan?"
Revan memandang tajam kearahnya, yang di balas kekehan kecil laki-laki itu.
"Sorry, jangan terlalu menganggap serius omongan gue. Oh ya! sebelumnya kita belum pernah kenalan, bukan? gue Leo, gue yakin, lo tahu siapa gue."
Ya, lelaki itu adalah Leo, yang saat ini tengah mengangkat satu tangannya menunggu uluran tangan dari Revan.
Revan hanya menatap tangan itu sekilas sebelum akhirnya kembali memandang Leo.
"Revan. Dan, gue yakin, lo juga tahu siapa gue."
Tersenyum kecil, Leo menatap Revan, saat tahu laki-laki itu tidak membalas uluran tangannya, ia pun menarik kembali lengannya itu.
Leo mengangguk-nganggukan kepalanya, mantap.
"Yah, gue rasa enggak ada seorangpun di sekolah ini yang enggak tahu siapa elo. Ketos di SMA Academy, dan kekasih dari teman dekat sekelas gue, Anastasya."
Revan memincing menatap Leo, banyak tanda tanya yang melayang-layang, menuntut jawaban dibalik sikap ramah laki-laki itu.
Entahlah, ia hanya perlu mewaspadai dirinya sendiri.
"Gue cukup menghargai pertemanan lo dan Anna. Lo, teman yang baik. Dan gue yakin lo bisa bersikap wajar selayaknya lelaki terhadap teman gadisnya."
Nada suara Revan tetap terjaga, tetapi terdengar tajam disetiap katanya. Ia manaruh harapan disetiap kalimatnya itu.
Hal itu tentu saja disadari oleh Leo, ia merasa Revan tengah menatang dirinya untuk memenuhi permintaan laki-laki itu. Apa laki-laki itu tahu, jika dirinya tengah mendekati gadisnya itu?
Sekali lagi, Leo tersenyum samar mendengernya.
"Baiklah, gue senang berkenalan dengan lo."
Revan mengangguk,
"Begitupun dengan gue."
Pada akhirnya, Revan pun membalikan tubuhnya melangkah keluar dari toilet. Di sana, sudah ada Anna yang menyambut dirinya dengan senyuman manis. Gadis itu pun merangkul mesra kekasihnya itu, berjalan beriringan menuju parkiran untuk pulang bersama.
Sementara Leo yang baru saja keluar dari toilet menyaksikan itu dengan tatapan terluka.
"Lo, sudah menyatakan perang ternyata."