Sore yang gelap. Hujan sebentar lagi akan turun. Angin yang tak henti-hentinya berembus.
Sabtu ini, orang-orang memilih cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan mereka. Berjalan terburu-buru menuju pemberhentian bus atau trem untuk segera pulang. Meringkuk di balik selimut dan tidur berjam-jam hingga weekend berakhir.
Tetapi tidak untuk gadis remaja itu.
Ia duduk di ujung dermaga yang menepi di danau tak jauh dari komplek rumahnya, seraya mendengarkan deretan lagu dengan kedua telinga yang tersumpel aerphone. Kedua bola matanya menatap dengan kosong ke arah danau tersebut.
Anna ingat, di sini tempat dia dan kakaknya bermain bersama. Bercanda, tertawa, dan percekcokan kecil lainnya. Tapi kini terasa berbeda, abang kesayangannya itu sudah tidak ada lagi bersamanya. Laki-laki itu lebih memilih kembali menghadap sang Kuasa.
Helaan napas keluar dari bibir.
Anna kembali mengganti lagu dari ponselnya. Lagu slow yang sejak tadi mengalun lembut membuat suasana hatinya menjadi mendung seperti langit itu. Memang ada benarnya, melupakan kenangan bersama seseorang yang berharga itu lebih sulit dari pada menghapal ribuan rumus matematika.
Dan tak lama, Gadis itu merasakan tetesan air jatuh mengenai tubuh dan wajahnya.
Anna mendongkak, dan benar saja hujan sudah mulai turun. Lantas ia pun bangkit, menutupi wajahnya, dan berlari kecil memasuki mobil untuk kembali pulang ke rumah.
Hingga di mana, mobil itu berhenti tepat disalah satu pekarangan rumah mewah. Anna keluar dari mobilnya, dan berjalan memasuki kediamannya itu.
"Bagus banget ya! oma dateng, kamu malah pergi."
Suara wanita tua yang cukup dikenal Anna terdengar, gadis itu menatap bulat Mayang - oma'nya, yang saat ini tengah berkacak pinggang menatap ke arahnya.
"Oma!"
Melihatnya, Anna pun kontan berlari memeluk wanita tua itu, menyalurkan rasa rindunya yang tak terbendung.
"Kapan oma dateng? kok gak ngabarin dulu Anna, sih?"
Tanya Anna antusias, sementara Mayang tersenyum tulus melihatnya.
"Suprise dong!"
Anna terkekeh, ia lalu kembali memeluk wanita tua itu.
"Anna kangen banget sama oma."
"Oma juga kangen banget sama cucu oma ini, makannya oma sengaja dateng kemari. Syukurlah, oma lihat kamu baik-baik saja."
Jawab Mayang seraya mengusap-usap lembut rambut gadis itu.
Ya, sejak kejadian masa lalu itu. Anna memang sempat tinggal dengan Mayang selama hampir satu tahun lamanya di Bali.
Mayang yakin keputusannya itu tidak salah. Mungkin meninggalkan tempat lama, lalu memulai kisah baru di tempat baru akan membuat psikologis Anna lebih baik. Terlalu banyak kesedihan di tempat ini. Mayang menjelaskan semua itu kepada Bryan selang beberapa hari ia membawa cucu-nya, berharap anaknya mau menerima keputusannya itu.
Tapi belum juga satu tahun, Bryan datang meminta kembali gadis kecil itu untuk tinggal bersamanya.
Mulanya, Anna menolak. Di samping ia masih trauma, ia juga masih berharap dapat bertemu anak laki-laki yang sudah beberapa hari itu menghilang tanpa kabar. Tapi sekali lagi, Bryan mencoba menyakinkan Anna. Hingga Anna akhirnya terpaksa pulang. Sementara Mayang hanya pasrah menerima keputusan itu.
"Kata bi Marni kamu belum makan dari pagi? Oma sudah minta dia siapkan makanan kesukaan kamu. Ayo, kita makan dulu."
Anna tersenyum mengangguk,
"Iya, Oma."
Anna dan Mayang pun berjalan beriringan, lalu duduk bersama di meja makan, memakan masakan yang sudah bi Marni siapkan seraya saling berbagi cerita.
.... Saat itulah, hujan di luar sana terdengar semakin deras, mengantarkan udara dingin yang seakan menusuk tulang.
***
"Jadi, sudah berapa lama Lena pergi?"
Mendengar pertanyaan itu, membuat Anna yang tengah menuruni tangga kontan menghentikan langkahnya.
Ia dapat melihat Mayang yang tengah terduduk di sofa dengan memegang majalah yang di letakan di kedua pahanya, serta bi Marni yang terjongkok seraya meletakan secangkir teh di meja.
"Sudah hampir tiga hari ini bu, nyonya pergi."
Mayang tampak mengangguk paham.
"Sampai kapan wanita itu akan pergi-pergian seperti itu."
Gumamnya, namun masih bisa terdengar bi Marni.
"Mau gimana lagi, bu. Toh memang sudah seperti itu resiko pekerjaannya."
Mayang berdecak,
"Justru itu, Marni. Dari awal saya tidak sreg dengan wanita pilihan Bryan. Lihat sekarang, dia malah mementingkan karirnya dari pada mengurus suami dan anaknya. Huh, bener-bener wanita itu."
Anna mematung di tempatnya ia berdiri sekarang. Ia mencoba mencerna kata-kata oma-nya. Ia baru tahu, jika Mayang sempat tidak menyukai ibu-nya itu sadari awal.
Terlalu banyak hal yang terjadi. Akar masalah terpendam terlalu dalam, tetapi harus menjalar sampai ke tempat yang tak terduga.
Tidak ingin di ambil pusing, Anna pun kembali melanjutkan langkahnya menemui Mayang.
"Oma."
Sapa Anna kemudian, lantas ia pun duduk di samping wanita tua itu. Sekarang hanya tinggal dirinya dan Mayang di ruangan itu.
"Kamu sudah mandinya?"
"Sudah."
Mayang mengangguk mendengar jawaban itu. Tak lama ia pun kembali bertanya..-
"Bagaimana dengan sekolahmu, An? pasti cucu oma pinter banget di sekolah seperti papa-nya."
Anna yang saat ini memainkan ponselnya, menolehkan kepalanya pada Mayang. Ia meringis, sebelum akhirnya terkekeh pelan.
"Biasa saja, Oma. Gak pinter-pinter amat, dan ga bodo-bodo amat."
Mayang mendelik menatap Anna, ia melihat jemari gadis itu dengan lincah menari di atas layar ponsel, seakan mengetikan sesuatu dengan pandangan fokus.
"Jujur pada oma, apa kamu sudah punya pacar?"
Mendengarnya, spontan Anna menolehkan kembali kepalanya pada wanita tua itu.
"Apa harus Anna jawab, oma?"
"Oma kan nanya, An. Ya, dijawab dong. Gimana sih kamu ini."
Anna terkekeh melihat ekspresi ketus dari oma-nya itu.
"Kalau Anna bilang sudah. Gimana, oma?"
Mayang tersenyum kecil mendengarnya, tak lama hilang sedetik kemudian.
"Oma tidak gimana-gimana. Asal kamu bisa jaga diri."
Anna mengerutkan dahinya bingung.
"Jaga diri gimana, oma?"
"Ya, jaga diri dari para laki-laki. Sekarang kan banyak lelaki yang deketin anak gadis karna ada maunya. Kayak sinetron yang sering oma tonton di tv tuh."
Seketika mendengar itu, Anna tertawa geli.
"Ih, oma! kebanyakan nonton sinetron sih. Lagian ya, pacar Anna itu gak akan berani macem-macem sama Anna."
Yang ada juga gue yang macem-macem sama dia.
Anna membatin, ia ingin sekali menertawakan dirinya. Pasalnya, Revan tidak akan mungkin merayu dirinya seperti itu. Toh.. dia kan laki-laki yang sedingin es di kutub.
"Iya, syukur kalau begitu."
Kata oma tenang, lalu wanita tua itu pun kembali membuka-buka majalah yang sejak tadi dipegangnya. Sementara Anna masih setia melihat dirinya. Tak lama, ia kembali bertanya..-
"Oma, oma gak nanya siapa pacar Anna?"
"Siapa?"
Tanya Mayang kemudian. Ia kembali menatap Anna dengan tatapan penasaran.
"Vano."
***
"An, sudah hampir jam sembilan, kamu mau berangkat jam berapa?!"
"Iya, Oma. sebentar!"
Anna menyahut panggilan oma-nya itu di dalam kamar seraya menghembuskan napas kasar.
Sejak kemarin ia menceritakan siapa kekasihnya itu, Mayang tampak antusias kepada Revan, mendadak menjadi bawel. Sebenarnya ada apa dengan oma-nya itu?
Sekali lagi, Anna mematut dirinya di depan cermin. Rambutnya sudah rapi, dicatok beberapa menit yang lalu. Make-up tipis yang sudah terpoles di wajahnya. Baju terusannya pun tampak indah di tubuhnya. Setelah memastikannya kembali, dengan segera Anna mengambil sling bag-nya untuk kemudian keluar dari kamar, lalu menuruni tangga.
"Iya, oma"
Saat itulah Anna melihat Mayang -oma'nya yang tengah memasukan kotak pada papar bag besar.
"Ini ya, kamu kasihkan ke ibu-nya Revan. Oleh-oleh dari oma."
Anna berdenyit,
"Lah, bukannya Anna pergi sama oma juga. Oma saja yang bawa."
"Kamu ini, ya! Sudah, kamu saja yang pergi. Tiba-tiba pinggang oma sakit."
"Apa?! sakit gimana, oma? apa mau Anna antar ke dokter saja?"
Tanya gadis itu histeris.
"Sudah... sudah, kamu gak usah panik gitu. Ini sakit biasa, faktor umur. Gimanapun oma ini kan sudah tua. Jadi segala kerasa."
Anna mengembuskan napasnya, khawatir.
"Yakin nih, gak apa-apa?"
"Oma tidak apa-apa, An. Ya sudah, kamu pergi sekarang gih. Jangan terlalu siang, biar kamu-nya cepet pulang lagi ke sini."
"Ya sudah, Anna pergi ya, oma."
Katanya, seraya mencium tangan oma-nya itu. Dan, Mayang mengangguk tersenyum.
"Hati-hati bawa mobilnya."
"Oke, oma."
Hingga akhirnya, mobil pun melaju. Alunan musik yang berasal dari tape mendominasi suasana dalam mobil yang di dalamnya terdapat Anna seorang. Ia menyetir dengan santai. Jalanan pada saat ini tidak sepadat biasanya, padahal ini hari minggu.
Tiba-tiba, Anna merasakan jantungnya berdegup kencang dan menjadi gelisah ketika ia sadar kalau yang ia akan datangi adalah rumah kekasihnya itu.
"You belong with me ....-"
Sepenggal lirik lagu Anna lantunkan, hatinya terenyuh saat mendengarkan lagu Eternal flame dari The Bangles tersebut, seolah mewakili apa yang ia rasakan.
Mobil Anna pun berhenti di hadapan pagar rumah itu. Tanganya menekan klakson, membuat satpam rumah tersebut keluar untuk membuka pagar.
"Eh, non Anna. Mau ketemu den Revan, ya?"
Anna tersenyum, menggeleng.
"Tante Laura, ada kan ya, pak?"
"Oh, mau ketemu Nyonya? Tak kira mau ketemu den Revan. Ada kok non, masuk saja."
Sekali lagi, Gadis itu tersenyum, mengangguk sebelum akhirnya melangkah munuju teras rumah seraya menenteng paper bag, tangannya terulur menekan bel. Beberapa detik menunggu dengan jantung berdegup kencang, karna entah mengapa dia merasa was-was, akhirnya pintu terbuka. Dan, menampilkan...-
Revan.
Anna terpaku, jantungnya kian berdegup kencang. Sementara Revan menampakan keterkejutannya saat melihat gadis itu kini ada di depan rumahnya.
"Ada apa?"
"Mommy, ada?."
Revan terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk.
"Masuk."
Anna tersenyum sesaat ia berjalan mengekori kekasihnya itu.
"Mommy!"
"Eh, si cantik datang toh."
Anna tersenyum senang saat Laura memeluknya dengan tangannya penuh akan adonan tepung. Sepertinya wanita itu tengah membuat kue bolu. Sementara Revan hanya terdiam, bersender di nakas seraya menyilangkan kedua tangannya menyaksikan itu.
"Mom, ini ada titipan dari oma Anna, buat mommy."
Anna menyerahkan paper bag itu kepada Laura, dan wanita itu menerimanya dengan wajah terkejut.
"Oma-mu? apa ini?"
Laura tampak antusias membuka paper bag itu, ia kembali terkejut setelah tahu apa isi di dalamnya.
"Wah, oleh-oleh Bali ya ini? Oma-mu orang Bali, An?"
"Iya, mom."
"Aduh, sama dong sama mommy."
Anna tersenyum menanggapi itu. Ia lantas menolehkan kepalanya kepada Revan yang sadari tadi diam menyaksikan dirinya dan Laura.
... Mereka berdua bertatapan dalam detik-detik yang melambat, seakan mengucapkan serangkaian kata-kata dalam benaknya.