Cemburu

Big pensi tinggal menghitung beberapa hari saja, dan pastinya sudah dipersiapkan matang-matang oleh pihak sekolah. Pun dengan para OSIS.

Secara terstruktur, semua anggota OSIS sudah dibagi tugas masing-masing dengan merata dan terkoordinir.

Kali ini berbeda dari tahun kemarin.

Sebagian anggota diberi tugas untuk mengundang beberapa sekolah dan musisi terkenal untuk memeriahkan acara tersebut.

Adapun koordinator lapangan, yang bertugas menyiapkan berbagai kebutuhan seperti dokumentasi, peralatan keamanan, dan masih banyak lagi.

Revan -si ketua OSIS juga tidak segan membahas itu semua bersama-sama dalam waktu yang terbilang tak sebentar. Bahkan, pernah di suatu waktu ia mengadakan rapat dari jam pulang sekolah hingga menjelang malam. Yang pasti beberapa anggota OSIS khususnya siswi rela mengikutinya.

Untuk tema maupun konsep pun sudah diserahkan padanya juga komdis yang disetujui oleh pihak sekolah.

Dan saat ini dijam istirahat, terlihat Revan tengah menyenderkan tubuhnya ke meja seraya memasukan satu tangannya ke dalam saku celana, sementara tangan yang lain memegang sebuah kertas dengan pandangan fokus pada kertas itu.

"Agenda hari ini adalah membahas persiapan dari setiap panitia. Langsung saja, dimulai dari koordinator pengisi acara dan penyebar undangan."

Revan mengalihkan pandangannya pada salah satu anggota OSIS. Tak lama, terlihat seorang gadis berdiri kemudian.

"Untuk saat ini yang bisa saya sampaikan adalah memastikan siapa saja yang lolos seleksi dalam setiap kategori. Khususnya puisi dan drama, mereka sudah mulai latihan dengan maksimal."

Revan mengangguk lalu menyilangkan kedua tangannya. Mengingat acara pensi kali ini bukan main-main. Jadi secara otomatis harus diseleksi demi kelancaran acara.

"Lalu bagaimana dengan undangan sekolah lain?"

Kali ini seorang siswa berdiri.

"Untuk undangan, kita sudah konfirmasi ke para pihak sekolah bersangkutan. Mereka menyerahkannya kepada club mading. Sementara ini, mereka menyebarkan undangan itu lewat mading sekolah."

"Oke! Untuk host, tolong sebutkan siapa yang fix jadinya?"

"Itu seperti tahun kemarin, Van. Citra dan Gilang."

Revan kembali mengangguk,

"Koordinator keamanan, gimana? Apa kalian sudah meminta anggota UKS dan pramuka untuk meminta bantuan? silahkan."

Lima dari anggota OSIS pun berdiri akhirnya. Mereka tampak terlihat saling bertatapan, gelisah. Membuat Revan mengerutkan dahi karnanya.

"Itu.. Kami belum, Van."

"Bagaimana bisa belum?! Pensi tinggal beberapa hari lagi, apa kalian sanggup hanya berlima?!

Tanya Revan dengan nada sedikit membentak. Semua orang itu pun menunduk, kecuali komdis.

"Tidak mungkin anggota UKS dan pramuka menolak, kalau perlu saya yang akan buat surat permohonan untuk mereka!"

"Sorry, Van. Kami janji bakal mengurus itu secepatnya."

"Jangan cuma janji! buktikan! itu kan tanggung jawab kalian!"

Revan menarik napasnya mengatur emosi. Yang ia inginkan adalah kerja totalitas tanpa batas.

"Dan satu lagi, saya dan para komite ingin pengamanan diperketat. Jika perlu geledah setiap tas yang masuk, mau itu dari siswa sini ataupun siswa luar. Tahan dulu mereka untuk masuk, lalu tanyakan."

Pernyataan itu seketika membuat orang-orang yang ada di ruangan itu mengangguk, patuh. Tapi Hanif -salah seorang diantaranya menunjuk tangan.

"Boleh saya kasih tambahan?"

"Silahkan."

Ucap Revan dengan nada formal, karna bagaimanapun ini rapat organisasi.

"Sesuai pembahasan rapat terakhir kita kemarin, akan lebih baik jika koor keamanan melakukan pemeriksaan keliling. Dan, untuk menghindari tindak asusila. Bagaimana jika setiap kelas yang tidak terpakai dikunci saja. Karna bagaimanapun diacara event seperti ini akan ada yang memanfaatkan situasi."

"Saya setuju dengan Hanif, Van. Mengingat acara pensi ini beda dengan tahun kemarin. Lebih baik diperketat tanpa ampun, demi keamanan dan kenyamanan acara."

Revan mengangguk setuju.

"Oke saya terima! Untuk koordinator keamanan, jadi kalian sudah dengar itu, bukan? Tolong kalian secepatnya hubungin bagian UKS dan pramuka untuk meminta bantuan."

"Siap, Van!"

Hingga rapat itu pun berakhir, semua anggota osis itu pun bubar untuk beristirahat, memanfaatkan sedikit waktu yang ada.

Sementara Revan masih setia di ruangan itu. Membaca kembali lembaran-lembaran pada map.

Tiba-tiba Sisil menghampiri, dan bertanya..-

"Aku denger, Anna ikut drama ya, Van?"

Revan yang sadari tadi fokus pun mendongkak, dan mengangguk menjawab itu. Lalu pandangannya kembali pada kertas itu.

"Drama itu judulnya kalau gak salah tentang putri salju, ya? Aku denger juga Anna jadi putrinya. Yah... gak heran sih. Dan, untuk pangeran katanya Leo si murid baru itu, kan? Cocok juga."

Revan tersentak, ia baru tahu akan hal itu.

Anna dan Leo?

Tiba-tiba laki-laki itu merasakan panas di hatinya. Tanpa sadar, Revan meremas kertas yang dipegangnya. Dalam hati berkata, kenapa perasaan itu selalu datang? ini sangat menyebalkan!

Sementara Sisil yang sadar akan hal itu mengalihkan mukanya, tersenyum sinis penuh kemenangan.

***

Revan menghentikan permainan gitarnya sesaat ia telah selesai latihan band. Ia dan Dimas memutuskan gabung pada band Billy serta Marcel untuk acara pensi nanti, menggantikan dua orang lainnya yang kebetulan anak kelas 3. Karna bagaimanapun dirinya juga harus mendapatkan nilai untuk pelajaran kesenian diakhir semester.

"Good! makin ada kemajuan kita!"

Kata Billy berseru. Hingga Dimas yang mendengar itu pun bertanya..-

"Heh! kita fix pake lagu yang mana jadinya? lo harus konsisten napa, Bil!"

"Iya, gimana sih lo! Harusnya kita latihan fokus ke satu lagu yang nanti bakal dibawain buat pensi."

Kata Adit - salah satu anggota band, menimpali omongan Dimas.

"Iya.. iya bawel banget sih lo berdua! gue kan lagi pengen nyanyi lagu yang melow-melow."

"Si kampret! ada yang galau ternyata. Pasti gara-gara ditinggal pergi lagi si Rena. Lo sih super ngaret kalau jemput doi."

"Gak usah dibahas, ogeb!"

Dimas dan Adit terbahak mendengar omongan Marchel, yang dibalas sarkas Billy akhirnya. Ia lantas mengalihkan pandangannya pada Revan yang sadari tadi terdiam melamun.

"Van, lo ngelamun mulu. Ada something?"

Tanya Billy kemudian. Kontan laki-laki itu pun tersadar.

"Enggak, gue..... cuma mikirin buat pensi nanti."

Jawabnya ragu, membuat Dimas yang juga mendengar itu mengernyit.

"Mikirin tentang apa lagi? kan udah beres pasti."

"Itu, ah udahlah gak usah dibahas. Ini udah belum ya latihannya?"

"Belumlah, tuh si Billy yang bikin ngaret. Pantes si Rena ngambek juga."

"Apa sih, bangke?! Yauda sih, tinggal mulai latihan lagi, go!"

Pada akhirnya, mereka pun kembali latihan setelah percekcokan kecil barusan.

Hingga di mana waktu semakin berlalu, mereka memutuskan untuk mengakhirnya. Termasuk Revan, ia melepaskan tali gitar yang sejak tadi digantungnya di leher.

Mereka bersama-sama berjalan beriringan keluar dari ruang musik, lalu menuruni tangga, serta berjalan menelurusi koridor untuk menuju parkiran.

"Eh, Van. Itu Anna tuh!"

Tunjuk Dimas, sesaat mereka melewati kelas teater. Mau tak mau Revan pun mengalihkan tatapannya pada arah telujuk laki-laki itu.

Ia dapat melihat Anna yang tengah berpegangan tangan seraya bertatapan dengan Leo, si murid baru itu. Ternyata benar, Anna memang beradu ekting dengan laki-laki itu.

Diam-diam Revan pun mengepalkan tangannya, keras.

***

"Mau kemana?"

Anna yang saat ini tengah berjalan santai melewati parkiran berdenyit mendengar suara tanya itu.

"Revan?"

Anna membulatkan mata sempurna, saat dilihatnya Revan tengah bersander di tembok seraya menyilangkan kedua tangannya, memandang intens dirinya.

"Aku kira kamu sudah pulang. Terus, kenapa masih di sekolah?"

Revan mendengus,

"Nunggu kamu-lah."

"Aku?"

"Siapa lagi? mau pulang atau enggak?"

Anna tersenyum senang mendengar itu. Lantas gadis itu pun berlari kecil merangkul mesra lengan kekasihnya itu.

"Makasih ya, baby. Udah mau nungguin. Ayo, pulang."

Mereka berdua pun berjalan menghampiri motor sporty hitam Revan. Setelah menyalakan mesinnya, laki-laki itu juga melajukan motornya, meninggalkan Leo yang sadari tadi memperhatikan keduanya dengan tatapan yang sulit dideskripsikan.

Sesaat diperjalanan, Anna tersenyum penuh arti, ia memeluk laki-laki itu semakin erat.

Hal itu tentu saja dirasakan Revan. Perasaan hangat menjalar di hatinnya. Dari balik helm itu, tanpa sadar, ia tersenyum kecil.

Dan, Anna pun turun dari motor Revan setelah ia sampai di rumahnya, didapatinya Mayang -oma'nya, tengah mengambil surat di kotak surat tanpa tahu gadis itu ada di belakangnya.

"Itu, oma-ku, Van."

Bisik Anna pada Revan kemudian. Mendengar itu, Revan pun turun dari motor dan membuka helmnya.

"Boleh aku ucapin salam?

Anna tersenyum, mengangguk. Ia antas melangkahkan kakinya mendekati Mayang, diekori Revan di belakangnya.

"Oma."

Sapaan dari Anna membuat Mayang seketika membalikan badannya, ia berdenyit tatkala melihat gadis itu bersama seorang laki-laki.

"Oma, ini Revan."

Spontan, mendengar itu Mayang pun menunjukan wajah keterkejutannya. Tak lama ia pun berkata..-

"Oh, ini yang namanya Revan? Akhirnya oma bisa lihat kamu juga."

Kali ini giliran Revan yang mengerutkan dahinya. Tapi ia mengabaikan itu. Secara impulsif laki-laki itu meraih tangan Mayang, dan menyalaminya.

"Saya Revan, oma."

Mayang merasa terperagah. Ternyata sopan juga anak ini, pikirnya.

"Iya... iya, oma tahu. Dari dulu oma ingin lihat kamu."

Katanya antusias, membuat Revan kembali mengerutkan dahinya bingung.

Dari dulu?

Sementara Anna mengangga dibuatnya. Sebelum Mayang kembali membuka mulutnya. Dengan sigap gadis itu pun berkata...-

"Maksud oma itu kemarin-kemarin, Van. Kemarin aku ceritain tentang kamu pada oma."

Mayang mengalihkan pandanganya pada Anna, ia mengerutkan dahinya mendengar itu.

"Apa maksudmu, Anna? Kan dulu..-"

"Oma, lihat! ini sudah mau hujan. Sebaiknya oma masuk ke dalam."

Tanpa sepengetahuan Revan, Anna berkata seraya membuat puppy eyes pada Mayang, sebagai isyarat untuk oma-nya itu, pergi.

"Ya sudah.. Revan, oma tinggal ke dalam dulu ya. Salam buat kedua orangtua-mu."

Revan tersenyum mengangguk, walau dalam hati masih terasa mengganjal.

"Iya, oma."

Tak lama, Mayang pun melangkahkan kakinya memasuki rumah, hingga akhirnya wanita tua itu hilang dari pandangan Anna juga Revan.

"Mau masuk dulu?"

Tanya Anna kemudian. Dan, Revan menggeleng mendengar itu.

"Seperti kata kamu tadi, mau hujan. Aku pulang."

Anna meringis seraya menggaruk pelan tekuknya.

"Hati-hati ya. Dan, makasih."

Revan tersenyum samar, ia pun membalikan tubuhnya untuk kemudian menaiki motor, lalu menyalakan mesin motornya itu.

Laki-laki itu menoleh sebentar Anna.

Walau tak lama ia melaju, meninggalkan Anna yang tersenyum tulus karnanya.