Di Triangle Lightning Academy ada danau yang sangat besar. Danau ini bisa disebut gerbang kedua menuju pusat aktivitas semua murid. Banyak cerita telah beredar di sekitar danau. Salah satunya yang paling terkenal adalah kabut misterius yang menyelimuti area kecil di tengah danau. Mereka mengatakan Wild Beast yang sangat kuat telah mengklaim wilayahnya disana. Sehingga tidak ada kultivator yang berani mengambil langkah di dekat kabut.
Tapi saat ini sebuah bayangan melesat menembus kabut.
"Guru, apakah kau akan pergi keluar?" Azura berteriak penuh semangat.
Familiar yang membawa sosoknya masih melayang di udara ketika dia melompat turun.
Ada pulau kecil disana. Selain sebuah pondok kayu sederhana di tengah pulau, tidak ada apapun yang menyerupai Wild Beast yang dirumorkan.
Salju mewarnai tempat itu, sangat kontrak dengan panas matahari di luar sana. Azura tidak terlalu terkejut dengan pemandangan itu. Dia jelas sudah terbiasa. Bagaimanapun gurunya adalah keberadaan yang istimewa. Posisinya bahkan lebih tinggi dari Master Guild. Ini adalah seseorang yang telah menjadi Immortal.
"Huh, apa yang kau lakukan disini?" Azura berhenti dijalurnya melihat Hiro sudah duduk bermain catur bersama guru.
Cowok itu sudah memakai atribut perang. Azura memerhatikannya dengan heran. Hiro sangat menghindari mengenakan mantel Guild. Benda itu bisa menunjukkan tingkat kultivasi pemakainya. Jadi milik Hiro akan tampak luar biasa. Tapi dia selalu mengatakan menjadi mencolok tidak baik. Nah, apa yang dia harapkan dengan tampang dan bakat yang dia punya?
Namun kali ini dia bahkan memakai Soul Weaponnya di anting telinga kiri. Menggantung ringan menyerupai miniatur pedang. Bukan berarti dia memiliki kesempatan untuk menggunakannya. Karena Azura pasti akan menebas semua kesenangan untuk dirinya sendiri.
"Skakmat!" Hiro benar-benar mengabaikannya.
Fokusnya masih tertuju pada papan catur. Dia sedang berkonsentrasi tinggi untuk menghitung setiap pergerakan. Gurunya adalah orang yang berpengalaman. Bagi pemula sepertinya merupakan pencapaian hanya dengan satu skakmat. Bahkan jika dia masih gagal.
"Baiklah, sudah saatnya kalian pergi." Xiu Seijin tersenyum ringan melihat kedua muridnya. Dia membiarkan Hiro menang tanpa perlawanan.
"Pergi? Kemana? Apakah akan ada pembunuhan?" Azura melompat gembira. Hari-hari ini sangat membosankan. Dia sedang menunggu pembalasan terhadap pemerintahan Bumi.
"Apakah seniormu tidak memberitahumu apa-apa?" Tanya Xiu Seijin dengan sabar.
"Senior sangat sibuk. Dia hanya mengatakan untuk pergi menemani guru berjalan-jalan." Matanya berbinar-binar, "apakah itu artinya kita akan keluar? Guru harus menunjukan dominasi terhadap dunia."
Hiro mendengus mendengar ocehan Azura.
"Apa? Orang yang tidak memiliki ambisi sepertimu tidak akan mengerti." Azura langsung menggonggong.
"Orang yang berambisi sepertimu hanya mencari mati."
"Kau pengecut."
"Ini namanya hati-hati. Kau bahkan tidak mengerti perbedaan sederhana ini. Musuh dalam kegelapan lebih berbahaya daripada yang terlihat cahaya."
"Guru, lihat? Dia dan aku tidak pernah cocok, tapi kau masih bersikeras membuat kami berpasangan."
Xiu Seijin tertawa. Dari lima muridnya, dua ini paling favorit. Mungkin karena mereka yang termuda. Terlebih lagi interaksi mereka selalu bisa menghiburnya. Jangan salah, mereka memang tampak saling bertentangan, tak jarang berkelahi dengan niat pembunuhan, tapi kerjasama mereka sudah dipastikan. Mereka akan mengeluh di permukaan meskipun sangat diragukan bahwa mereka tidak menikmati setiap perseteruan.
"Dimana tingkat kultivasimu sekarang?" Xiu Seijin bertanya pada Azura.
Segera semangatnya yang berapi-api mengempis. Kakinya bergerak-gerak gelisah ketika dia menjawab dengan suara kecil, "tingkat 1 Rhea Nila."
Jika semua kultivator di Triangle Island melihat reaksinya mereka akan memukulnya. Berapa umur Azura? 17 tahun. Dan dia sudah berada di Rhea Nila!
Usia optimal untuk menembus Soul Visualisation 7 tahun. Di usia itu juga mereka harus bisa menggunakan katalisator untuk mengaktifkan tingkat 1 Pilar Cahaya. Rhea yang akan mereka hasilkan di dalam Pilar Cahaya akan berurutan dalam tujuh warna pelangi. Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila, dan Ungu. Tentu saja semakin tinggi warna semakin kuat energinya. Untuk kultivator rata-rata menyelesaikan setiap fase warna Rhea sekitar 5 tahun.
Dan Azura berhasil memotongnya dalam 2 tahun. Apa yang membuatnya malu? Para kultivator rata-rata jelas tidak mengerti persaingan antar jenius. Apalagi jika lawannya monster semacam Hiro. Dia hanya bisa terus menundukkan kepalanya. Ini adalah wilayah sensitif.
"Tidak buruk." Xiu Seijin jelas tidak terganggu dengan kemurungannya. Lagipula murid kelimanya tidak pernah normal. Dia tidak bisa dijadikan objek perbandingan. "Aku tidak perlu khawatir lagi tentang kultivasi kalian. Bagaimanapun hanya masalah waktu sebelum kalian memulai perjalanan antar dimensi, benar?"
Hiro mengangkat bahu, sementara Azura menganggukan kepalanya dengan kuat.
"Kalian mungkin harus mulai memikirkan tentang menambah teman perjalanan lain."
"Aku sudah mendapatkan satu." Azura berseru.
"Siapa? Kenapa aku tidak tau?" Hiro mengerutkan kening tidak setuju.
"Kau akan tau setelah dia lolos dari orientasiku." Ekspresinya mengatakan bahwa seseorang akan sial.
Xiu Seijin menggelengkan kepala pada muridnya yang nakal. "Asalkan kalian tau apa yang terbaik. Sekarang pergi, gunakan kebijaksaanmu sebelum membunuh banyak orang."
"Guru tidak akan datang?" Azura bertanya dengan bingung.
"Gurumu memiliki tugas lain untuk diselesaikan. Pergilah lebih dulu. Juniormu tau apa yang harus dilakukan."
Azura melirik Hiro, "apakah kau tidak malu disebut junior oleh guru?"
"Kenapa malu?" Dia mengangkat alisnya bertanya.
"Kau tidak pernah menghormatiku sebagai seniormu?"
"Apakah kau pantas mendapat rasa hormatku, se-ni-or?"
Azura hampir meninju wajahnya karena frustrasi.
Dia mengangkat kepalanya mencari hewan peliharaannya. Di udara seekor singa besar melompat menghampirinya. Monster itu dulunya seekor Wild Beast yang berhasil meningkatkan kecerdasan tertentu sehingga beralih menjadi Divine Beast. Ada perbedaan. Sementara Wild Beast sangat liar dan hanya dipengaruhi insting, Divine Beast memiliki pemikiran. Tidak banyak dari mereka. Beberapa karena dijinakkan. Tapi penjinak binatang sangat langka sehingga yang ini lebih jarang.
Panthera Leo milik Azura telah menandatangani pakta jiwa. Ini menjadikannya seekor Familiar. Sebutan bagi Divine Beast yang telah memilih kesetiaan.
Panthera Leo sangat kuat. Mereka terlahir dengan dua elemen yang saling bertentangan. Dimana surainya terbuat dari api, kakinya menaiki kabut air. Jadi karena pakta jiwa hanya berhasil dengan elemen yang sama, Azura memilihnya.
Dia menggosok surai berapinya sebelum membiarkan Familiar itu memasuki Soul Visualisation. Kemudian dari ruang penyimpanan FlexiBall-nya, Azura mengeluarkan mantel putih Guild dan memasang Soul Weaponnya juga. Sebuah belati. Dia memakainya di anting kanan.
Melihatnya menyelesaikan persiapan, Hiro menariknya menghilang.
Tanpa peringatan apapun mereka muncul diatas lautan. Tetapi karena Hiro sudah siap, FlexiBallnya membentuk sayap transparan di punggungnya. Sedangkan Azura jatuh tanpa hambatan.
"Brengsek!! Kau melakukannya dengan sengaja." Dia berteriak keras.
Hiro tertawa, "senior, kau harus belajar waspada. Jika ini musuh yang melakukannya, kau hanya tinggal nama sekarang."
Entah kenapa ketika panggilan senior keluar dari mulut Hiro, Azura hanya merasakan penghinaan. Awalnya dia seorang yang pendendam, jadi bisa dipastikan dia akan menghitung skor. Tapi refleknya masih cukup cepat. Sebelum tubuhnya menyentuh air, Azura mengeluarkan FlexiBall-nya. Bola itu segera menempel di punggungnya. Setelah Azura menyuntikkan Rhea, sayap transparan terbentang menyeimbangkan tubuhnya.
"Baiklah, aku akan melupakan ini sebentar. Jadi kemana kita bersenang-senang?"
Hiro menunjuk sebuah pulau di kejauhan. "Ada organisasi militan yang bersembunyi disana. Mata-mata mereka di pemerintahan telah memanipulasi laporan untuk menargetkan kita atas nama mereka. Sejumlah pembunuhan brutal, pengeboman acak di berbagai negara, penculikkan, semua milik kita. Aku sudah menyelidiki. Pemimpin mereka adalah pendatang baru dari dimensi lain. Tapi anggota pengkhianat dari Guild kita yang terbanyak. Mereka memiliki sekitar 50 Rhea Ungu, 25 Rhea Nila, dan beberapa Rhea Biru."
"Untuk berpikir memprovokasi kita hanya dengan segelintir tikus. Mereka pasti memiliki banyak nyawa." Azura tampak siap beraksi.
"Keberanian mereka masih patut dipuji. Mereka pasti putus asa untuk diakui."
"Kalau begitu tunggu apalagi? Ayo pergi."
Sayap Azura mengepak, memimpin Hiro menuju pulau. Mereka akan mendarat ketika Azura berbalik kembali dan menghalangi jalan Hiro.
"Apa?" Tanya Hiro.
"Kau akan merekam pertarungan ini, kan?"
Hiro mengangguk.
Gadis itu seperti memikirkan sesuatu sebelum mengeluarkan masker untuk menutupi sebagian wajahnya. "Oke, aku siap."
"Untuk apa itu?"
"Belum waktunya bagiku menunjukkan wajah pada dunia." Dia masih memiliki hal-hal menyenangkan untuk dilakukan.
Hiro bahkan tidak ingin tau lagi.
Mereka jatuh dengan keras. Menghancurkan sebagian benteng militan dalam prosesnya. Semua orang berhamburan keluar. Senjata siap dilepaskan.
Tubuh Azura memancarkan cahaya nila. Dia berencana menggunakan 5 persen dari kekuatannya. Seharusnya sudah cukup. Semua manusia biasa ini hanya sekelompok cacing di depannya. Senjata mereka seperti mainan anak-anak. Rentetan peluru yang membidiknya jatuh tanpa membuat celah di tubuhnya. Hiro lebih canggih lagi, setiap butir peluru terkikis langsung oleh pertahanan tak terlihat.
Tidak ada tembakan yang berhasil melukai mereka. Jadi Azura memutuskan memulai pembantaian. Dia menyerbu ke depan sementara Hiro hanya membayanginya dengan santai. Orang-orang itu mulai berantakan. Segala daya yang coba mereka lakukan sia-sia. Apakah dua pemuda ini manusia? Sebelum menemui kematian, pikiran mereka menggemakan pertanyaan yang sama.
Mereka yang tersisa segera mundur ketakutan. Azura telah membunuh tanpa pandang bulu menggunakan sepasang belati. Mantel putihnya bahkan tidak ternoda. Di seluruh tanah di sekitarnya, tubuh-tubuh yang tidak lengkap berserakan.
Azura membungkuk mengusapkan darah yang mengotori belatinya pada pakaian korban terakhirnya. Dia memang layak untuk namanya. Deadly Beauty.
"Pembunuhan brutal." Katanya mengumumkan. "Seperti yang kalian tuduhkan."
Kemudian Azura mengulurkan tangan. Gelombang besar Rhea berputar di telapak tangannya. Ini adalah teknik tingkat tinggi yang normalnya digunakan kultivator Rhea Ungu. Fire Storm Rages. Dia menahan tekniknya dalam jumlah kecil. Memanipulasinya menjadi segenggam bola. Tanpa memberi kesempatan lawan untuk keluar dari keterkejutan, Azura melempar mini Fire Storm Rages menjadi bom yang meledak. Setengah bangunan dihanguskan bersama orang-orangnya.
"Itu dia bom acak." Serunya seolah pemusnahannya bukan apa-apa. Dia berbalik menatap Hiro yang sejak awal berdiri di belakangnya menonton pertunjukkan. "Apalagi sekarang?" Tanyanya.
"Penculikan." Jawab Hiro.
Azura mengedipkan mata menatapnya. "Bukankah itu tidak berguna? Untuk apa? Apa manfaatnya?"
" Bagaimana aku tau? Pikiran manusia bisa rumit."
"Ayo kita lewati yang ini. Menculik mereka tidak memberikan apa-apa."
Sejauh ini para kultivator masih belum muncul. Mereka menatap gedung yang tersisa. Bahkan tidak mencoba mempertimbangkan untuk langsung memasukinya.
Rangkaian jeruji besi menyambut mereka. Tempat itu juga berbau busuk. Hiro melongok setiap penjara. Dahinya mengernyit melihat tubuh-tubuh yang sudah mati. Mereka seharusnya telah melalui serangkaian penyiksaan sebelum di buang merenggang nyawa. Bagi seseorang yang telah melalui pembantaian tanpa mengedipkan mata, masih tidak bisa ditolerir untuk melakukan penyiksaan pada seseorang yang tidak bersalah.
Mereka tidak mengatakan apa-apa sepanjang koridor penjara. Suasana yang sudah menyeramkan menjadi lengkap ketika suara rengekan terdengar. Hiro memperpanjang perspepsinya mencari asal suara.
Di ujung koridor dia merasakan seorang anak yang masih hidup. Mereka berlari menghampirinya. Tapi itu membuat kemarahan Hiro semakin mendidih. Anak ini hanya sekitar 8 tahun. Wajahnya hampir tak berbentuk. Seluruh tubuhnya sudah dikuliti. Adalah keajaiban dia masih hidup.
"Az!?" Panggil Hiro sambil menyentak besi terbuka.
"Aku mengerti." Azura menyingsingkan lengan bajunya. Cahaya hijau redup keluar di kedua tangannya. Dia menekannya di atas jantung anak itu. Ini adalah spesialis Azura. Rhea yang mengandung kekuatan hidup.
Setelah beberapa saat, rengekan anak itu berhenti. Matanya terbuka menatap mereka dari celah kecil luka parut. Azura segera memindahkan tangannya pada wajahnya. Dimana Rhea menyentuh, luka mulai menutup dan mengembalikan wajahnya seperti semula. Mata Azura memerah menatap bocah laki-laki cantik itu. Bajingan seperti apa yang tega merusak seorang anak yang tak berdosa?
"Tunggu sebentar, jangan bergerak. Aku akan menyembuhkan lukamu."
Bocah itu memejamkan matanya lagi. Setetes air mata jatuh. Dia patuh dibawah sentuhannya.
"Siapa namamu?" Tanya Hiro.
"Matteo." Suara itu keluar sangat lirih.
"Jadi Matteo, kau aman sekarang."
Dia tidak menjawab. Sepertinya sudah tidak sadar.
Azura berhasil menyelesaikannya dalam setengah jam. Penggunaan Rhea khusus ini menguras banyak tenaganya. Dia butuh beberapa saat untuk memulihkan diri.
Sementara itu Hiro menyelimuti tubuh telanjang Matteo. Tapi ketika dia akan mengangkatnya, bocah itu kembali membuka mata. Tatapannya kosong. Dia seperti sudah kehilangan jiwa. Tempat buruk ini pasti telah meninggalkan Trauma.
Hiro mengambil permen bertongkat di penyimpanannya dan menyerahkan pada Matteo. "Kau jagoan bukan? Jangan biarkan orang jahat itu menang? Jika kakak menunjukkanmu balas dendam, maukah kau menjadi lebih baik?"
Pada awalnya tidak ada apa-apa. Matteo menatapnya tanpa mengedipkan mata. Hiro mulai menyerah pada reaksi ketika tangan kecilnya bergerak mengambil permen bertongkat.
"Apakah kau akan datang? Atau kakak perlu membawamu?" Dia harus membiarkannya menjadi kuat. Setelah melalui semua kengerian, dia akan belajar.
"Aku datang." Matteo berdiri dengan susah payah. Tubuhnya sudah berfungsi normal, tapi dia masih sedikit lemah. Dengan memegang sepotong kain yang menutupi tubuhnya, Matteo sangat bertekad.
Azura memimpin jalan keluar. Dia bergerak perlahan untuk mengimbangi Matteo. Tidak ada gunanya menjelajah lebih jauh. Bangunan itu hanya berisi penjara.
Tapi begitu mereka melangkah dari pintu, ledakan cahaya yang menyilaukan menghampiri mereka. Hiro tidak tampak terkejut. Ruang dimana mereka bertiga berdiri tampak terdistorsi. Serangan itu melewatinya. Seolah-olah hanya proyeksi mereka yang berada disana.
Ketika efeknya mereda dan tidak ada apapun yang menghalangi pandangan kedua belah pihak, Hiro sudah mengharapkan ekspresi ketakutan di wajah semua kultivator yang datang. Kendali ruang bukan apa yang bisa mereka bayangkan.
"Anggap itu peringatan." Gumamnya sebelum membuat segel tangan.
Diagram yang sangat besar menutupi seluruh pulau. Empat pola elemen diukir di atasnya. Api, angin, bumi dan air. Secara berurutan pola-pola itu berputar. Angin bertiup kencang dan awan gelap bergeser menutupi sisa cahaya matahari yang hampir terbenam. Pulau telah jatuh dalam kegelapan. Meskipun begitu mata kultivator tidak bisa menghalangi apa yang terjadi.
Pola api mulai tumbuh mendominasi. Tiba-tiba lahar menyembur keluar darinya. Cairan itu menuangkan panas yang membakar segala sesuatu yang ditimpanya. Para kultivator berlari mencoba menghindarinya. Tapi tidak ada tempat mereka bisa pergi. Satu persatu mereka jatuh bermandikan lahar. Hiro jelas menyetel intensitas panas untuk menghancurkan mereka tanpa benar-benar merenggut nyawa.
Setelah bersenang-senang membakar. Pola angin datang. Puting beliung muncul mengakomodasi semua kultivator. Melemparkan mereka dan merebusnya dalam sayatan angin. Beberapa tidak bisa bertahan.
Hanya 50 orang yang datang untuk melihat pola Bumi unjuk kekuatan. Lubang isap besar mengubah daratan pulau. Itu berputar dan mengisap apapun yang masih berdiri di atasnya. Hiro, Azura dan Matteo masih terlindung didalam ruangan yang terdistorsi. Mereka tidak terpengaruh dengan apapun yang terjadi disana. Setiap serangan hanya datang melewati mereka.
Seorang kultivator yang bertahan paling akhir mendongak menatap Hiro. Matanya penuh teror dan penyesalan. Orang ini seharusnya pemimpinnya.
"Space Magi... Penangkal dimensi... Tiran kultivator... " Dia terus menggumamkan itu sebelum terseret lubang isap.
Begitu orang terakhir menghilang, simbol air mengambil alih. Air laut naik membentuk wajah naga. Makhluk itu membuka mulutnya dan menelan bersih daratan.
Sebagai hasilnya, pulau menghilang dari radar. Dan samudra perlahan mulai tenang.
Azura menoleh menatap Hiro. O ow... Dia sedang marah. Keadaan Matteo pasti mengusiknya. Kekuatan ekstrim yang digunakannya jelas di luar kendalinya yang biasa.
"Bagaimana dengan itu?" Tanya Hiro pada Matteo.
Anak kecil itu anehnya menerima apa yang disaksikannya dengan tenang. "Terima kasih." Jawabnya.
Akhirnya Hiro tersenyum. Dia mengacak rambut coklat Matteo sebelum mengaktifkan sayapnya. Itu isyarat bagi Azura untuk melakukan hal yang sama. Dia juga mengambil Matteo agar duduk di atas bahunya. Dan kemudian Hiro menghapus ruang yang mereka tinggali kembali nyata.
"Kemana selanjutnya?" Tanya Azura.
Hiro tidak mengatakan apa-apa. Dia mendongak menatap bintang yang mulai berdatangan. Cahayanya sangat cemerlang. Apalagi jika semua cahaya buatan menghilang.
FlexiBall-nya naik menyalakan layar virtual. "Guru, disini sudah siap." Katanya pada Xiu Seijin yang saat ini berada di samudra lain menunggu gilirannya.