Lima

Beberapa minggu berlalu, sampailah pada hari ini. Hari yang paling kunanti. Karena hari ini, aku telah diwisuda, bahagia dan haru bercampur menjadi satu. Haru karena aku tahu setelah ini, aku akan jarang bertemu dengan sahabat-sahabatku, bahagia karena aku bisa lulus tepat waktu.

Setelah selesai berfoto dengan teman dan sahabat, aku bergabung dengan keluargaku lagi. Nampaknya kebahagiaan ini bukan hanya milik keluargaku, terlihat sepasang suami istri yang masih tampak gagah dan menawan di usia yang sudah tak muda menghampiri, memelukku dan mengucapkan selamat atas kelulusanku bergantian. Mataku mencari sosok yang akhir-akhir ini sering menemaniku. Iya, setelah acara makan malam keluarga itu, Adrian sering menemuiku, entah untuk sekadar menemani mencari buku atau makan siang bersama.

"Adrian mungkin tidak datang ke sini, Nak. Pesawatnya delay." Tante Mila menyadari kegiatan mataku, aku hanya tersenyum malu.

Setelah beberapa kali bertemu dan berbicara, ternyata Adrian sosok yang cukup menyenangkan.

Tapi tidak, dia datang. Dari jas yang dikenakannya, aku yakin ia pasti belum sempat pulang untuk sekadar berganti pakaian. Oh Tuhan dia tampan, dia mendekatiku.

"Maaf terlambat Mah, Pah, Om, Tante, Lita. Oh iya, selamat sudah menjadi sarjana," sapa Adrian saat meraih tanganku.

"Terima kasih," ucapku tulus.

Setelah selesai acara kami tak langsung pulang, kami menuju salah satu restoran yang kuketahui milik Om Ardi. Banyak obrolan yang terjadi antara dua orang tua itu, aku menjadi pendengar setia hanya sampai Tante Mila menegurku.

"Meera, kau mau menikah dengan Adrian?" Pertanyaan Tante Mila sontak membuatku tersedak. Apa ini lamaran pikirku? Sedang Adrian hanya tersenyum mempelihatkan barisan giginya. Ah tidak, aku belum siap dengan lamaran mendadak seperti ini. Ibu menepuk punggungku lembut sambil memberikan minuman.

"Tante tahu ini terlalu mendadak untukmu, atau sebenarnya tidak juga. Pikirkan saja dulu, bicarakan dengan Ayah dan Ibu. Jika sudah siap, Tante dan Om akan melamarmu secara resmi." Tante Mila menenangkanku sambil mengusap tanganku lembut. Ayah dan ibu hanya tersenyum sambil mengangguk ke arahku.

"Baik Tante, aku akan pikirkan."

🌿🌿🌿

Sepanjang perjalanan pulang aku hanya diam, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Begitu pun ketika sudah sampai rumah, otakku rasanya panas, karena berpikir terlalu keras.

"Bu, Yah. Aku langsung ke kamar, ya."

"Iya, Nak. Bersih-bersih terus istirahat, kau pasti lelah." Ini lebih dari sekedar lelah, Bu. Batinku. Lita mengekoriku ke kamar.

"Cie ... yang sebentar lagi mau dilamar, cie. Terima saja, Kak. Mas Adrian, 'kan tampan, dan lagi dia pewaris tunggal, sudah seperti di drama-drama Korea 'kan." Lita mulai menggodaku. Dan pletak, kudaratkan sebuah jitakan tepat di keningnya.

"Sudah puas menggodaku? Sudah sana! Aku mau istirahat."

"Iya, iya. Istirahat yang cukup, biar pas lamaran nanti Kakak lebih segar." Kali ini dikolaborasikan dengan tawa yang menyebalkan. Bukkk ... sebuah bantal melayang indah dan tepat mengenai kepalanya, dia hanya membalas dengan juluran lidah kemudian menghilang di balik pintu.

Tiga puluh menit aku di kamar mandi, mencoba mendinginkan kepalaku yang sempat panas akibat ucapan Tante Mila.

"Tante tahu ini terlalu mendadak atau mungkin tidak?". Haih ... kalimat itu terus saja berputar-putar di kepalaku, dan lagi senyum orang tuaku yang begitu tampak bahagia. Adrian? dia bahkan tidak membantah, hanya tersenyum atau lebih tepatnya dia menahan tawa. Apa ini lelucon? Apa Adrian sedang menertawakanku? Aku harus menghubunginya.

Sial, belum sempat aku bicara banyak, dia langsung mematikan sambungan teleponnya.

"Hei tunggu dulu ...," omelku, "apa-apaan ini, aku bahkan belum mengatakan apa-apa tapi dia sudah memutuskan saja, dasar pria menyebalkan," sambungku. Aku yang terlampau kesal, melapiaskan dengan mengomeli ponselku yang tidak tahu-menahu.