Enam

*—Adrian POV—*

Waktu menunjukkan pukul 8.17 pagi, aku bangun dan bergegas mandi, badanku terasa sangat lengket karena keringat. Sepulang dari acara wisuda Meera siang tadi, aku langsung tidur. Selesai mandi aku langsung turun untuk mengisi perut yang sudah keroncongan, kulihat mama tengah duduk sambil mengupas apel.

"Ya ampun, Adrian. Ini, 'kan apel buat papa, itu di meja masih banyak," ujarnya, kala kuambil buah yang tengah ia kupas.

"Sepotong saja, Mah," tawarku. Dan, memang hanya sepotong yang aku ambil.

"Ya sudah, kau makan dulu. Kalau sudah ke ruang tengah, Mama sama papa mau bicara," katanya.

"Pasti soal lamaran, 'kan?" Mama hanya tersenyum. Dari awal aku memang sudah paham maksud dari orang tuaku ini. Ini sudah kesekian kalinya papa mengenalkanku dengan anak gadis temannya. Namun, hanya Ameera yang menarik perhatianku, dia memiliki wajah yang teduh dan senyum yang menenangkan. Dia pandai menyesuaikan diri, terbukti dari pertama kali aku mengajaknya makan berdua dia hanya terlihat canggung di awal, seterusnya malah dia yang lebih banyak berbicara.

Meski begitu, aku belum bisa menerimanya. Karena menurutku, aku masih terlalu muda untuk menikah. Kini perutku sudah terisi dengan baik, aku pun bergegas menuju di mana mama dan papa berada. Senyumku langsung mengembang, mereka begitu harmonis, aku bahkan belum pernah melihat mereka bertengkar serius. Hanya sesekali pertengkaran sepele yang masih dalam porsi wajar. Menyadari kehadiranku papa langsung menunjuk tempat kosong di samping mama dan menyuruhku duduk.

"Adrian, duduk," perintahnya.

"Iya, Pah." Aku duduk di samping mama.

"Apa pendapatmu tentang Meera?" tanya papa.

"Yang pasti dia cantik, tapi aku masih belum bisa menilai lebih jauh. O ya, dia juga cukup pandai menyesuaikan diri," jawabku seadanya. Aku tak ingin memuji berlebihan, sebab memang belum terlalu mengenalnya.

"Kita akan melamarnya bulan depan," katanya, aku terkejut dengan pernyataan papa. "O iya, bagaimana pembangunan di Surabaya?"

"Pah, apa tidak terlalu buru-buru melamarnya bulan depan? Dan lagi, apa dia sudah setuju untuk menikah. Kuliahnya saja baru selesai kemarin, Pah." Papa terdiam, beliau nampak berpikir. Ah ... semoga para orang tua ini tak gegabah dalam mengambil keputusan.

"Ya sudah, sekarang Papa sama Drian istirahat. Kita lanjut obrolannya besok. kalian pasti lelah. Apalagi besok harus ke kantor pagi-pagi sekali." Mama memang selalu tahu, baik itu jadwal papa atau aku. Aku pun langsung menuju kamar.

Belum sempat merebahkan badan, layar ponselku berkedip berkali-kali. Setelah kulihat, nama Ameera tertera di sana.

"Jangan terlalu dipikirkan, istirahatlah. Ini sudah malam nanti kutelepon lagi," tukasku, tanpa menunggu gadis di seberang sana berbicara lebih banyak.

Kudengar deru napasnya sebelum mematikan panggilan. Aku tahu, dia pasti akan bertanya soal ucapan mama di restoran tadi, juga menanyakan sikapku yang tidak membantah tapi malah menahan tawa. Gadis ini pasti memikirkannya sepanjang hari. Aku pun merebahkan tubuhku dan siap untuk menjelajahi alam mimpi.

**************

Meeting selesai pada waktu makan siang, aku memutuskan untuk makan bersama Meera. Setelah meminta izin pada papa, langsung kutemui Meera yang sebelumnya sudah kuminta untuk menunggu di restoran seafood dekat kantor. Kulihat gadis manis itu tengah mengobrol dengan salah satu pelayan, mereka terlihat akrab.

"Hai, sudah lama?" Aku menyapanya dan duduk di kursi kosong yang ada di hadapannya.

"Baru sepuluh menit, kau sendirian?" Senyumnya tak pernah lupa ia kembangkan, manis sekali.

"Seperti yang terlihat, tadi temanmu? Kalian terlihat akrab."

"Dia Meli. Kau baik-baik padanya, dia teman SMA ku, dia bilang kau sering ke sini. O iya, aku sudah pesan makanan sesuai keinginanmu." Tak perlu menunggu lama makanan pun datang, kami makan dalam hening.

Selesai makan, gadis berambut panjang itu langsung menghujaniku dengan pertanyaan. "Dri, kau tidak mau menceritakan sesuatu padaku?"

"Tentang?" tanyaku pura-pura tak tahu.

"Tentang hal yang membuatku bingung, lamaran. Kau bahkan tidak mendangarkanku semalam." Oh Tuhan, bagaimana bisa ekspresi kesalnya membuatku gemas?

"Orang tuaku ingin kita menikah, kalau kau mau, bulan depan kami akan melamarmu." Sejujurnya aku sangat berharap ia mengatakan tidak.

"Aku tidak mau. Aku ingin melanjutkan pendidikanku, lalu bekerja di perusahaan besar. Memangnya kau mau menikah denganku?" Syukurlah dia menolak.

"Bagus, aku juga belum siap menjadi kepala rumah tangga. Aku akan berdiskusi dengan orang tuaku, begitu juga kau. Jangan beri mereka kesempatan untuk memaksamu. Oke." Gadis yang baru saja mendapat gelar sarjana itu mengangguk.

"Aku kembali ke kantor sekarang, kau mau pulang atau ikut denganku?"

"Cih, baru saja kau bilang tidak mau menikah denganku. Tapi malah mau mengajakku ke kantormu. Menurutmu, apa yang akan papamu pikirkan?" Ah, kenapa bisa aku sebodoh ini.

"Aku hanya mengetes sejauh mana kecerdasanmu. Kalau begitu kau pulanglah, kabari aku kalau sampai rumah." Aku pun meninggalkan restoran lebih dahulu.