Cantik, aku memuji pantulan diriku di dalam cermin. Aku akan pergi menonton dengan Caca dan Tya malam ini. Setelah kelulusan, kami jarang sekali bertemu. Ah ... aku rindu gadis-gadis itu. Aku bergabung dengan ayah, ibu, dan Lita yang sedang makan malam, aku hanya makan beberapa lembar roti sebagai pengganjal perut.
"Kau makan roti saja?" tanya Ayah.
"Iya, Yah. Nanti aku makan dengan Caca dan Tya saja sepulang menonton." Ayah manggut-manggut tanda mengerti.
"Kakak mau nonton? Aku ikut, boleh?" tanyanya, matanya memancarkan binar penuh harap. Tapi aku, tidak akan mengajaknya bermain.
"Tidak boleh! Anak kecil di rumah saja, belajar yang rajin biar semakin pintar," kataku. Ia langsung memasang wajah cemberut.
Suara ketukan beserta salam terdengar, dari suaranya, aku yakin itu Caca. Dan benar, saat ibu membukakan pintu, gadis yang paling dewasa di antara kami itu pun menyembul dari balik pintu.
"Hai, berangkat sekarang?" tanyaku begitu mereka masuk.
"Santai dong. Kami mau menyapa om dulu." Aku dan ibu tertawa. Aku terlalu bersemangat.
"Malam Om, Lita. Apa kabar?" sapa Caca pada ayah dan adikku. Sementara aku meminta sopir taksi daring untuk menunggu sebentar. Malas rasanya jika harus memesan lagi.
Aku membantu ibu membereskan meja sebentar lalu berpamitan. Setelahnya, kami langsung menuju bioskop yang berada di salah satu mal pusat kota. Beruntung jalanan tidak macet, jadi waktu kami tidak terbuang banyak. Sesampainya di tempat tujuan, Caca langsung mengantri untuk membeli tiket sedangkan aku dan Tya membeli popcorn dan minuman. Caca sudah menunggu kami di samping pintu studio, sudah kuduga mereka akan menonton film horor, aku tidak menyukai film itu. Hampir 2 jam film itu diputar, dan selama itu pula aku panik, khawatir kalau-kalau ada hantu yang tiba-tiba muncul dari bawah kursi atau dari tempat tak terduga lainnya.
"Resek kalian berdua. Kalau tahu filmnya horor, aku tidak ikut tadi," keluhku karena kesal.
"Hanya saat seperti ini, kita bisa melihat seorang Meera yang tenang dan kalem begitu panik. Betul begitu saudara Caca?" sial, mereka malah menertawakanku.
"Betul!" Caca menimpali dengan acungan jempol.
"Luar biasa kalian berdua. Ayo cari makan, aku lapar." Baru beberapa langkah meninggalkan studio, aku melihat seorang pria tidak asing yang beberapa hari ini sulit dihubungi tengah berjalan menuju kami dengan senyum yang terus mengembang.
"Sepertinya malam ini kita makan gratis, Ca," seru Tya.
"Betul sekali saudara Tya. Aku pasti makan banyak." Aku menutup mulut mereka berdua dari belakang dengan posisi merangkul. Dia semakin mendekat.
"Hai, sudah selesai nontonnya? Sudah makan?" tanya Adrian yang langsung dijawab dengan geleng oleh kedua manusia resek ini, Adrian hanya tertawa karena posisiku yang memang masih merangkul dengan menutup mulut Caca dan Tya.
"Kita makan bareng, saya yang traktir," lanjut Adrian, dan lagi dua manusia resek ini menangguk dengan cepat.
"Apa kalian akan berjalan dengan posisi seperti itu?" Sontak aku melepaskan tanganku dari mulut Caca dan Tya.
Adrian bejalan lebih dulu menuju tempat makan yang ada di mal ini, sedang kami mengekori tepat di belakangnya. Dia memakai jeans selutut dengan kaus lengan panjang, makin tampan.