Delapan

*-- Adrian Pov --*

Beberapa hari ini papa sukses membuatku sangat sibuk, sampai harus mengabaikan telepon dari Meera. Tiga hari harus mengawasi pembangunan di Surabaya, yang memang tinggal beberapa tahap lagi agar tak terjadi kesalahan. Sebab jika ada kesalahan kita harus mengulang semua dari awal lagi, dan itu akan memakan waktu yang tidak sebentar. Aku sengaja memilih penerbangan pagi untuk pulang agar bisa istirahat lebih lama di rumah nanti, rencananya aku akan menemui Meera malam ini, dia pasti sangat kesal karena aku mengabaikannya.

Pukul 9.25 pagi aku sudah sampai di rumah, terlihat papa sedang mengobrol dengan seseorang di ruang tamu. Itu Pak Sigit, beliau orang kepercayaan papa.

"Assalamu'alaikum," sapaku memberi salam.

"Wa'alaikumsalam. Istirahat sana, kau pasti lelah," kata papa sembari menyentuh pundakku.

"Iya, Pah. Aku ke kamar dulu, mari Pak Sigit," pamitku pada dua orang tua yang nampak tengah membicarakan sesuatu yang penting.

"Iya, Pak Adrian. Selamat beristirahat." Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Pak Sigit.

Mama mengahampiriku begitu meninggalkan papa dan Pak Sigit. Diambil alihnya tas kerjaku, tak lupa punggung tangan yang masih tampak kencang itu kucium. Lalu masuk ke kamar untuk istirahat, aku benar-benar lelah. Aku bahkan tak berniat mengganti pakaianku, dan lebih memilih untuk segera merebahkan diri dan tidur.

******

Sayup-sayup kumandang azan menyentuh gendang telingaku, memaksaku harus segera bangun untuk melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim. Di luar, kudengar mama mengetuk pintu seraya memanggilku untuk segera bangun. "Iya Mah. Aku sudah bangun," sahutku. Suara langkah kaki mama pun terdengar menjauh.

Setelah selesai dengan kewajibanku, aku pun turun untuk mengisi perutku yang sudah mulai keroncongan. Ya, karena saat pulang tadi langsung tidur. Jadi, bakteri dan cacing di dalam sana mulai bergaduh, meminta jatah makan siang yang sudah terlewat.

Terlihat wanita paruh baya itu tengah mengambilkan nasi untuk papa. Wah, ia masih terlihat sangat cantik meski sudah memasuki usia lanjut, dress model A line begitu pas melekat di tubuh sintalnya. "Mama semakin hari semakin cantik saja," godaku yang berhasil membuatnya tersipu.

"Kau persis papamu. Tukang rayu." Aku hanya terkekeh mendengar penuturannya.

Papa sudah lebih dulu di meja makan pun, tak ayal tersenyum simpul. Dan kami pun makan dengan hening. Iya, kami tidak begitu suka obrolan di meja makan. Selesai makan kami lanjut mengobrol di ruang keluarga. "Bagaimana pembangunan di sana, Dri?" tanya papa membuka percakapan.

"Lancar, Pah. Aku yakin sebentar lagi selesai," jawabku.

"Kalau Meera, bagaimana?" Kali ini mama yang bertanya.

"Meera beberapa kali menelepon, tapi tidak kujawab. Mama tahu sendiri, pekerjaanku bagaimana." Ya, demi target, dan agar tahun depan hotel kami bisa launching. Semua dikerjakan dengan saksama, tak boleh sampai ada yang terlewat, barang secuil pun.

"Lalu?" tanya mama lagi.

"Mamamu sangat menyukai Meera, Dri," bisik papa yang masih bisa didengar mama.

"Aku mau bertanya, boleh?" Mama dan papa saling lempar pandang, kemudian mengangguk. "Apa yang membuat kalian begitu menyukai gadis itu?"

"Dia cantik, pintar. Dan lagi, dia putri dari sahabat papamu. Apa ada alasan lain buat Mama gak suka sama Meera?"

Kutarik napas dalam, dan mengembuskannya perlahan. "Alasan Mama terlalu klise. Sudahlah, aku mau ke kamar lagi, masih ada beberapa laporan yang belum aku periksa. O ya, nanti malam aku akan ke rumah Om Danang."

************

Beberapa kali salam kuucapkan, tak ada jawaban. Saat diiringi dengan ketukan pun, tetap tak ada jawaban. Ke mana orang-orang yang tinggal di rumah ini? Pikirku. Meera juga sejak tadi tak membalas maupun menjawab panggilan teleponku, apa dia mau balas dendam, karena aku mengabaikannya?

Itu terlalu kekanak-kanakan, jika memang iya. Aku tak lantas pergi, sekali lagi kucoba mengetuk pintu lebar itu, dan seseorang menyembul dari baliknya.

"Nak Adrian, masuk. Maaf, tadi Tante tidak dengar," sambut wanita yang aku taksir lebih tua dari mama itu.

"Terima kasih, Tante. Di sini saja. Oh iya, Meera ada? waktu di Surabaya aku tidak sempat menjawab telepon Meera."

"Meera pergi menonton dengan teman-temannya, Nak. Masuk dulu, nanti Tante telepon dia buat pulang."

"Tidak apa-apa, Tante. Biar aku yang menyusul. Salam buat, Om," pamitku.

"Iya, Nak. Hati-hati."

Tak lupa aku pun meminta izin pada Tante Lia, untuk pulang agak malam. Sebab ada yang perlu aku perbincangkan dengan anak gadisnya itu.

********************

Begitu sampai tempat di mana sebagian besar orang pilih, untuk menghabiskan waktu ini, langsung kuarahkan kakiku ke bioskop. Di sana, kulihat tiga gadis keluar dari studio, nampak dua gadis tertawa puas, sedang yang satu malah berwajah masam. Namun, tetap terlihat manis. Itu Meera dan temannya yang kuketahui bernama Caca dan Tya. Meera menyadari kedatanganku, entah apa yang dua gadis itu katakan, Meera malah membekap mulut mereka dengan posisi merangkul.

Aku mengajak mereka makan, selesai makan Caca dan Tya pamit untuk pulang terlebih dahulu, aku tahu mereka pasti sengaja memberi waktu untukku dan Meera.

"Kita jalan-jalan dulu, ya. Aku sudah meminta izin kepada orang tuamu untuk pulang agak malam. Kau tidak perlu khawatir." Meera hanya mengangguk dan mengikutiku di belakang. Aku mengajaknya ke taman kota, aku akan bercerita banyak malam ini, tak butuh waktu lama kami sampai ke tempat tujuan.

"Kau duduklah, aku mau beli minuman dulu." Aku lupa membelinya waktu di mal tadi, ia mengangguk. Gadis penurut, batinku. Aku kembali dengan membawa minuman dan beberapa makanan ringan. Belum sempat duduk, gadis bermanik cokelat itu langsung menyerangku dengan tatapan penuh tanya.

"Sudah siap bercerita?" tanyanya. Jujur, meski itu sudah tergambar di matanya. Namun, masih cukup membuatku terkejut, kala terucap.

"Wow ... tunggu dulu gadis, aku bahkan belum duduk," sergahku. Kududukkan bokongku di sisi kanannya. "Kau ingat saat pertama kali kami berkunjung ke rumahmu?" lanjutku, ia mengangguk.

"Awalnya, kupikir hanya bertamu biasa. Rupanya, ini jauh lebih rumit. Entahlah aku pusing. Bagiamana menurutmu?"

Mendengar penuturannya yang seperti itu. Aku jadi ragu, apa benar ia pintar? Padahal sebelumnya sudah jelas, kita tinggal sama-sama bicara, kemudian menolak. Tujuan dan alasan kita masing-maisng pun, cukup untuk dijadikan alasan.

"Besok aku akan ajak mama juga papa ke restoran yang waktu itu. Lalu, kau bawa juga keluargamu, kita bicarakan sama-sama di sana. Bagaimana?"

Kupikir ia akan langsung setuju, tapi ternyata tidak. Sepertinya sekarang aku mengerti, di mana letak rumitnya. Ya, sebelumnya ia tak pernah menolak permintaan orang tuanya, wajar juga jika ini membuatnya kebingungan.

"Lebih baik kau makan camilan ini, dan berhenti berpikir. Aku tak tega jika otakmu harus bekerja lebih keras lagi," ejekku.