Kepalaku sakit memikirkan saran yang Adrian beri semalam. Membawa ibu dan ayah ke sana memang mudah, tapi apa yang akan aku katakan nanti untuk menolak. Aih, aku benar-benar bingung. Sementara di luar, ibu sudah memanggilku.
Iya, begitu pulang dari taman semalam, aku langsung memberitahukan mereka, untuk pergi ke restoran milik Om Ardi itu. Sebenarnya pagi tadi Adrian sudah menelponku, dan menenangkanku. Namun, ah ... sudahlah. Ini pertaruhan masa depanku, jadi aku harus siap.
"Iya, Bu. Aku keluar sekarang," jawabku saat teriakkan ibu kian lantang di balik pintu.
Baik ayah maupun ibu tak banyak bertanya saat kuminta pergi. Tak lupa kukabari pria tampan itu, kalau kami sudah dalam perjalanan. Dan tidak lama kemudian sebuah pesan jawaban masuk ke ponsel pintarku, rupanya mereka baru saja sampai.
"Yah, Bu. Om Ardi sekeluarga sudah sampai restoran," kataku pada ayah.
"Bilang sama Nak Adrian, kita juga sebentar lagi sampai," ujar ayah. Langsung kusampaikan apa yang ayah katakan tadi.
Sesampainya di restoran, mereka mengambil tempat duduk yang sama, seperti waktu hari kelulusanku beberapa minggu lalu. Senyum ramah langsung terkembang begitu kami menyapa.
"Wah, Mba Lia. Sepertinya anak-anak sudah membuat kesepakatan mereka sendiri. Dan kita hanya tinggal menentukan tanggal juga persiapan lain," seloroh Tante Mila, yang hanya ditanggapi kekehan kecil oleh ibu. Ya, wanita paruh baya itu sepertinya sudah sangat tidak sabar, untuk membahas pernikahan.
"Mama ...," tegur Adrian, yang mungkin sedikit malu. Sebab kami baru saja duduk, tapi langsung disuguhi kelakar seperti itu.
Karena kami bertemu saat makan siang. Jadi, sebelum memulai sesi penolakan, kami pun mengisi perut terlebih dahulu. Setelahnya, barulah Adrian membuka pembicaraan.
"Jadi, Mah, Pah. Om, Tante. Tujuan kami mengajak kalian bertemu tak lain ... kami ingin menolak perjodohan ini," ujar Adrian mantap. Entahlah, dia yang bicara, tapi aku yang malah berkeringat.
Om Ardi sepertinya siap untuk menimpali ucapan anaknya, tapi Adrian kembali melanjutkan kalimatnya. "Tolong jangan salah paham dulu. Kami sudah membicarakan ini sebelumnya. Sejujurnya, baik Meera maupun aku sama-sama belum siap untuk berumah tangga. Om dan Tante bisa tanyakan sendiri kepadanya."
Orang tua Adrian, ayah dan ibu sontak mengarahkan pandangan mereka kepadaku, dan aku mengangguk, mengiakan apa yang pria gagah di sampingku ini katakan. "Iya, Yah, Bu. Aku masih ingin lanjut kuliah, a-aku ...." Belum selesai kalimatku terucap, Om Ardi bangkit dari duduknya, dan meninggalkan kami tanpa sepatah kata pun. Kemudian disusul Tante Mila.
"Maaf Om, Tante, aku kejar mereka. Meera, katakan semuanya pada orang tuamu, aku permisi."
Seperginya Adrian, aku pun melanjutkan alasanku juga alasan Adrian, mengapa kami tak menyetujui perjodohan ini.
"Jadi, kalian sudah memutuskan? Baik kalau begitu, kami sebagai orang tua hanya bisa mengikuti. Ayo, Bu. Kita pulang!" Ayah menarik ibu paksa, kemudian meninggalkanku tanpa melihat wajahku. Apa mereka marah? Tidak! Aku harus menjelaskan lebih.
Aku pun turut berlari mengejar ayah dan ibu, tapi terlambat, mereka sudah pergi begitu juga orang tua Adrian. Apa sekarang aku menjadi anak durhaka? tanyaku pada diriku sendiri. Aku paham bagaimana tabiat ayah. Beliau paling benci ketika anak-anaknya membangkang. Namun, ini menyangkut masa depan, apa tidak boleh aku membuat pilihan sendiri? Terlebih, lelaki yang mereka pilihkan pun tidak tertarik mempersuntingku.
"Mereka marah," ujar seseorang tepat di belakangku. Rupanya itu Adrian, apa dia juga gagal membujuk orang tuanya? tanyaku dalam hati.
"Iya, aku gagal meyakinkan mereka. Itu, 'kan yang ingin kau tanyakan?"
Apa dia cenayang? Mengapa bisa tahu isi kepalaku?
"Itu tergambar jelas di wajahmu. Ayo, aku antar kau pulang," tawarnya, tapi kutolak. Kita tidak bisa terus bersama, atau nanti mereka akan menganggap alasanku hanya sebuah lelucon. Syukurlah Adrian mengerti, kami pun pulang terpisah.
Setibanya di rumah, tempat yang menjadi tujuan utamaku ialah kamar ayah, ibu. Ya, aku harus menjelaskan lebih rinci lagi, alasan kami menolak perjodohan ini. Namun, berkali-kali kuketuk, tak ada tanda-tanda jika mereka akan membukakan pintu.
"Ayah, Ibu, tolong jangan kecewa padaku, aku hanya belum siap. Aku masih ingin melanjutkan pendidikanku, dan Adrian juga bilang kalau ia masih ingin hidup sendiri. Apa salah jika kami menolak?" tanyaku setengah pasrah.
Siang berganti malam, sia-sia segala bujukku, mereka benar-benar tak mau menerima. Akhirnya aku pun kembali ke kamarku, memikirkan cara lain untuk meyakinkan mereka, jika keputusanku bukanlah sebuah kesalahan.
Ketika selesai bersih-bersih kulihat Lita tengah berbaring di ranjangku, lengkap dengan komik manga kesukaannya. "De, balik badan, gih. Aku mau pakai baju," perintahku padanya, ia pun menurut.
"Kak! Kenapa Kakak tidak menerima perjodohan dengan Mas Adrian? Dia tampan, juga mapan." Mungkin itu juga yang ada di pikiran ayah dan ibu, memang tidak salah, tapi bukankah hati tidak bisa dipaksakan?
"Berumah tangga bukan cuma soal tampan dan mapan, De, tapi ada tanggung jawab yang besar di dalamnya," jelasku seraya merapikan rambut panjangku.
"Sudahlah kau tidak akan mengerti, keluar sana, aku mau tidur," usirku. Lita pun bangkit dari posisi ternyamannya.
"Iya, iya, aku keluar. Tapi, Kak. Saran aku baiknya Kakak pikirkan kembali sebelum sesuatu yang buruk terjadi, Kakak tau sendiri ayah gampang sekali stres."
Ada benarnya yang Lita katakan, tapi aku, tetap pada keputusanku menolak perjodohan ini.