Delapan belas

Entah aku sudah jatuh cinta padanya atau tidak, yang pasti aku hanya ingin melihatnya selalu bahagia, tidak boleh ada air mata yang keluar dari mata indahnya, meski itu hanya setetes.

Ini adalah hari pernikahan kami, hari dimana sebuah hubungan baru akan dimulai, hari yang akan mengubah hidupku dan hidupnya, mengubah kisah ku juga kisahnya.

"Saya terima nikah dan kawinnya Ameera Rania Suhardi binti Danang Suhardi dengan maskawin tersebut tunai." aku mengucapkan ikrar suci itu dengan satu tarikan nafas.

"Bagaimana saksi, sah?"

"Sah ...." Sah. Iya, dia sudah sah menjadi istriku, menjadi ibu bagi calon anak-anakku nanti.

Dia menuruni tangga dengan sangat anggun, kebaya putih modern dengan sanggul membuat penampilannya bak seorang putri kerajaan, sangat cantik dan menawan. Dibantu dua sahabatnya, kini ia sudah duduk disampingku. Kami memasangkan cincin bergantian, ku raih pipinya, dan ku cium keningnya lembut. Dia mencium punggung tanganku cukup lama, ku rasakan setitik air jatuh di tanganku. Dia menangis, apa dia tidak bahagia dengan pernikahan ini? Ku angkat dagunya dan benar, dia menangis, aku langsung membawanya ke dalam pelukanku.

"Sudah, jangan menangis lagi." ia mengangguk.

*********

Ameera

"Ayah, terimakasih sudah membesarkanku dengan sangat baik, terimakasih telah mendidikku dengan sabar, dan menjaga ku dengan sepenuh hati. Maaf kalau selama menjadi putri ayah, aku belum mampu menjadi putri yang bisa ayah banggakan." aku memeluk malaikat yang dikirim Tuhan untuk menjadi ayah ku dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Ayah yang selalu menjadi panutan bagi anak-anaknya, ayah yang selalu memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya.

"Ayah lebih menyayangimu nak, kau putri terbaik ayah. Sekarang lihat dan dengarkan ayah baik-baik," aku melepaskan pelukanku, menatap mata yang selalu memberi ketenangan. "Adrian pria yang baik, ayah yakin dia pasti bisa membahagiakan putri ayah ini." aku mengangguk.

"Sudah, anak ayah tidak boleh nangis lagi, nanti cantiknya hilang." ayah mengusap air mataku lembut, aku tersenyum.

Acara akad dan sungkeman selesai, lanjut acara resepsi. Aku selesai ganti pakaian, sekarang aku memakai gaun biru muda lengan panjang, siap menyambut tamu-tamu yang datang. Adrian lebih suka aku memakai pakaian lengan panjang.

"Kau sangat cantik Meera." Adrian sudah menungguku ternyata.

"Aku memang selalu cantik tuan muda."

"Aku tau, ayo!"

Ratusan atau mungkin ribuan pasang mata kompak menatap ke arah kami, dari menuruni tangga sampai duduk di pelaminan. Hari mulai gelap dan aku mulai lelah, rasanya tamu tidak habis-habisnya berdatangan, kaki ku benar-benar pegal karena berdiri terlalu lama.

"Nona waktunya ganti gaun ketiga."

"Baiklah."

***********

Adrian

"Meera ayo kita berdansa."

"Aku tidak bisa menari Dri."

"Dengarkan aku, kau hanya perlu melangkah ke kanan satu kali, ke kiri satu kali, lalu mundur satu langkah, dan berputar. Aku yakin kau bisa Meera."

"Baiklah."

Kami mulai berdansa diiringi lagu romantis yang dinyanyikan pengisi acara, Meera sangat pandai mengikuti gerakanku. Dia sekarang memakai gaun berwarna merah muda, dia juga sudah ku minta untuk memakai sepatu kets, aku tau kakinya pasti lelah memakai heels seharian. Lagi pula, gaun yang ia kenakan cukup panjang untuk menutupi sepatu yang ia pakai sekarang. Kurang lebih lima belas menit kami menari, terlihat Meera sangat malu karena hampir semua tamu menatap ke arah kami.

"Nona waktunya ganti gaun keempat." ajak salah satu penata busana.

"Tidak perlu, kalian boleh kembali." aku tau dia pasti sangat lelah.

"Baik tuan."

Acara selesai pukul 21.00, para orang tua sudah pulang. Ayah, ibu, dan Lita menginap di rumah Papa, sedang aku dan Meera menginap di hotel dekat gedung dimana acara sakral kami digelar tadi.

"Meera ada yang ingin aku bicarakan."

"Mas aku lelah, kita bicarakan besok saja ya, aku ingin istirahat."

"Ya sudah kau istirahat, aku mau mandi dulu." ia mengangguk, tak lupa ku usap lembut pucuk kepalanya.