Tiga puluh

Ternyata Tya, "Sial, lo ngagetin tau ga." shiiit aku pikir itu Raja.

"Ups sorry, ayo masuk."

"Dila bilang lo kesini lagi sore."

"Udah kelar, sekarang tinggal urusan kita. Gue ambil minum dulu," Tya berbicara dengan dua jari yang diarahkan ke matanya lalu ke mataku.

Tya tidak tampak bercanda, urusan apa yang mau dia bicarakan? Dia kembali dengan Ian membawa lima botol besar air dingin. Waw, dia mau minum apa mau mandi.

"Makasih Yan, sekarang kau keluar kalau ada apa-apa bilang Dila. Oh ya, jangan ada yang ke sini."

"Siap mba, saya permisi." aku dan Tya mengangguk.

"Lo mau minum apa mandi, bawa air segini banyak," Tya tidak menjawab, kemudian membuka satu botol dan byuuuurrrr, disiramkannya air dingin itu ke kepalaku. Aku langsung bangun dan menyingkirkan botol itu dari tangan Tya.

"Lo gila!"

"Lo yang gila, otak lo panas sampe ga bisa buat mikir. Lo perlu gue dinginin." byurrr, botol kedua di siramkannya kembali ke kepalaku.

"Stop!" Aku mendorongnya, "Lo apa-apaan sih."

"Gue ga akan berhenti sampe Lo sadar. Lo pikir gue ga tau kalo selama ini lo selingkuh sama yang namanya Raja. Cukup Meera, apa kurangnya Adrian hah?, apa salahnya Adrian sampe Lo khianatin dia. Lo liat kan gimana hancurnya rumah tangga gue karena perselingkuhan," Tya menikah tidak lama setelah aku menikah, tapi pernikahannya hanya bertahan enam bulan saja. Suaminya mencerikannya dan pergi dengan selingkuhannya saat Tya hamil muda, dan itu menyebabkan Tya kehilangan janinnya.

"Lo salah paham, gue ga ada hubungan apa-apa sama Raja."

"Lo bilang salah paham? Gue liat lo ciuman sama Raja, gue liat lo peluk-pelukan sama Raja. Apa itu yang namanya tidak ada hubungan apa-apa? Dengerin gue baik-baik, laki-laki kaya Adrian itu udah ga banyak Meera, dia cuma memandang satu wanita yaitu elo, dan lo malah asik haha hihi sama pria lain. Udah lama gue pengen ngelakuin ini sama lo, tapi Caca selalu ngelarang gue, dari awal ngeliat Raja, gue udah curiga dia suka sama lo tapi gue ga anggep, karena gue percaya sahabat gue ga mungkin kegoda, tapi ternyata gue salah, lo lemah," aku hanya bisa menangis, Tya benar, aku lemah.

"Lo ha ...." Braaak, Caca masuk dan memeluk ku.

"Lo ga papa?" Aku menggeleng "Udah Ty, cukup! Kasian Meera udah kedinginan gini, ayo Meera." Caca memakaikan cardigan yang ia kenakan ke tubuhku, dia memang selalu menjadi penengah jika di antara aku, Tya dan Marko ada masalah.

Kami keluar dengan kondisi ku yang basah kuyup, mata lebam karena terus menangis, persis seperti maling yang kena tangkap warga. Aku terus menyembunyikan wajah ku di leher Caca. Caca membawaku ke rumahnya, beruntung rumah Caca sedang kosong, jadi aku tidak perlu malu.

"Mandi sana, ini dress lo yang ketinggalan jaman kuliah dulu." aku mandi tidak terlalu lama, badanku masih terasa dingin akibat siraman Tya di cafe tadi.

"Udah? Nih gue buatin teh anget."

"Makasih." aku menyeruput teh hangat buatan Caca.

"Perlakuan Tya tadi jangan diambil hati ya, lo tau banget 'kan Tya kaya gimana. Dia itu sayang sama lo, dia cuma ga mau kalo lo terus-terusan salah. Lo ngerti 'kan maksud gue." aku mengangguk. Caca menatapku lekat.

"Lo jawab gue jujur, lo cinta sama Raja?" Aku mengangguk.

"Adrian?" Air mataku kembali mengalir.

"Gue ga tau Ca, gue juga ga paham kenapa gue bisa cinta sama Raja, sedang mas Adrian, gue ga ngerasain apa-apa. Tapi sumpah gue udah ga pernah ketemu lagi sama Raja, gue juga udah ga pernah angkat telpon dia. Lo percaya kan sama gue?"

"Iya gue percaya, tadi di cafe ada Raja, lo ...."

"Sumpah gue ga tau, pas gue dateng Raja udah ada di sana. Lo percaya :kan sama gue Ca, lo percaya 'kan?"

"Iya, iya gue percaya, sekarang mending Lo kabarin suami lo, bilang lagi di rumah gue, biar nanti langsung jemput ke sini." aku mengangguk, segera ku ambil ponsel dan ku hubungi mas Adrian.

"Udah?" Aku mengangguk, "ya udah lo istirahat gih, biar pas suami jemput udah segeran." aku memeluk Caca

"Makasih ya, lo emang sahabat terbaik di dunia."

"Iya, tapi lo janji jangan pernah berhubungan lagi sama Raja, ya udah tidur gih, tar gue bangunin kalo suami lo nyampe."

"Gue janji, makasih ya."

"Iya, gue di luar ya" aku mengangguk

 ******

Aku sedang di cafe Love bersama Om Sugeng, beliau adik kandung Mama, beliau datang kemarin untuk menjenguk anaknya yang sedang sakit, anaknya kuliah di salah satu Universitas Negeri di Bandung.

"Diminum Om kopinya, kopi di sini rasanya enak."

"Semua kopi rasanya sama, Ja." aku lihat Meera datang, kemeja putih dengan motif bunga dan rok hijau lumut selutut, sangat manis. Dia berjalan dengan tenang, dia juga tidak menyapaku. Tapi aku tau kau melihatku Meera.

"Ja, Om ke tempat Laras dulu ya."

"Iya Om, hati-hati, salam untuk Laras."

Aku tidak lantas pergi, aku menunggu Meera, aku ingin bicara. Aku ingin menyusul Meera tapi tidak jadi saat teman Meera datang dengan wajah yang kurang bersahabat, mungkin dia sedang ada masalah pikirku. Kurang lebih tiga puluh menit setelah teman Meera yang pertama datang, datang lagi teman Meera yang lain, dia menampakkan ekspresi khawatir, wanita memang pandai bermain ekspresi.

Tidak sampai lima belas menit setelah teman Meera yang kedua datang, Meera keluar dengan dirangkul temannya. Pakaiannya basah kuyup, rambutnya lusuh karena air, wajahnya ia sembunyikan di leher temannya, aku yakin Meera pasti sedang menangis. Kau kenapa Meera? Segera ku bayar minumnku dan ku ikuti kemana dua wanita tadi pergi. Sepanjang mengikuti mereka perasaanku tidak karu-karuan, ada apa Meera? Kau kenapa? Biasanya kau datang padaku tiap ada masalah, aku sangat mengkhawatirkan mu Meera.

Sampai di rumah yang ku yakini itu pasti rumah temannya. Aku ingin sekali memelukmu Meera, menenangkan mu seperti yang sudah-sudah. Aku menunggu di seberang jalan, siapa tau Meera akan keluar sebentar lagi. Satu jam lebih menunggu, belum juga ada tanda-tanda Meera atau penghuni rumah itu keluar. Aku mulai gelisah tak karuan, bagaimana keadaan Meera di dalam, apa dia sudah tenang? Ahh semoga saja.

Aku hendak menelpon Meera tapi ku urungkan, terlihat Mobil Adrian memasuki halaman rumah tersebut. Aku memilih pulang, aku tidak mau melihat kemesraan dua sejoli itu lagi.

Sampai di rumah aku melihat kakak ku sedang menonton TV bersama Mama, papa juga ada, tapi dia sibuk dengan ponselnya.

"Baru pulang? Hei ada apa dengan wajah itu, kusut sekali." sapa mba Ratu, tapi tak ku tanggapi.

"Dia pasti lelah." jawab papa yang masih sibuk dengan ponselnya.

"Ya sudah sana mandi, biar segeran." mama menimpali. Aku hanya tersenyum kecil lalu ke kamar untuk bersih-bersih.

Bersih-bersih selesai, begitu keluar kamar mandi mba Ratu sudah ada di kamarku, untung tadi pakai baju di kamar mandi.

"Kau kenapa? Aku yakin kau pasti sedang ada masalah, ayo cerita."

"Aku tidak apa-apa mba, aku cuma lelah."

"Kau sudah tidak mau lagi cerita dengan kakak mu ini?"

"Bukan begitu mba, aku benar tidak apa-apa, aku cuma lelah, istirahat sebentar juga sudah baikan."

"Ya sudah mba keluar, kalau mau cerita tidak usah sungkan."

"Iya mba."

Aku merebahkan tubuh ku. Ku pandangi foto Meera yang ada di ponselku, mencoba menebak apa yang terjadi padanya hari ini, dia begitu kacau. Aku ingin sekali memelukmu Meera.