Tiga puluh tiga

Aku tau semua tentang istriku, termasuk hubungannya dengan Raja. Aku tidak keberatan kalau memang Meera tidak mencintai ku, tapi saat tau dia mencintai orang lain, rasanya sangat menyakitkan. Aku tidak tau sejak kapan hubungan mereka terjalin.

Pernah sekali terlintas ingin melepaskan Meera dan membiarkannya bahagia dengan pria yang di cintainya. Tapi Mama benar, Meera milikku dan selamanya akan jadi milikku. Tak perduli kau mencintaiku atau tidak, kau hanya akan menjadi istriku.

Aku sudah pernah mengalah dengan membiarkanmu memilih jalan sendiri, sampai kau memilih jalan yang menyakitiku pun aku tetap mengalah. Tapi kali ini aku tidak akan mengalah, kau harus kembali padaku. Berjalan bersamaku di jalan yang sudah aku pilih.

"Mas kau melamun?" Meera menggerakkan tangannya di depan wajahku.

"Ahh tidak, kenapa sayang?"

"Jelas-jelas kau melamun, film nya sudah selesai" Meera beranjak dari duduknya, aku mengekor di belakangnya.

"Mau pulang atau gimana?"

"Pulang saja, mas."

 ******

"Mas, ayo nanti telat!" seru ku penuh semangat.

"Ya ampun istriku semangat sekali, tunggu yang lain."

"Udah sana kalian duluan, nanti kita menyusul."

"Tuh, Mama juga tidak apa, ayo!"

"Iya, iya. Kita duluan ya Mah."

"Iya, hati-hati."

Kami sedang di Bandung untuk menghadiri pernikahan Marko dan Meli. Marko sialan, jadi selama ini gadis yang dia bilang dekat denganku itu Meli. Kali ini kita menginap di rumah Papa. Ayah, Ibu, Lita juga ikut menginap. Ahh dasar aku, kebahagiaan sudah jelas di depan mata, malah sibuk dengan kebahagiaan semu.

Kami sampai lima menit sebelum waktu akad. Aku tidak melihat Caca maupun Tya, mungkin mereka di dalam menemani pengantin wanita. Om Riyadi dan Tante Riyanti menyambut ku.

"Assalamualaikum Om, Tante," ku cium punggung tangan kedua orang tua yang ada di hadapanku ini.

"Waalaikumsalam sayang, ko sendiri, suamimu mana?"

"Ada tante sedang ambil ponsel di mobil. Ayah, Ibu, sama yang lain masih di jalan." tak lama mas Adrian kambali

"Assalamualaikum Om, Tante, apa kabar." sapa mas Adrian ramah, sembari menyalami keduanya.

"Kami baik nak, maaf ya waktu kalian menikah Om dan Tante tidak menemui kalian, ada urusan mendadak."

"Tidak apa-apa Tante."

"Meera, ajak Adrian masuk. Komar ada di ruang kerjanya di samping tempat sholat, Caca sama Tya di kamar Komar menemani Meli." jelas om Riyadi. Mas Adrian tampak bingung saat Om Riyadi menyebut nama asli Marko.

"Itu Komar keluar, Om." Aku melihat Marko keluar dari ruangannya, dia tampak gagah dengan Tuxedo yang melekat di tubuhnya.

Akad nikah dimulai, dengan satu tarikan nafas Marko sudah menjadikan Meli sebagai istrinya yang sah. Meli keluar dengan Caca dan Tya di sampingnya, dia terlihat sangat anggun. Hubunganku dengan Tya? Sudah membaik, Tya meminta maaf beberapa hari setelah insiden siraman.

Berbagai acara adat sudah selesai dilaksanakan, berlangsung hikmat dan lancar. Para asisten rumah tangga sibuk mengantarkan makanan dan minuman untuk para tamu. Aku dan mas Adrian duduk di halaman belakang. Aku terus memuji Meli yang sangat anggun dan cantik dalam balutan kebaya pengantin modern berwarna putih, tanpa melihat ke arahku mas Adrian bilang, aku jauh lebih cantik saat jadi pengantin dulu. Aku tersenyum, menggenggam tangannya dan ku bisikan di telinganya ....

"I Love you." mas Adrian sontak menoleh kearah ku, aku tertunduk malu. Wajahku pasti sudah merona.

"Hah, kau bilang apa tadi, aku tidak dengar." aiih dia pasti sedang menggodaku.

"Tidak ada, lupakan!" aku kembali ke posisi dudukku. Ehem, terdengar suara deheman. Aku dan mas Adrian menoleh.

"Aku yang menikah kalian yang romantis-romantisan." itu Marko.

"Apaan sih, sekali lagi selamat ya. Dua sahabat ku menikah, senangnya." aku menggenggam tangan Meli, dia tersipu malu.

"Tante Lia mana, ga keliatan lagi." tanya Marko.

"Ibu sama yang lain udah pulang, mau pamit lo nya lagi foto-foto," Marko ber Oh ria.

"Kita juga pamit ya, hari ini sekalian pulang." sambung mas Adrian.

Kami berpamitan dengan Caca, Tya, Om Riyadi juga tante Riyanti. Kembali ke rumah Papa sebentar untuk mengambil beberap barang bawaan dan pamit. Kami sampai Jakarta bertepatan dengan jam kantor usai. Macet? Jangan tanya. Bosan? Apa lagi.

Hampir dua jam bermacet ria, karena selain jam pulang kantor, ada kecelakan juga yang membuat jalanan semakin macet. Akhirnya sampai juga di rumah. Bi Surti menyambut kami dan mengambil alih barang bawaan kami. Setelah mandi dan makan malam kami mengobrol di halaman belakang sambil menunggu makanan tercerna dengan baik.

"Mas mengenai ucapanku siang tadi ...."

"Yang mana,"

"Aku belum selesai, dengarkan dulu"

"Iya, iya." mas Adrian menatapku.

"Aku rasa aku sudah jatuh cinta padamu mas, aku gelisah saat kau tidak bersamaku, aku kesal saat kau tidak menghubungi ku. Aku juga tidak suka saat kau terlalu jauh dariku."

Mas Adrian tidak berkata apapun, dia menarik dagu ku dan menciumku lembut, sensasinya berbeda saat sebuah ciuman di bubuhi rasa cinta. Mas Adrian menggendong ku tanpa melepas ciuman. Sekarang kami sudah di kamar, di rebahkannya tubuhku, melepas ciumannya kemudian menatapku. Aku bisa melihat pantulan wajahku di matanya.

Ketulusan dan kelembutan mu membuatku sadar, bahwa akupun telah jatuh cinta. Meski sedikit terlambat, pada akhirnya aku jatuh cinta padamu.