Gunung Kesengsaraan

Pagi ini, Anan Tian melompat-lompat di atas awan. Dia mengamati pergerakan awan yang tenang di bawah kakinya. Berjalan menuju sisi lain gunung, dia hendak menemui Guru Besar Long. Setelah beberapa hari tinggal disana, akhirnya dia tahu nama Guru Besar tersebut. Orang tua itu seperti biasa duduk di atas batu, dia terlihat tenang bagaikan awan yang berada di sekelilingnya.

"Pak Tua!" panggil Anan Tian. Alis orang tua itu mengernyit, jelas dia merasa terganggu. Dia membuka mata dan menatap anak kecil berlarian ke arahnya. Dia tersenyum kecil, rasa sukanya pada anak ini meningkat dari hari ke hari.

"Kau sudah berisik sepagi ini, apa lagi yang kau inginkan?" dia tahu betul bahwa anak ini tidak mungkin menemuinya begitu saja. Terakhir dia datang untuk meminta buah jiwa pemikat yang kebetulan baru dia dapatkan. Entah dari mana anak itu mendapatkan informasi mengingat tempat tinggal anak itu terpencil ditambah dia tidak memberi tahu siapapun tentang buah itu.

"Pak Tua, buah jiwa yang kau berikan kemarin sangat enak! Apa kau masih punya? Aku menginginkannya." Anan Tian melompat berusaha naik ke atas batu, dia terlihat seperti kelinci liar. Melompat kesana kemari.

"Kau sangat rakus! Buah jiwa sangat sulit didapat dan butuh waktu untuk mencernanya. Hari ini kau datang lagi untuk buah jiwa? Aku tidak punya."

"Benarkah? Lalu dimana aku bisa mendapatkannya?" wajah Anan Tian tampak sedikit murung dan itu membuat Guru Besar Song tak enak hati.

"Kita akan ke Gunung Utama nanti dan melihat apakah kau beruntung. Aku dengar ketua sekte mendapat buah jiwa hati yang langkah sebulan yang lalu."

"Apa itu Buah Jiwa Hati?"

"Buah jiwa hati adalah buah jiwa yang berguna untuk mengontol keinginan hati seseorang. Namun buah itu tidak dapat langsung dikonsumsi karena dia mengandung racun. Buah itu harus diolah terlebih dahulu. Sebelumnya aku menyuruh Joe untuk meminta buah jiwa itu namun ketua sekte menolaknya."

"Aku rasa ketua sekte itu pelit! Guru Master, ayo kita kesana! Aku ingin merampok orang pelit itu." Tidak mudah untuk menemukan Buah Jiwa apalagi jenis langkah. Wajar saja bila pemiliknya ingin menyimpannya untuk dirinya sendiri. Tapi dari sudut pandang Anan Tian, ketua sekte adalah orang yang pelit. Buah Jiwa itu beracun dan harus diolah terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Bukankah bila ia memberikan buah itu pada Joe maka manfaatnya akan berlimpah?

"Merampok?"

"Ya, orang pelit harus dirampok!" Anan Tian pada dasarnya serakah, jadi saat mendapati orang menyimpan harta untuk dirinya sendiri maka dia akan tergoda untuk merampasnya. Dia bukan anak yang baik, jadi tak perlu bersikap baik!

Mereka akhirnya menuruni gunung. Guru Besar sangat jarang turun dari gunung maka saat orang tua itu turun, murid sekte akan heboh. Guru Besar Long adalah keberadaan yang sangat misterius bahkan statusnya disamakan dengan Tetua Agung Sekte Bumi Langit. Ketua sekte sendiri akan memberikan penghormatan pada orang tua itu. Jadi bagaimana mungkin kemunculannya akan menjadi hal yang biasa saja.

"Pak Tua, aku dengar kau bisa terbang. Lalu mengapa kau mengajakku berjalan kaki?"

"Karena aku ingin. Sudah lama aku tidak turun gunung."

"Jangan bilang kau menikmati ini?" perkataan Anan Tian merujuk pada kehebohan yang timbul. Banyak mata yang menatap mereka. "Menjijikkan! Aku tidak tahu kalau kau sangat hina, Pak Tua." sudut bibir Guru Besar Song berkedut, anak ini menghinanya dengan terang-terangan.

"Astaga, anak kecil itu sangat berani! Dia baru saja menghina Guru Besar!" Beberapa murid memiliki pendengaran yang tajam jadi tentu saja mereka mendengar percakapan kedua orang beda generasi tersebut.

"Tapi lihat, Guru Agung tidak marah sama sekali. Anak ini pasti istimewa!"

"Aku tahu anak itu, seminggu yang lalu Kakak Senior Duan menggendongnya memasuki sekte."

"Senior Duan menggendongnya? Betapa hebatnya!"

"Dimasa depan, kita jangan pernah menyinggung anak ini."

Diskusi terdengar di telinga Anan Tian dan Guru Besar. Seringaian muncul di bibirnya saat menatap Guru Besar yang terlihat kesal. Anak berumur 8 tahun itu benar-benar mencuri pusat perhatian dari Sang Guru Besar! Orang tua itu hanya bisa mengutuk si kecil dalam hati karena dia harus menjaga citranya yang tenang dan berwibawa. Anan Tian menggelengkan kepalanya melihat ketenangan Orang Tua itu yang terkesan dibuat-buat. Benar-benar tidak alami! Tetapi hal itu dikarenakan mata Anan Tian yang sangat tajam, bila orang lain yang melihat maka mereka akan merasa Guru Besar ini sangat agung dan luar biasa.

Berjalan dengan riang, Anan Tian benar-benar menikmati perannya sebagai anak-anak. Sesekali dia akan mengamati sekeliling, berharap menemukan hal menarik. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Dia merasakan hawa penuh dendam disekitarnya. Insting seorang pembunuh profesional sangat kuat, dia tentu saja sangat peka terhadap lingkungan sekitar. Dia segera mencari asal hawa tidak mengenakan itu. Tatapannya tertuju pada gunung yang tampak gersang. Gunung itu dikelilingi lapisan pelindung yang berkilat samar. Ada aliran listrik yang bergerak-gerak di atas gunung seakan mengurung gunung tersebut. Guru Besar Long yang melihat anak itu berdiri menatap gunung berhenti melangkah.

"Apa yang kau lihat?"

"Pak Tua, gunung apa itu?" tunjuk Anan Tian pada gunung gersang tersebut.

"Itu Gunung Kesengsaraan. Lebih tepatnya itu penjara tak tertembus milik sekte. Selain itu, gunung itu juga tempat harta karun."

"Harta?" Mata kecil itu berbinar. Kilatan keserakahan terpancar dari mata anak itu. Sejak datang ke dunia ini, dia benar-benar miskin! Bahkan gelandangan masih memiliki sedikit uang. Walaupun dia sudah menikmati kemudahan setelah datang ke sekte, tetap saja dia tidak memiliki uang atau benda berharga. Dia hanya memiliki cincin ruang dan tumpukan tumbuhan atau buah aneh di dalam cincinnya.

"Penjahat yang ditahan disana adalah kriminal kelas atas. Tentu saja mereka memiliki harta yang banyak. Cincin ruang dan benda lainnya memang sudah disita oleh pihak sekte, namun apakah harta berharga akan sangat mudah di ambil? Bahkan aku sendiri lebih baik membawa hartaku menghilang bersama dengan nyawaku."

"Kau punya harta berharga?" tatapan Anan Tian penuh harap.

"Tentu saja, tapi itu bukan sesuatu yang dapat kau miliki." Orang tua itu tahu maksud tatapan Anan Tian, jadi dia buru-buru menolak sebelum anak itu meminta. Anan Tian juga tahu diri, harta yang dijaga dengan nyawa pasti bukan sesuatu yang sembarangan.

"Pak Tua, apa harta mereka akan menjadi milik kita bila kita membunuh tahanan tersebut?"

"Tentu saja, alasan mereka belum dibunuh hingga sekarang karena sekte ingin menjadikan harta mereka sebagai hadiah bagi murid yang berhasil membunuh tahanan."

"Menurutmu, siapa yang memiliki harta paling banyak disana?"

"Aku tidak tahu, karena ada begitu banyak tahanan disana. Namun ada satu orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kekuatan yang luar biasa. Bahkan aku bersama beberapa Tetua kesulitan saat menyegel orang itu."

"Dia sehebat itu? Siapa dia?"

"Ya, dia dipanggil dengan sebutan Iblis Pemakan Jantung. Dia akan memakan jantung korbannya untuk meningkatkan kekuatannya. Entah sudah berapa banyak korban yang jatuh di tangan kotornya. Dia tidak dapat dibunuh kecuali ada yang mau memakan jantungnya. Tentu saja tidak akan ada yang mau melakukannya. Hal itu sangat berbahaya, energi negatif pasti akan meledakkan tubuh orang yang berani memakan jantung orang itu."

"Menarik!" Anan Tian menatap gunung gersang itu dengan penuh minat. Dia berencana untuk berkunjung kesana nanti. Tentu saja tanpa diketahui oleh siapapun. Tentang bagaimana cara masuk, dia sempat melihat seorang murid hanya perlu menempelkan token pribadinya di tiang batu yang tampak seperti pintu masuk. Kebetulan dia sudah memiliki token miliknya sendiri, ini hal bagus baginya.

"Jangan berpikir untuk bermain-main disana. Itu bukan tempat untuk anak kecil sepertimu."

Guru Besar Long segera menuntun Anan Tian menuju Gunung Utama. Berjalan agak jauh, mereka tiba di kaki gunung. Gunung ini cukup tinggi namun tidak sampai setinggi Gunung Terasing. Dari sini dia bisa melihat bangunan-bangunan megah bergaya barat. Jalan setapak menuju ke atas terlihat bersih dan kokoh. Sangat terawat, tidak ada lumut pada anak tangga. Tanaman dan pohon-pohon terlihat subur dan tempat ini lebih ramai dari gunungnya. Dia bisa melihat murid-murid yang tinggal disini berlalu lalang. Usia mereka rata-rata 17 tahun ke atas. Hanya ada beberapa yang terlihat berusia 15 tahun.

"Hormat kepada Guru Besar." sepanjang jalan, para murid memberi hormat. Tentu saja mereka mengenali sosok orang tua ini.

"Xiao Gang memberi hormat kepada Guru Besar!" seorang pria berusia sekitar 24 tahun berlari kecil ke arah mereka. Baru saja dia mendapat kabar bahwa Guru Besar dari Gunung Terasing ada di kaki gunung. Pria itu dengan cepat pergi menyambutnya.

"Kau semakin dewasa sekarang, bagus sekali." puji Guru Besar. Mendapat sanjungan itu, pria muda itu terlihat senang.

"Terima kasih, Guru Besar. Ngomong-ngomong, apa yang membawa Guru Besar datang kemari tiba-tiba?"

"Ada hal kecil yang harus aku bicarakan dengan ayahmu. Dia ada di kediaman, kan?"

"Ayah sedang ada di aula latihan. Mari saya antar." Bukan rahasia lagi bahwa Xiao Gang adalah putra kedua dari Ketua Sekte. Namun walaupun begitu, dia tidak mengandalkan nama besar ayahnya. Dia memiliki bakat hebat dalam ilmu beladiri. Walaupun kehebatannya tidak sebanding dengan saudaranya, Xiao Lang. Xiao Lang memiliki tubuh pedang alami dan merupakan salah satu murid Gunung Terasing. Saat ini saudaranya itu sedang menjalankan misi di luar sekte dan baru akan kembali dalam waktu 2 bulan.