Rhein celingak-celinguk melihat suasana di sekelilingnya, setelah yakin tak ada orang yang dikenal dan mengenalnya Rhein segera pamit pada Keenan yang duduk di sebelahnya. Sebelum Rhein sempat membuka pintu, Keenan menggeser tubuhnya mendekat pada Rhein sambil tersenyum sampai Rhein merasa canggung. Keenan meraih handle pintu di sebelah Rhein dan membukanya, Rhein merasa lega karena Keenan hanya membuka pintu tapi dugaannya salah karena saat menegakkan tubuhnya bibir Keenan segera menyentuh bibirnya dan melumatnya dengan lembut membuat Rhein tanpa sadar membalas ciuman Keenan. Rhein baru sadar saat dia merasa kehabisan nafas. Rhein merasa sangat malu karena merespon ciuman Keenan, pipinya merona dan jantungnya jangan ditanya, Rhein bahkan bisa mendengar detak jantungnya dengan telinga telanjang. Bukan hanya jantungnya tapi juga detak jantung Keenan?
"Ak... ku turun dulu," kata Rhein lirih tapi masih terdengar oleh Keenan,
"Hati-hati, nanti aku jemput," Keenan tersenyum menatap Rhein yang menghindari tatapannya, tangannya terulur menyentuh kepala Rhein yang juga tersipu.
Rhein mengangguk dan segera membuka pintu Lexus putih milik Keenan dan turun dengan cepat meninggalkan Keenan yang masih tersenyum di belakang kemudi dan menatap kepergiannya hingga hilang dari pandangan mata. Setelah Rhein tak terlihat lagi Keenan segera menghidupkan kembali mobilnya dan memutarnya menuju jalan yang berbeda.
Sementara itu Rhein berjalan dengan linglung karena ciuman Keenan tadi, Rhein mengeluh karena dia selalu merasa terhanyut setiap kali bersama Keenan. Ciuman tadi contohnya, dia begitu saja terbawa dalam irama yang Keenan mainkan sehingga dia tak kuasa menolaknya padahal Rhein sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak jatuh dalam pesona Keenan karena dia tidak mau saat mereka harus berpisah dia tak mampu untuk pergi dari Keenan.
"Rhein!" teriak Nena saat melihat Rhein memasuki gedung kantor tanpa memperdulikan sekitarnya. "Kamu gila, ya?!"
Nena segera menarik Rhein karena Rhein hampir saja menabrak dinding kaca di depannya membuat Rhein kaget karena Nena memegangi pergelangan tangannya.
"Ih, sakit tahu!" Rhein merengut.
"Kamu kenapa baerjalan sambil melamun?! Kamu baru saa hampir nabrak dinding kaca dan aku menyelamatkanmu!" Nena sedkit berteriak karena jengkel Rhein meneriakinya.
"Hah?" Rhein bergidik membayangkan seandainya Nena tak menyelamatkannya dia pasti sudah berdarah-darah terkena pecahan kaca itu, Dan jangan lupakan juga Surya yang akan meminta ganti rugi karena dia merusak properti kantor.
"Sudah ah! Gak usah hah heh hah heh, Ayo kita masuk!" kata Nena kesal, ditariknya tangan Rhein agar tidak salah jalan lagi.
"Makasih, Nen," kata Rhein saat mereka sudah sampai di kubikel mereka.
Rhein segera menghidupkan komputernya dan bersiap untuk pekerjaannya saat Surya melintas di depannya.
"Pagi, Pak," sapa Nena sopan membuat Rhein mendongak dan menatap Surya yang sedang menatapnya.
"Pagi, Pak," Rhein menyapa Surya seakan-akan tak pernah ada hubungan istimewa di antara mereka.
Surya hanya menggeram dan segera berlalu dari depan kubikel Rhein dan memasuki ruangannya.
"Kenapa dengan dia?" tanya Nena heran.
"Mana kutahu!"
"Bukankah kemarin sore dia mengantarmu pulang?"
"Tidak." jawab Rhein.
"Tidak?"
"Tidak!"
"Kenapa?"
"Keenan menjemputku,"
"Keenan? Ah, ya suamimu. Terus terang aku penasaran apa dia setampan Keenan Adi Wijaya," Nena tertawa.
"Menurutku sih lebih tampan suamiku." Rhein tergelak.
"Huh! Narsis!" dengus Nena.
Rhein tertawa, meski Nena orangnya sinis tapi dia teman yang baik untuk Rhein karena dia bukanlah orang yang lain di depan dan lain di belakang, Nena adalah orang yang jujur dan dia juga sering mensupport Rhein. Keduanya bekerja sembari terus berbincang, suara Nena yang besar kadang menganggu sekitarnya.
"Jam tangan kamu baru, Rhein?!" teriak Nena saat tanpa sengaja lengan kemeja Rhein sedikit tertarik ke atas.
Rhein hanya tersenyum dan segera menutup lengannya karena tak ingin melihatnya.
"Wow! Patek Phillipe?!" teriak Diaz yang duduk di sebelah Nena ketika dia dengan sengaja menaikkan kembali lengan kemeja Rhein.
"Benarkah? Jangan-jangan KW! Soalnya yang model yang ini harganya hampir satu M," Yuni tersenyum mengejek.
"Hah? Benarkah?" Harganya hampir satu M? Kalau aku uang segitu mending buat beli apartement!"
Suasana riuh segera memenuhi ruangan itu karena hampir setiap orang membahas jam tangan yang dipakai Rhein. Mereka penasaran dengan jam dengan merek tersebut tapi Rhein murunkan lengannya agar mereka tidak bisa melihat am pemberian Keenan itu.
Suasana riuh memancing Surya untuk keluar dari ruangannya dan heran melihat para karyawan bergerombol di sekitar meja Rhein.
"Ada apa ini?" teriaknya membuat para karyawan menghentikan keributan mereka.ngandal ke
"Emm, ini Pak, kata Yuni jam tangan Rhein kalau asli hanyanya hampir satu miliyar," kata seorang karyawan dengan nada tak percaya.
Surya segera menatap Rhein tapi gadis sama sekali tak mengacuhkannya.