Chapter X: Realms

"Senang melihatmu memutuskan untuk pergi bersamaku, Laksamana,"kata sang perempuan sambil menggandeng erat tangan Ayodya. Tubuhnya yang hitam legam kini berubah menjadi normal dan senyuman mengembang di wajahnya, namun kali ini senyuman itu hangat, tidak mengerikan.

"Kau pasti takkan lupa seberapa besar cintaku padamu, bukan?"katanya sambil berbalik dan melihat Ayodya lekat-lekat. "Kau selalu mengatakan bahwa kau tak bisa hidup tanpaku, bahwa cintamu tidak bisa dibandingkan dengan apapun," Perempuan itu menggenggam tangan Ayodya yang satu lagi.

"Kau selalu bilang padaku,"katanya sambil berjalan mendekat. "Kau selalu bilang bahwa kau tak akan pernah melepaskanku,"katanya sambil memandang Laksamana. "Tapi, kenapa kau menyakitiku? Kenapa kau membunuhku?"

Genggaman tangannya terasa makin kuat, tangan Ayodya serasa bisa hancur kapan saja. "Amita, a...aku,"ucap Ayodya terbata-bata. "KAU MEMBAWAKU KE PULAU ITU UNTUK MATI!"teriak wanita itu dengan kasar. Wujudnya berubah, menjadi sesosok makhluk hitam yang perlahan-lahan menelan Ayodya.

Ayodya terseret, makin lama ia makin terbenam, ditelan oleh makhluk tersebut. Genggaman sang makhluk terasa makin kuat, ia ingin melepaskan diri, tapi tak bisa. Entah karena memang sang makhluk lebih kuat darinya atau karena ia telah lama menantikan saat ini. Saat dimana ia merasakan pengampunan. Perlahan, dirinya tertelan dalam tubuh sang makhluk.

"Amita, aku selalu ingin meminta maaf padamu, tapi kau pergi sebelum aku sempat mengatakannya, mungkin inilah akhir untukku. Aku berharap bisa menemuimu di alam baka, tapi sepertinya itu mustahil," Air mata mengalir membasahi wajahnya. "Kau, adalah matahari yang suci, yang memberikan kehangatan kepada setiap orang sedangkan aku? Aku hanyalah lelaki pengecut yang meninggalkan semua masalahku di belakang. Tempatmu adalah surga yang indah dan cemerlang, sedangkan bagiku, neraka yang kejam dan kelam.

"..dia...paskan dia...LEPASKAN DIA!" Sebuah tangan yang hangat menggenggam dan menarik Ayodya keluar. Ayodya mengambil napas dalam-dalam, ia terengah-engah. Rasanya seperti ditarik kembali setelah tenggelam dalam lautan yang dalam.

"Kita harus pergi dari sini, ayo!" Kesadaran Ayodya belum juga kembali ketika perempuan itu mulai berlari dan menarik tangannya. Ia merasa langkahnya begitu berat, tetapi sesuatu yang aneh terjadi. Ketika ia mulai mengikuti wanita tersebut berlari, langkahnya terasa makin ringan, seolah-olah sang wanita membagi kekuatannya.

"Kurasa kita sudah cukup jauh,"kata sang wanita sambil melihat ke belakang. "Ehm...maaf, apakah kau? Ugh!" Perempuan itu memukulnya, tepat di perut. "Beraninya kau melupakanku? Otakmu sudah mulai tumpul rupanya! Apa perlu kepalamu yang kupukul kali ini?"kata perempuan tersebut dengan nada marah.

"Tidakkk! Cukup, Amita! Cukup! Aku minta maaf, oke?" Amita berjalan mendekat, membuat Ayodya menjadi salah tingkah. Muka mereka hanya berjarak beberapa senti, membuat jantung Ayodya berdetak tak karuan.

"AWAWA! Sakit!"teriak Ayodya meringis. "Apa yang kau harapkan, ha? Kau sudah sepantasnya diberi hukuman!"kata Amita sambil menjewer kupingnya. "Bertahun-tahun menghabiskan hidupmu hanya untuk merajuk dan tidak sekalipun kau peduli dengan orang-orang yang menopangmu!"

"Apa maksudmu?"tanya Ayodya. "Menurutmu, apa yang terjadi ketika kau memutuskan untuk pergi?" Ayodya menggeleng. "Banyak orang menyesalkan keputusanmu itu! Kau pikir hanya aku yang tahu bahwa kau bukan pembunuh?" Ayodya menatap Amita dengan wajah yang meminta penjelasan. "Ya, mereka yang tidak berpihak padanya tahu bahwa dialah dalang dari kasus terbunuhnya 17 orang itu,"

Ayodya menatapnya dengan tatapan tak percaya. "Mereka bahkan punya buktinya, tetapi kau mundur sebelum mereka membawa kasusnya ke persidangan," Amita menghela napas, "Mereka masih menunggumu sampai sekarang, untuk menjatuhkannya."

Ayodya terlihat shock, Amita ingin menenangkannya, namun ia tahu ada hal yang lebih penting baginya. Alasan mengapa ia diperbolehkan kemari. Ia berlutut, menepuk pundak sang Laksamana, "Dengar, aku tahu ini memberatkanmu, tapi kau punya tugas penting kali ini bukan?"

Ayodya tersadar dari lamunannya. Benar, dunia dalam bahaya. Itu alasan utamaku ikut serta dalam kegilaan ini. "Kau tahu apa itu?"tanya Amita sambil menunjuk makhluk hitam yang mencoba untuk meraih Ayodya. Ayodya menggeleng. Sekarang kau aman, karena kau bersamaku, tetapi akan ada waktunya, ketika kau harus mengalahkannya,"

Ayodya memandang makhluk itu dengan heran, "Memangnya makhluk apa itu?" Amita menunjuk padanya, "Ketakutan terbesarmu, penyesalan terdalammu, itulah dua hal yang membuatnya ada," Ayodya memandang kembali makhluk itu, bagaimana mungkin?

"Kalau aku boleh tahu dimana ini?"tanyanya lagi. "Kau berada dalam Realm of Death, tempat dimana orang-orang mati tinggal," Ayodya menganga, "Apa ini artinya aku sudah mati?"katanya dengan pasrah.

"Tidak, bodoh. Kau adalah pengecualian. Kau tidak seharusnya di sini. Tapi yang jelas, aku diminta untuk membantumu keluar dari tempat ini,"jawabnya dengan tegas. "Dengan cara?"tanya Ayodya. "Kau harus melaqan makhluk itu,"katanya sambil menunjuk makhluk tersebut.

"Dengan ini,"katanya sambil mengalihkan telunjuknya ke dada Ayodya. "Jantung?" Muka Amita mengerut, "HATI! Jangan pakai logikamu untuk ini!" Ayodya tertawa sambil mengelus-elus rambut Amita. Betapa ia merindukan perempuan ini, yang menjadi cahaya hidupnya. Tapi kini, ia punya sebuah tugas yang membuatnya takkan berlama-lama.

"Kau harus melawannya dengan hati, mengerti? Ingat, dia adalah dirimu sendiri, penyesalanmu yang paling dalam, hanya kau sendiri yang tahu cara mengendalikannya." Ayodya tersenyum, kemudian memeluk erat wanita itu. "Terimakasih, Amita, telah datang kemari demi diriku,"

Amita tersenyum dan memeluk Ayodya dengan erat, "Kita berjanji akan menyeret satu sama lain ke jalan yang benar apabila kita menyimpang, aku sudah menepati janjiku." Amita perlahan-lahan terangkat, "Jangan lupa aku mengawasimu," katanya sambil tersenyum lebar.

Terimakasih, Amita. Aku akan berusaha demi semua orang di bumi. Ayodya melangkah keluar dengan perasaan tenang. Makhluk hitam langsung mendekatinya dengan cepat. "Sstt...menangislah jika kau mau, aku akan menemanimu jika perlu, satu hal yang kau tahu, kau tidak sendirian, mereka akan selalu menunggumu pulang dengan senyuman yang hangat, sekarang, apa kau siap untuk kembali pulang?"katanya sambil memeluk makhluk hitam tersebut.

Makhluk itu berubah, menjadi dirinya yang masih mengenakan pakaian Laksamana. Ia mengusap air matanya, menghormat kepada Ayodya, lalu tersenyum lebar, kemudian, ia menghilang.

—————————————————————

Sringg! Permata biru perlahan bersinar dan bergerak perlahan mendekati Ayodya. "Sepertinya, yang mulia telah memilih penerusnya,"kata suara dari langit. "Ayodya Ouranos, kau adalah manusia yang mendapat kasih dewa, mari kita lihat apakah kau cukup kuat untuk mengendalikan dan memiliki kekuatan itu,"

"Kau..." Sang dewa terdiam sejenak. "Kau bukan manusia biasa..."lanjutnya. "Siapa kau?" Permata biru itu terserap dalam tubuh Ayodya. Cahaya biru keemasan menyelimuti tubuhnya. "Yang mulia, siapa dia?"tanya sang dewa.

Dewa Galaxias tersenyum, "Anak dari seorang teman lama," Ia melihat ke bawah dan menyadari bahwa tubuh Ayodya menolak kekuatan itu masuk. "Sepertinya aku harus pergi sebentar," Ia meletakkan telunjuknya di dahinya dan menghilang dalam sekejap mata.

Uranus, 1 jam sebelum pemusnahan massal bumi.

Zapp! "Di sini selalu dingin. Mungkin umur pak tua itu juga membeku di sini,"kata sang dewa. "Siapa yang kau maksud?" Galaxias terperanjat, "Oh.. halo, Ouranos! Aku tak melihatmu di sana!" Ouranos menghela napas.

"Ada perlu apa yang mulia kemari?"tanyanya sambil berlutut. "Berdirilah! Tak perlu seformal itu denganku!"kata Galaxias. "Baiklah, selesaikan keperluanmu dan pulanglah, aku sedang tidak ingin menerima tamu,"balasnya. "Dingin sekali, aku sudah kedinginan dan sikapmu itu membuatku jadi membeku,"

Ouranos berjalan maju, meninggalkan sang dewa di belakangnya. "Hei, tidakkah kau penasaran dengan anakmu?" Ouranos berhenti bergerak. "Aku tak punya anak," Galaxias menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tentu saja kau punya, kau pikir aku tidak mengetahuinya? Tak ada yang tersembunyi bagiku,"

"Kau hanya bergurau,"kata Ouranos lagi. "Aku tahu aku tidak melakukannya," Ouranos terdiam, tubuhnya gemetar. "Ibunya bernama Agnetta, seorang wanita sederhana yang kau temui di Spanyol. Ketika dia lahir, kau memberikan kekuatanmu sebagai perlindungan untuknya, sekarang,kekuatan itu menyakitinya, kau harus melepaskannya.

"Tidak, pulanglah. Aku tak punya kepentingan denganmu,"katanya sambil menutup lubang guanya. "Bumi tempatnya tinggal akan musnah! Ia akan kehilangan semuanya!"teriak Galaxias. "Itu adalah tanggung jawabmu untuk menghentikannya,"

"Tidak, aku sudah berjanji pada istriku untuk tak mencampuri urusan bumi,"kata Galaxias sambil mencari lubang agar ia bisa berbicara. "Itu masalahmu sendiri," Ouranos menutup lubang terakhir. "Kau tidak mau bertemu dengan anakmu? Darah dagingmu?"

"Pulanglah, Galaxias, kumohon. Aku sudah menyingkirkan perlindungannya. Kini, hanya tersisa kekuatan yang ia terima sebagai darah dagingku, aku hanya berharap dia baik-baik saja,"kata Ouranos degan nada sedih.

"Baiklah, aku tak akan memaksamu, terimakasih Ouranos. Jangan lupa kehadiranmu akan selalu kunantikan di bumi!"

Agnetta, aku tak tahu apa yang sedang terjadi dengan anak itu, firasatku mengatakan aku harus pergi, tetapi hatiku menolaknya. Lindungilah dia, Agnetta kumohon.