Chapter XI: Late

"Ayodya! Bangun, Ayodya!" Ayodya membuka matanya perlahan. Orizon memandangnya dengan lega. "Syukurlah kau terbangun. Sekarang, aku butuh bantuanmu. Dua orang temanmu belum juga tersadar. Aku takut mereka terbawa ke alam orang mati. Bisakah kau membantuku untuk menarik mereka?" Ayodya mengangguk. "Dengar, kita akan masuk ke dalam pikiran mereka. Kau akan memasuki pikiran Hawkins dan aku akan memasuki pikiran Zadweg. Yang harus kau lakukan hanyalah memanggil mereka. Itu sudah cukup untuk menyadarkan mereka."

Ayodya memegang dahi Hawkins dengan kedua tangannya. Ia memejamkan mata dan dalam sekejap ia sudah ada dalam pikiran Hawkins. Ayodya memandang sekelilingnya. Ini pikiran Hawkins?pikirnya. Sebuah hutan tropis belantara. Tumbuhan berwarna-warni tampak menghiasi akar dan batang setiap pohon yang dijumpainya. Hewan-hewan purba menghiasi hutan, tetapi mereka semua jinak dan mendekati Ayodya sambil menggosok-gosokkan kepalanya.

Ayodya menerobos hutan dan sampai ke sebuah padang rumput. Ia tak menyangka pikiran seorang manusia bisa seindah ini. Ia melanjutkan langkahnya dan melihat sebuah gunung. Ia memutuskan untuk memanjat gunung itu. Semakin ia mendekat dengan gunung itu, terlihat sesuatu seperti melingkari gunung itu. Sebuah tangga!kata Ayodya dalam hati.

Ia menaiki anak tangga secepat yang ia bisa dan ketika ia sampai di puncaknya, dua orang anak kecil terlihat berbaring di atas rerumputan yang tumbuh di bukit itu. "Agnetta, kau lihat bintang yang itu? Itu rumahku," kata sang anak laki-laki. "Oh ya? Apa kau bisa membawaku ke sana?"tanya sang anak perempuan dengan polosnya.

"Tentu saja bisa, namun kau akan bertahan di sana," Sang anak perempuan bangkit, mengambil posisi duduk, "Kenapa?" Anak laki-laki itu tersenyum, "Di sana sangaaat dingin. Kau bisa beku dalam 1 detik!"katanya. "Jadi, kau seperti orang kutub?"tanya anak perempuan itu lagi. "Ya, tapi rumahku jauhhh lebih dingin daripada kutub!"

Anak perempuan itu memandang mata anak lelaki tersebut dalam-dalam. "Jadi, kau pernah ke kutub? Luar biasa! Aku bahkan belum pernah ke sana!" Anak lelaki itu tersipu, "Si…siapapun pernah ke sana!"katanya sambil memalingkan muka. "Hee…begitu ya. Aku tak pernah keluar rumah. Bahkan ke bukit ini adalah pengalaman pertamaku keluar dari rumah."

Anak lelaki itu memandangnya dengan sedih. Ia terlihat berpikir, mencari cara untuk membuat anak perempuan itu tersenyum. "Begini saja! Aku akan membawamu kemanapun dan kapanpun kau mau!"katanya sambil berdiri. "Sungguh?" Anak lelaki itu mengangguk. "Janji jari kelingking?"kata anak perempuan itu sambil menyodorkan jari kelingkingnya. "Janji jari kelingking!"kata anak lelaki itu sambil mengaitkan kelingkingnya.

Masa lalu siapa yang dilihat Hawkins? Siapa dua anak kecil ini? Ayodya penasaran, tapi ia tahu ia punya hal yang lebih penting untuk dilakukan. "Hawkins! Bangun! Aku butuh bantuanmu!"katanya dengan pelan. Tiba-tiba bukit, padang dan hutan menghilang. Ayodya tertarik keluar menuju kesadarannya. Begitu ia membuka matanya, Hawkins sudah tersadar, begitu pula Zadweg.

"Ayo, kita sudah kehabisan waktu!"kata Orizon. "Baik! Kita pergi sekarang!" Orizon, Zadweg, Ayodya dan Hawkins menuju ke negar tempat semuanya dimulai, kembali ke Indonesia.

Okeanos memandang ke arah timur. Seberkas cahaya terlihat melesat ke arahnya. Saatnya sudah tiba, katanya dalam hati. Waktunya untuk memberi mereka kejutan. Lima pilar cahaya terlihat memudar perlahan. Okeanos tersenyum lebar. Selesai sudah persiapannku untuk menyambut mereka, katanya dalam hati. Aku penasaran apa reaksi kakak ketika aku memberitahunya apa yang telah terjadi.

Ayodya, Orizon, Zadweg dan Hawkins mendarat tepat di depan Okeanos. "Selamat datang, para pahlawan penyelamat bumi, atau harus kubilang pahlawan penghancur bumi?" Ayodya merengut, "Apa maksudmu?" Okeanos menyeringai lalu tertawa terbahak-bahak. "HAHAHAHAHA! Aku tak menyangka kalau kalian semua terlalu bodoh!"

"Jelaskan, Okeanos, tak usah berbelit-belit,"kata Orizon dengan tegas. "Kakakku sayang, selama kalian terbang kemari, tidakkah kakak menyadari keanehan yang sudah kubuat?" Orizon tersentak. Mukanya berubah menjadi pucat. Ia melihat ke dalam mata elang kemudian jatuh terduduk. Zadweg menggeram, Hawkins menangis dan Ayodya menganga, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Ini tidak mungkin terjadi. Ini tak mungkin terjadi…" Okeanos menyeringai, "Tidakkah kalian sadar manusia? Apapun yang terjadi, kalian sudah kalah dari awal!" Zadweg memandangnya dengan perasaan benci, "Kau…tak mungkin kau…" Okeanos memandangnya balik, "Apa? Apa yang tak mungkin? Kau pikir aku akan duduk dengan tenang di sini menunggu kalian yang mengincar kekuatan ayahku? Tak mungkin."

"Kau pikir aku bodoh? Selama ada waktu dan kesempatan, aku tak akan membuangnya dengan sia-sia! Sekarang, apa yang akan kau lakukan? Wahai Ayodya, putra Ouranus? Kau tidak berarti apa-apa untukku! Kau lemah!" Ayodya tertunduk. Ia telah menerima kekuatan, namun apa yang dapat ia lakukan? Tak ada yang bisa dilakukannya!

"Bahkan setelah kau mendapat kekuatan ayahku, sang dewa semesta, KAU TETAP LEMAH!" Orizon memandang sekelilingnya, pulau-pulau memang tetap ada, tetapi tidak ada satu orang pun manusia di sana. Okeanos, saudaranya, telah menenggelamkan seluruh dunia dalam waktu semalam dan mengangkatnya lagi dari air.

Ayodya memandang kedua tangannya. Apa yang harus kulakukan? Apakah kekuatan ini bisa mengembalikan semuanya? Ayodya memandang kepada Orizon. Orizon menggeleng, seolah mengerti apa yang ingin diketahui Ayodya. Tidak, dewa semesta sekalipun tidak berkuasa atas hidup mati seorang manusia. Nyawa manusia adalah tanggungan Hades, sang dewa kematian dan Orizon tidak dapat memikirkan alasan apapun untuk membuat Hades bekerja sama.

"Haaahh…jadi begini rasanya, menenggelamkan seluruh bumi. Sekarang aku dan yang lainnya bisa bernapas lega."kata Okeanos dengan santainya. "Kau…kau tak merasa bersalah sedikitpun setelah membunuh semua manusia?"tanya Ayodya. Okeanos menoleh, "Aku tak peduli dengan makhluk rendah yang telah membuat ibuku dan lautan menangis. Mereka adalah hama yang harus dilenyapkan."

"Kau tak punya hati! Kau iblis!"teriak Ayodya dengan keras. Okeanos menoleh, "Tepat katamu, kami tak punya hati. Tapi setidaknya, kami tidak saling melukai. Sedangkan kalian? Kalian menggangguku, mengganggu kakakku, ibuku, dan bahkan ayahku! Kalianlah iblis sesungguhnya! Bukan aku!"balas Okeanos. Okeanos menghela napas, "Aku pergi, dan kakak, seharusnya kau tahu kalau ini akan terjadi. Aku masih berharap kau berdiri di sisiku, bukan di sisi mereka." Okeanos menghilang dari pandangan.

"Berdiri Ayodya, perang belum usai."kata Orizon sambil memegang pundaknya. "Apa maksudmu?"tanyanya sambil menepis tangan Orizon. "Kau terlalu meremehkan manusia, Ayodya. Matamu terbutakan kepedihan. Lihat sekelilingmu dengan benar!"katanya sambil memegang dahi Ayodya. Seberkas sinar memenuhi pandangannya. "Pandanglah bumi dengan kekuatanmu yang baru! Manusia tidak selemah itu! Kau harusnya tahu itu."

Pandangan Ayodya berubah. Dari satu tempat ke tempat lain. Ya, dengan kekuatannya ia bisa melihat bumi dari berbagai sisi. Sekumpulan titik terlihat di Samudra Atlantik. Mengikuti titik-titik lainnya yang terlihat di berbagai samudra di dunia. Ayodya memperjelas pandangannya. Kapal! Itu kapal manusia! Ia bergegas menuju salah satu titik di Samudra Hindia.

Ayodya melihatnya dengan jelas. Seseorang di antara kerumunan. Seseorang yang jelas sekali berada dalam benaknya selama ia menjalani hari-hari pelariannya. Ia melesat dan meluncur turun ke salah satu kapal. Ia bahkan tidak mempedulikan orang-orang yang membicarakan bagaimana ia terbang dan cara berpakaiannya yang seperti memakai kostum Ia berlari secepat mungkin dan memeluk perempuan itu sambil menangis.

"IBU!" Sang wanita menoleh dan melihat seorang pria yang menghambur kepadanya. Mata birunya yang cerah mulai berair. Senyumnya mengembang dan tangannya membelai rambut Ayodya dengan halus. Ayodya menangis sejadi-jadinya tanpa mempedulikan apa yang ada di sekitarnya. Betapa ia bersyukur ibunya selamat dari kegilaan ini. Sementara sang ibu hanya memeluknya sambil tersenyum dan bersyukur dalam hatinya.

Ayodya berkali-kali meminta maaf kepada ibunya. Ibunya menepuk pelan pungunggnya, seolah-olah mengatakan bahwa ia telah memaafkannya. "Sudahi tangisanmu itu, Ayodya. Ibu tidak membesarkan lelaki cengeng." Keramaian terdengar dari dek kapal. Ayodya menggandeng sang ibu dan pergi bersamanya ke dek kapal. Terlihat Orizon, Hawkins dan Zadweg mendekat dan memasuki kapal.

Ibu Ayodya tak mempercayai apa yang dilihatnya. "Ouranos? Itukah kau?"katanya penuh haru. "Aku pulang, Agnetta."