Chapter XIV: Confuse

"Ayodya! Bagaimana? Apa jawaban ibuku?"tanya Orizon menggebu-gebu. Ayodya hanya menunduk lesu. Apa yang harus kukatakan? Aku tak bisa mengatakan apapun. Bagaimanapun juga aku tak mungkin bisa mengatur semua manusia yang ada di muka bumi untuk berhenti merusak bumi. Manusia terlalu banyak jumlahnya untuk diatur. Undang-undang dan peraturan bahkan tak bisa mengikat mereka.

"Hei! Jawab aku! Apa yang dikatakannya padamu?"tanya Orizon penasaran. "Aku tak tahu jawabannya,"kata Ayodya lesu. "Jawaban apa?"tanyanya lagi. "Aku tak tahu bagaimana caranya agar manusia tak lagi merusak bumi," Ini bukan sesuatu yang pernah terlewat di pikiranku. Ini adalah urusan dan pemikiran seorang presiden! Bagaimana mungkin aku tahu caranya?

"Ini masalah para pemimpin, aku tak tahu apapun tentang hal ini,"kata Ayodya lemas. "Tidak, kau salah."kata Zadweg yang tiba-tiba masuk. "Bumi dan segala isinya adalah tanggung jawab umat manusia. Setiap orang wajib memikirkan hal ini, bukan hanya pemerintah."kata Zadweg sambil melepas peralatan selamnya. "Ini adalah urusan yang melibatkan banyak orang, yang artinya apa yang kita butuhkan adalah konferensi, sekarang."kata Hawkins yang mengikutinya dari belakang.

Hawkins, Zadweg, Ayodya dan Orizon kembali naik ke permukaan. Tutup kapal selam dibuka dan mereka melesat ke udara. Orizon menemani Ayodya ketika berbicara sedangkan Hawkins dan Zadweg kembali ke kapal. Konferensi memakan waktu yang sangat lama bahkan hingga berjam-jam hingga akhirnya, dua keputusan diambil.

"Siapapun yang berani merusak bumi akan dihadapkan pada pengadilan di negaranya masing-masing dan di tiap-tiap negara akan ditempatkan penjaga-penjaga yang telah diatur oleh Ayodya dan Orizon dimana para penjaga ditugaskan untuk menangkap kasus terbengkalai yang akan langsung diadili oleh dewa Orizon."

Ayodya tidak ingin menghakimi, dia mengatakan akan mengawasi bumi sebagai gantinya. Keputusan ini akhirnya dipegang Ayodya menghadap dewi Gi. Aberith tidak lagi menghalangi Ayodya. Mungkin dia berpikir bahwa Ayodya ada di tempat lain, atau mungkin saja ada sesuatu yang tidak kita ketahui. Ayodya pergi menghadap dewi Gi dan kali ini ditemani oleh Orizon. Ia khawatir tenaganya tidak cukup untuk menghadapi sang dewi.

Dewi Gi menatap tajam ketika keputusan itu dibacakan. "Kau yakin ini akan berhasil?" Ayodya mengangguk, meski dengan sedikit keraguan di hatinya. "Dan apa hukuman bagimu bila kau gagal?" Ayodya menelan ludah. Ia tahu sang dewi akan menanyakan hal ini, tetapi ia belum menemukan jawabannya sama sekali.

"Kutanya sekali lagi, apa hukuman bagimu, wahai Ayodya, putra Ouranos? Siapkah kau mengorbankan dirimu sendiri demi mereka jika mereka melanggar aturan ini?" Ayodya berpikir keras. Tak apa, pikirnya dalam hati. Aku sudah memantapkan diri untuk ini. Ayodya mengangguk pasti. Sang dewi menghela napas. "Baiklah, kalau begitu. Orizon tinggalkan kami,"katanya sambil berbalik. Orizon terlihat ragu.

"Tenang saja, aku tidak akan melukainya, pergilah. Aku tahu dia muridmu tapi kau belum mengajarnya dengan baik. Berdiri di hadapanku saja ia tak sanggup, bagaimana ia bisa menghadapi Okeanos nanti? Pergilah, aku tahu apa yang terjadi dengan adikmu dan juga orang itu." Orizon menunduk hormat dan pergi. Senyum terlihat mengembang di mukanya. Ia bahagia ibunya di pihaknya sekarang.

"Ayodya, ikut aku,"katanya sambil melangkah pergi. Ia membaca mantra dan lantai tempat pemujaan terbuka. Batu-batu melayang dan membentuk sebuah tangga turun yang melingkar. Dewi Gi menapaki tangga tersebut dan melangkah turun. Ayodya mengikutinya dari belakang. Tetapi, ketika ia menapaki anak tangga pertama, ia terjatuh dan masuk ke dalam sebuah kolam. Dewi Gi hanya menggelengkan kepalanya. Perlahan, lantai pemujaan tertutup. Dan sepasang mata terlihat diantara pilar-pilar kuil.

"Tsk! Ini buruk! Aku harus segera memberitahu Okeanos."kata Aberith sambil berenang menjauh. Baru saja ia keluar dari kuil, sebuah tombak melesat menembus tubuhnya. "Siapa?"katanya dengan marah. "Tunjukkan dirimu!" Hawkins melangkah keluar. "Kau tidak akan berbicara sepatah katapun tentang hal ini,"katanya. "Kau…" Mata Aberith membesar. Ia kenal betul dengan sosok itu.

"Bagaimana mungkin kau…ada di sini?" Hawkins tetap diam dan tak menjawab pertanyaannya. "Itu bukan urusanmu, sekarang, katakan dimana Okeanos?"tanya Hawkins sambil menusukkan tombaknya lebih dalam lagi. Aberith mengerang kesakitan, "A…aku tak tahu tentang hal itu!" Hawkins memunculkan tombaknya yang lain dengan tangan kirinya. "Bagaimana mungkin kau tak tahu? Kau adalah tangan kanannya saat dia berkuasa bukan? Lalu kau digantikan. Dan sekarang kau mau melaporkan hal ini supaya ia menyayangimu lagi, bukan begitu?"

"Aku benar-benar tak tahu! Dia seharusnya memberitahuku hari ini!"teriak Aberith. "Begitu, jadi dia belum memberitahumu?"tanya Hawkins. Aberith tertawa dalam hatinya. Bagus, dia termakan ucapanku. "Be…benar, aku tak mungkin berbo…" Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, Hawkin sudah memutus kepalanya. "Kalau begitu, kau tak berguna untukku."kata Hawkins sambil melesat pergi.

Tak mungkin…ia tahu, kata Aberith sesaat setelah kepalanya terputus. "Okeanos…cepatlah…"katanya seiring kesadarannya yang menghilang.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Apa yang sudah kau pelajari sebenarnya?"tanya sang dewi sambil mengacungkan jarinya. Dalam sekejap, Ayodya terangkat dari air. Sang dewi memutar jari telunjuknya. Sebuah pusaran angin menghampiri Ayodya. Menghisapnya masuk, dan dalam sekejap bajunya kering kembali. Ayodya melihat dirinya dengan seksama. Luar biasa, katanya dalam hati.

Ayodya melihat sekelilingnya. Tempat yang indah, katanya dalam hati. Hutan yang rimbun, sebuah kolam dan… Ia berlari hingga ke ujung. Kita sedang berada di atas gunung rupanya, katanya dalam hati. Rumput membelai kakinya dan angin yang sejuk menyegarkannya. Di dekat kolam, dua anak kecil terlihat berlarian.

"Kejar aku, kakak! Hahahahaha!"teriak si anak perempuan. "Tunggu saja! Kau pasti akan tertangkap!"teriak si anak lelaki sambil mengejarnya. "Oz! Mu! Kemari!"teriak sang dewi. Kedua anak kecil itu berlari kea rah sang dewi. "Ayodya, cepat kemari."katanya dengan nada dingin. Ayodya berlari secepat mungkin.

"Kau tahu mengapa kau jatuh?"tanyanya lagi pada Ayodya. Ayodya menggeleng. "Batu-batu itu bahkan tahu mengapa kau terjatuh! Mereka merasa tidak layak untuk kau injak!" Ia melangkah menuju kolam dan dalam sekejap, kolam tersebut telah berubah menjadi sebuah danau. Kaki sang dewi menapak di atas permukaan air sementara Ayodya bertahan dengan berenang. "Putraku memang telah mengajarkanmu banyak hal, tetapi ia tidak bisa mengajarkanmu hal yang paling penting."

"Bersemedi adalah tugasmu sekarang karena kau masih belum bisa mengendalikan kekuatan yang kau dapat sepenuhnya. Setidaknya, sampai kau bisa melayang di atas air ini."katanya sambil membuka portal dan meninggalkan Ayodya. Tak masalah, kata Ayodya dalam hatinya. Melayang adalah hal kecil untukku, katanya sambil berusaha untuk keluar dari air.

Tetapi, sekeras apapun ia mencoba, ia tetap tak bisa keluar dari air. Badannya terasa makin berat, seolah-olah seperti terjebak dalam lumpur hisap. "Air apa ini?"katanya sambil terus bergerak. Perlahan, ia terjebak dan tenggelam tanpa bisa melakukan apa-apa. Ayodya membuka matanya. Aku bisa bernapas? katanya dalam hati. Badannya terus menerus melaju turun tetapi ia sama sekali tak kesulitan untuk bernapas.

"Air ini adalah ketakutanmu, nak. Ketakutan yang tersimpan dalam jiwamu."kata sebuah suara. Ayodya mencari sumber suaranya dan menemukan seorang kakek berdiri di sebelahnya. Ia melonjak kaget dan hampir saja memukul sang kakek karena reflek, untungnya, ia berhasil menahan tangannya. "Siapa kakek?"

"Siapa aku tidaklah penting, yang harus kau tahu adalah kau harus mengambil napas dan mulai bersemedi sekarang juga, karena sang dewi telah mengantarmu ke tempat yang berbahaya," Ayodya mengernyit, "Apa maksud kakek berbahaya?" Sang kakek menunjuk ke bawah. Ayodya melonjak dan menggerakkan tubuhnya dengan cepat.

"Seperti yang bisa kau lihat, Sungai Dilitirio mengalir di bawah dan menarik siapapun untuk masuk. Jika kau berhasil ditarik olehnya, jangan pikir kau akan selamat."kata sang kakek. Ayodya panik, semua usaha yang dilakukannya malah membuatnya makin mendekat dengan sungai itu. Sang kakek menarik dan melempar Ayodya ke atas. Dalam sekejap Ayodya kembali ke permukaan."Nah, sudah tahu kan bahayanya kau ada di sini, sekarang, ayo belajar dengan baik!"katanya ramah.

Tiga hari penuh kuhabiskan untuk latihan dengannya. Ia tak segan-segan memukulku ketika aku tertidur. Sungguh latihan yang jauh dari kata…ramah. "Nah, sekarang kau pasti bisa hm…setidaknya selamat dari serangan sang dewi. Semoga tebakanku benar, karena kalau tidak…"katanya memutuskan pembicaraan tiba-tiba. "Kalau tidak apa?"tanya Ayodya frustasi.

"Hormat saya pada dewi bumi, dewi Gi."kata sang kakek tiba-tiba menunduk. Ayodya menengok ke belakang. Dewi Gi memandangnya dengan tatapan meremehkan. "Terimakasih banyak atas semuanya,"kata dewi Gi. Sang kakek hanya tersenyum sambil melambai saat sang dewi pergi dengan membawa Ayodya.

Dewi Gi tak mengatakan apapun selama mereka dalam perjalanan. Ketika sampai di gunung, ia hanya mengambil pedang dan melemparkannya padaku. "Pakai itu dan lawan aku,"katanya singkat. Ia tak membawa apapun, dan ia tidak memakai perlindungan apapun. Hanya gaun yang biasa ia pakai. Kedua tangannya saling menggenggam dan ia tak bergerak sedikitpun.

Aku menyerangnya seharian penuh dan ketika malam tiba, aku dinyatakan siap setelah berhasil menggores punggung tangannya. Ia memandangku dan tersenyum seperti seorang ibu, dan memanggil Orizon untuk menjemputku. "Tolong bantu kedua anakku,"bisiknya sesaat sebelum aku meninggalkan gunung itu. Aku menghormat padanya sebagai tanda terimakasih, kemudian, kami pergi.

"Katanya, kau mampu untuk mengangkat pulau-pulau itu dengan kekuatanmu sendiri, benarkah?"tanya Orizon. Ayodya terdiam. Benarkah? Aku bahkan tak tahu tentang hal itu. Yang pasti, aku tahu bahwa ini tidak akan berjalan dengan mudah, katanya dalam hati. Portal terbuka dan mereka tiba di bumi. Langit kemerahan memenuhi pandangan mereka.

"Sesuatu telah terjadi,"kata Orizon sambil melesat menuju titik dimana kapal-kapal para manusia berkumpul. Terlihat seorang lelaki paruh baya menghunjam palunya yang besar ke arah kapal. "Bahaya!"kata Ayodya sambil melesat. Tetapi, dia terlambat. Palu tersebut berhasil dihempaskan dengan keras. Bahkan, gelombang-gelombang yang tinggi muncul sebagai akibat dari hunjaman palunya.

"Tidak,"kata Ayodya terduduk lemas. Ibu, Zadweg, Hawkins, teman-teman… "Jangan patah semangat, Ayodya. Lihatlah dengan benar," Ayodya memicingkan matanya. "Kapal-kapal itu masih ada, bahkan terlihat tanpa goresan," Ayodya menghela napas, lega. "Kalau kau melihatnya dengan kekuatanmu, kau akan menyadari bahwa ada seorang dewa di antara kapal-kapal itu,"

Asap yang timbul akibat serangan itu perlahan-lahan menghilang dan dari balik asap itu, terlihat seseorang tengah membentangkan kedua tangannya. "Hawkins?"