Ouranos & Agnetta (1)

"Hey, Ouranos, berhenti menjadi makhluk menyedihkan dan datanglah ke bumi, aku sangat amat bosan,"kata Galaxias di mulut gua kediaman Ouranos. "Pergilah, kau menggangguku, aku tak akan pergi ke sana, apa bagusnya?"

"Kau harus pergi dan melihatnya sendiri, Ouranos. Manusia adalah makhluk yang membingungkan. Mereka sangat menarik,"kata Galaxias sambil melangkah pergi. Hah, apanya dari mereka yang menarik? Ada-ada saja.

Musim demi musim berlalu, keadaan di seluruh alam semesta stabil, hanya ada sedikit pergeseran tak berarti. "Ayolah, kau harus kesana untuk melihat-lihat,"kata Galaxias sambil menarik lengannya. "Tidak, aku masih ada urusan!"kata Ouranos sambil berpegangan dengan mulut gua.

"Ayolah, tak ada salahnya berjalan-jalan sebentar,"kata Galaxias sembari menariknya, makin lama makin kencang. "Baiklah, tapi lepaskan dulu tanganmu! Kau mau membunuhku?"kata Ouranos yang merasa tangannya bisa remuk kapan saja. "Ups, maaf hehehe,"

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Terkutuk kau, Galaxias! Memaksaku pergi ke bumi, lalu pergi meninggalkanku begitu saja!"gumam Ouranos dalam hati. "Pergilah melihat apa yang terjadi di muka bumi selama aku mengurus pekerjaanku! Siapa tahu kau menemukan sesuatu yang menarik? Atau mungkin jodoh?"kata Galaxias sambil mengedipkan sebelah matanya sebelum ia pergi. Ouranos membalas dengan tatapan jijik.

"HUWAAAA!!!" Tangisan seorang anak kecil terdengar di telinga Ouranos. Ketika ia menemukan sumber suaranya, ia melihat ke bawah dan menemukan seorang anak perempuan yang sedang duduk sembari memegangi kakinya. Ouranos melihat penampilannya dari atas ke bawah. Ia sudah hidup beratus-ratus tahun lamanya dengan penampilan seperti seorang pertapa.

Janggut panjang berwarna putih, wajah yang dipenuhi keriput dan rambut yang tak hitam lagi. Ia akan ketakutan jika melihatku, pikirnya dalam hati. Lebih baik aku merubah diriku menjadi anak kecil, katanya dalam hati.

Ouranos mengubah dirinya menjadi seorang anak laki-laki berambut coklat. Hawkins akan menjadi namaku di sini, ucapnya dalam hati. Ia meloncat turun ke semak-semak dan memperhatikan sang gadis kecil. Perlahan, ia mendekati gadis itu.

"Mengapa kau menangis?"tanyanya. Sang gadis kecil menghentikan tangisnya. Ia tak menyadari kehadiran bocah lelaki yang sekarang duduk di sampingnya. Ia takut, karena ia tak mengenalnya. Tetapi, di padang rumput yang luas itu, ia tak tahu siapa lagi yang bisa menolongnya.

"Aku jatuh, saat sedang berlari. Dan sekarang, lututku berdarah. Aku tak bisa berdiri,"katanya menunjuk lututnya. "Padang rumput ini sangat luas dan sepi, aku tak menyangka akan bertemu denganmu di sini, aku kira aku sendirian, jadi aku menangis."jelasnya. "Kata ibuku, Dewi Gi akan mendengarkan setiap tangisan anak manusia, jadi aku menangis mengharapkannya datang membantuku,"ujarnya sambil kembali memeluk kakinya.

Ouranos melihat sekelilingnya. Ia mencari sebuah sungai atau mata air yang bisa digunakan untuk membersihkan lukanya. Ia berhasil menemukannya tak jauh dari tempatnya berdiri. "Ayo, lukamu harus kuobati, kau tak bisa berjalan, biar kugendong," Sang gadis berjalan tertatih dan merangkul lehernya.

Ouranos berdiri dan merasa beban di punggungnya sangat ringan. "Maaf, merepotkan. Aku pasti berat,"ujar sang gadis sembari menyembunyikan wajahnya di balik punggung Ouranos. "Tidak, kau seringan bulu,"kata Ouranos sambil tersenyum.

"Galaxias!"ujar Ouranos dalam hati. Ia berusaha untuk menghubunginya dengan telepati. "Ada apa? Apa kau terpana dengan keindahan bumi? Atau jangan-jangan kau tertarik dengan salah satu anak manusia? Hahahahaha!"

"GALAXIAS! INI SERIUS!"ucap Ouranos dengan tegas. "Baiklah, baiklah, ada apa?"kata Galaxias sembari menyeka air matanya. "Suruh Gi, istrimu untuk menumbuhkan tanaman herbal di tanah tempatku berada. Seorang anak manusia terluka dan aku tengah menolongnya."

Ouranos menurunkan sang gadis, ia membasuh lukanya dengan air. Sang gadis meringis, lukanya terasa perih tapi ia berusaha untuk menahan tangisannya.

Ouranos menoleh ke kanan dan ke kiri.

Dimana tumbuhannya? Sring. Sebuah tunas muncul dari tanah. Ia tumbuh makin lama makin tinggi. Sebuah kelopak muncul, kemudian menjadi bunga dan menjadi buah.

"Buah apa ini, Galaxias?"tanya Ouranos lewat telepati. "Itu adalah buah Therapeia, buah penyembuh segala penyakit. Gi mengatakan padaku bahwa anak itu terkena getah buah Daedillus, hancurkan buahnya dan oleskan di lukanya dan dalam sekejap ia akan sembuh."

Anak perempuan itu menatap lututnya dengan keheranan. "Hilang? Kok bisa? Wahh! Kau hebat!"kata gadis tersebut sembari tersenyum. Wajah Ouranos memerah, ia memalingkan pandangannya. "Bukan apa-apa,"katanya.

Gadis tersebut mengulurkan tangannya. "Namaku Agnetta, kau?" Ouranos menjabat tangannya. "Hawkins,"ucapnya singkat. "Baiklah Hawkins! Kita berteman, ya!"ucapnya lagi sembari tersenyum lebar. Ouranos memalingkan pandangannya lagi. Jika Agnetta melihatnya, mungkin ia akan mengira dia terkena demam karena wajahnya yang merah padam.

"Kenapa kau ada di sini?"tanya Ouranos. "Sejak kecil, aku selalu diam di tempat tidur. Orang tuaku tak mengizinkanku kemana-mana. Aku tak tahan lagi, jadi ketika ayah dan ibuku pergi, aku memutuskan untuk keluar, berkelana!"katanya dengan riang.

"Kalau kau mau berkelana, jangan kemari. Disini hanya ada padang rumput, membosankan,"kata Ouranos dengan nada ketus. "Hee... lalu aku harus kemana?" Ouranos menggendong tubuh kecil Agnetta, "Tutup matamu," Agnetta yang terkejut, refleks memegang leher Ouranos, "Kita mau kemana?"

Dalam sekejap, mereka sudah berada di dalam hutan belantara. Tumbuhan berwarna-warni menghiasi akar dan batang pohon-pohon, menerangi jalan dengan sinarnya.

Ouranos berlari menerobos hutan sembari menggendong Agnetta. Agnetta tak mempercayai apa yang dia lihat. Padang rumput membentang yang dihiasi cahaya rembulan. Pemandangan yang tak kalah indahnya dengan hutan yang baru saja dilaluinya.

Sebuah gunung batu menjulang tinggi di hadapan mereka berdua. Ouranos melompat dan tiba di puncak gunung itu dalam sekejap. Langit malam dipenuhi taburan bintang yang berkerlap-kerlip dalam keindahannya.

Agnetta menatap langit malam dengan lekat-lekat. Ia bahkan tidak berkedip.

"Uwahh...dimana kita? Bagaimana bisa kau membawaku kemari? Lalu, apa itu tadi? Kenapa kau bisa melompat setinggi itu?" Ia terus menerus bertanya, seperti anak kecil yang penasaran dengan segala sesuatu.

Ouranos duduk dan mulai berbaring. Ia melihat dunianya dari kejauhan. "Agnetta, kau lihat bintang yang itu?"kata sang anak laki-laki. "Yang mana? Dimana?"kata Agnetta sambil meneropong dengan kedua tangannya. "Yang berwarna biru kehijauan, disana,"kata Ouranos sambil menunjuk ke langit.

"Ah, ketemu! Bintang biru kehijauan!"seru Agnetta. Ouranos tertawa kecil melihat tingkahnya. "Itu rumahku,"lanjutnya. "Oh ya? Apa kau bisa membawaku ke sana?"tanya Agnetta dengan polosnya. "Tentu saja aku bisa, tapi kau tidak akan bisa bertahan hidup di sana," Agnetta kebingungan, "Kenapa?"

"Di sana sangaaaat dingin, kau bahkan bisa membeku dalam 1 detik!" Agnetta tercengang, "Jadi, kau seperti orang kutub?" Ouranos yang kebingungan kali ini. "Apa itu orang kutub?" Agnetta tersenyum, "Mereka juga tinggal di tempat yang sangaaaaat dingin." Ouranos mengerti, "Ya, tapi rumahku jauhhhh lebih dingin daripada kutub!"

Agnetta memandang Ouranos dalam-dalam, "Jadi, kau pernah ke tempat seperti kutub? Luar biasa! Aku bahkan belum pernah ke sana!" Ouranos tersipu, "Si...siapapun pernah ke sana!"katanya sambil memalingkan muka. "Hee... begitu ya. Aku tak pernah keluar rumah, jadi tak tahu. Bahkan ke bukit ini adalah pengalaman pertamaku keluar dari rumah."

Ouranos memandangnya dengan sedih. "Baiklah! Aku akan membawamu kemana saja kau mau!"katanya sembari berdiri. "Sungguh?" Mata Agnetta berbinar saat mendengarnya. Ouranos mengangguk. "Dengan syarat, kau harus sembuh dulu!" Agnetta tersenyum lebar. "Janji jari kelingking?"katanya sambil menyodorkan jari kelingkingnya. "Janji jari kelingking!"kata Ouranos sambil mengkaitkan kelingkingnya.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Agnetta! Aku butuh data statistik Timor Leste!"teriak Hawkins. "Baik, kepala bagian, ini dia!"kata Agnetta sembari menyerahkan folder file kepada Hawkins. Hawkins membuka folder dan membalik-balikkan halaman. "Kerja bagus!"katanya sambil tersenyum. "Baiklah, semuanya boleh pulang cepat hari ini!"

"Sepertinya kau harus sering-sering mengingat bahwa hubungan kita ini adalah rahasia di tempat kerja."kata Agnetta dengan tatapan meledek. "Jadi, maksudmu, aku tak boleh memanggilmu dengan sebutan, 'istriku'?"

Agnetta menyikutnya dengan keras. "Aw! Aku hanya bercanda!"kata Hawkins sambil menyusul Agnetta.

"Selamat malam, Agnetta, istriku." Hawkins mengecup dahi Agnetta. "Selamat malam, Hawkins, mimpi indah, dan jangan telat lagi besok."katanya sambil tertawa kecil. "Tidak akan!"kata Hawkins sambil mengacak-acak rambutnya.

Pagi tiba, seperti biasa Agnetta tak ada di tempat tidur. Dia selalu berangkat lebih dulu. Hawkins menguap dan mengusap matanya. Ia membersihkan dirinya dan bersiap. Ketika tiba di ruang makan, tak seperti biasanya, tak ada makanan yang tersedia. Hawkins mengambil sepotong roti dan sekaleng kopi dari kulkas dan melangkah keluar apartemen.

"Selamat pagi, kepala bagian."sapa peneliti-peneliti bawahan Hawkins. "Hewamat pabi,"balasnya tak jelas karena sedang menggigit roti. Aneh, seharusnya Agnetta ada di antara mereka. "Lloyd, apakah semua peneliti hadir hari ini?" Lloyd menggeleng.

"Tak ada kabar dari Agnetta sejak pagi, pak. Aku penasaran apa yang terjadi dengannya.

Kaleng kopi yang digenggam Hawkins lepas dari tangannya saat itu juga. Apa? Dimana dia sekarang? "Kepala bagian?" Apa yang terjadi kemarin malam? "Kepala bagian?" Ia masih bersamaku kemarin malam. Lantas, kemana dia pergi? "KEPALA BAGIAN!"

Semua mata memandang kepada Hawkins. Ia tersadar dari lamunannya. "Anda baik-baik saja? Anda menjatuhkan kopi Anda." Hawkins memegang dahinya, membenahi pikirannya. "Ah, iya..." Ia melangkah masuk dengan gontai diiringi tatapan-tatapan para bawahannya.

Di sebuah tempat yang gelap dan lembap, Agnetta membuka matanya. Cahaya remang-remang memenuhi ruangan. Ia menyadari kehadiran seseorang selain dirinya di dalam sana, tetapi ia tak mengenalnya.

"Khu...khu...khu...kau manusia kesayangan Ouranos bukan? Aku penasaran, apa yang akan dia lakukan kalau dia tahu aku yang menculikmu?"