"Maafkan aku. Aku hampir tidak mengenali kamu. Kamu sekarang sudah tinggi besar dan tampan seperti ayahmu," ucap Hasta dengan jujur setelah melihat dari dekat sosok Aditya yang mengagumi Hanin sejak Hanin masih remaja.
"Terimakasih atas pujiannya Paman. Paman Hasta juga tampan. Dari dulu sampai sekarang ketampanan Paman tidak hilang," ucap Aditya dengan jujur setelah beberapa tahun tidak pernah berjumpa secara langsung dengan Hasta.
Seketika wajah Hasta memerah mendapat pujian dari Aditya di depan Hanin.
"Paman mau ke mana, tidak biasanya menjemput Hanin?" Tanya Aditya merasa penasaran kenapa Hanin terlihat gelisah saat ia datang.
"Apa Hanin tidak cerita kalau setelah latihan, Hanin mau ke kota untuk periksa kehamilan," ucap Hasta dengan sedikit tekanan pada kata kehamilan agar Aditya tahu kalau Hanin akan hamil walau bayi yang akan di kandung Hanin bukan darah dagingnya.
"Ohh... Hanin hamil? Syukurlah. Semoga kehamilan Hanin lancar Paman. Hati-hati di jalan nanti ya Paman. Hanin, jaga diri baik-baik," ucap Aditya merasa bahagia walaupun terselip rasa sedih.
"Terimakasih ya Dit, Daaa..." Ucap Hanin melambaikan tangannya pada Aditya kemudian masuk ke dalam mobil di ikuti Hasta yang juga pamitan pada Aditya.
Dalam perjalanan ke kota, Hasta dan Hanin saling diam. Keduanya fokus dengan pikirannya masing-masing.
Melihat kediaman Hasta, Hanin membuka pembicaraan agar hati Hasta baik-baik saja.
"Mas, ada apa denganmu? Apa kamu baik-baik saja Mas? Apa aku melakukan hal yang salah?" Tanya Hanin sambil mengusap bahu Hasta yang fokus menyetir.
Hasta menghela nafas dalam sebelum menjawab pertanyaan Hanin.
"Kamu tidak salah Nin, aku yang salah. Seharusnya aku tidak bersikap seperti itu pada Aditya. Apalagi dengan mengatakan kehamilan kamu. Kamu pasti kecewa padaku. Tolong maafkan aku," ucap Hasta mengakui tindakannya yang tidak dewasa hanya karena rasa cemburunya pada Aditya yang jelas-jelas menyukai Hanin. Dan itu ia dengar sendiri dari Mas'ud Ayahnya Aditya.
Kenapa Aditya sampai di pindahkan ke kota bersama Neneknya karena Mas'ud tidak ingin Aditya semakin menyukai Hanin.
"Hanin, kamu memaafkan aku kan?" Tanya Hasta setelah sadar dari lamunannya dan belum mendapat jawaban dari Hanin.
"Kenapa harus minta maaf Mas. Aku tahu kamu melakukan hal itu karena rasa cemburu. Aku bahagia melihat suamiku cemburu," ucap Hanin dengan tersenyum sambil menarik salah satu tangan Hasta dan menggenggamnya.
"Hanin, jangan menggodaku. Aku serius. Katakan saja kalau kamu kecewa padaku karena telah menyakiti hati Aditya," ucap Hasta dengan tatapan memelas.
"Aku tidak sedang menggodamu Mas. Aku benar-benar bahagia melihat kamu cemburu. Dan soal apa yang Mas bilang pada Aditya juga tidak salah. Kita ke kota memang sedikit periksa kehamilanku. Jadi tidak ada yang perlu di maafkan. Tapi aku senang saat melihat wajah suamiku yang cemburu," ucap Hanin masih dengan tersenyum mencubit pipi Hasta dengan gemas.
Wajah Hasta seketika memerah apalagi melihat wajah Hanin yang terlihat dan tersenyum bahagia.
"Aku tidak tahu, bagaimana kamu bisa bahagia dan tersenyum seperti itu saat melihat suaminya cemburu. Kamu senang melihat aku menderita Nin?" Ucap Hasta dengan tatapan gemas bercampur bahagia.
"Tentu saja tidak Mas, aku sama sekali tidak ingin Mas Hasta menderita. Tapi aku senang melihat Hasta cemburu seperti tadi, itu pertanda Mas Hasta sangat mencintaiku," ucap Hanin dengan tertawa pelan.
"Hanin...Hanin...aku memang mencintaimu. Tapi jangan lagi membuat aku cemburu, ada rasa sakit di dadaku setiap kali aku merasa cemburu," ucap Hasta dengan tatapan sayu.
"Tapi Mas, aku tadi tidak membuat Mas cemburu loh. Mas Hasta sendiri yang tiba-tiba cemburu," ucap Hanin berniat menggoda Hasta yang sudah kemerahan menahan malu.
"Ya...ya...aku cemburu. Lain kali aku akan menahannya agar kamu tidak menggodaku lagi," ucap Hasta pasrah dan mengalah dengan godaan Hanin.
"Jangan Mas....jangan di tahan rasa cemburumu. Biarkan aku bahagia melihat kamu yang cemburu," ucap Hanin dengan perasaan gemas memeluk Hasta dengan manja.
Hasta tersenyum, selalu meleleh dengan sikap Hanin yang terkadang suka menggoda dan bermanja padanya.
"Em...em... sekarang suamiku sudah bisa tersenyum. Apa bisa kita berhenti sebentar Mas. Aku ingin memberi sesuatu padamu," ucap Hanin ingin memberi ciuman bahagia pada Hasta atas kehamilannya yang positif.
Tanpa menjawab ucapan Hanin, Hasta mengurangi kecepatan mobilnya dan menghentikannya di pinggir jalan yang terlihat sepi.
"Ada apa Nin? Kejutan apalagi yang ingin kamu berikan padaku?" Tanya Hasta dengan hati berdebar-debar.
"Tutuplah matamu Mas. Dan jangan buka matamu sebelum aku memberikan sesuatu itu padamu," ucap Hanin dengan tersenyum manis.
Kembali Hasta menuruti apa yang di inginkan Hanin. Dengan pelan ia memejamkan matanya dengan perasaan campur aduk menunggu kejutan dari Hanin.
Hanin menatap wajah Hasta yang terlihat tegang.
"Jangan tegang Mas, rileks saja," ucap Hanin seraya mengusap lembut wajah Hasta.
Hasta menggenggam tangan Hanin yang ada di wajahnya.
"Apa yang kamu lakukan Nin?" Tanya Hasta merasa penasaran masih menggenggam kedua tangan Hanin.
"Lepaskan genggaman tanganmu Mas. Aku tidak bisa menggerakkan tanganku kalau kamu menggenggam seperti ini," ucap Hanin dengan suara manja berusaha melepas genggaman tangan Hasta.
Hasta pasrah melepas genggaman tangan Hanin.
Dengan tersenyum Hanin menarik tengkuk leher Hasta dan mencium bibir Hasta dengan sangat dalam.
Senyuman Hasta mengembang setelah menyadari ciuman Hanin. Tanpa melewatkan waktu lagi, Hasta membalas ciuman Hanin lebih dalam lagi.
Cukup lama Hanin melepas kebahagiaannya dengan mencium dan menghisap lidah Hasta. Nafas Hanin semakin memburu membuat aliran darah Hasta bergejolak hebat.
"Sudah cukup Nin, jangan lagi. Aku sudah tidak sanggup menahannya. Ini sudah terasa sakit Nin," ucap Hasta melepas ciumannya dan menyatukan keningnya pada kening Hanin.
"Maafkan aku ya Mas. Apa terasa sakit sekali Mas? Apa aku harus mengusapnya?" Tanya Hanin dengan tatapan bersalah.
"Jangan Hanin, nanti lebih sakit lagi," ucap Hasta dengan suara lirih menyandarkan tubuhnya dan memejamkan matanya untuk menenangkan gelora yang ia rasakan.
Hanin hanya bisa terdiam dan menatap wajah Hasta dengan perasaan bersalah.
Setelah menunggu beberapa menit, Hanin melihat Hasta membuka matanya.
"Minumlah dulu Mas," ucap Hanin sambil memberikan air mineral pada Hasta.
Segera Hasta meminumnya beberapa teguk.
"Terimakasih Nin," ucap Hasta sudah mulai merasa tenang.
"Sudah tidak sakit lagi kan Mas?" Tanya Hanin dengan tatapan cemas.
Hasta tersenyum kemudian mengusap wajah Hanin dengan lembut.
"Aku sudah tidak apa-apa Nin, kamu tenang ya. Bisa kita lanjutkan lagi perjalanan kita Nin?" Tanya Hasta dengan tersenyum tidak ingin membuat Hanin cemas.
Hanin menganggukkan kepalanya.
Dengan pelan Hasta kembali menjalankan mobilnya ke arah rumah sakit kota di mana Dokter Husin bekerja.