BAB IV

Namaku Stevan boltz maeger, panggil saja aku eger. Seorang sarjana bisnis lulusan salah satu universitas swasta bergengsi di London. Tak hanya itu, aku juga merupakan salah satu dari 10 lulusan terbaik di angkatanku. Wajahku lumayan tampan dan badanku juga cukup tinggi untuk ukuran pria di kota London..

Mendengar pemaparanku yang demikian, apa menurut kalian gambaran diriku dari deskripsi tersebut?

1. Lelaki tampan nan tinggi... Yah, itu bisa termasuk. Kalian tidak salah bila menilai aku seperti itu. Karena pada kenyataannya aku memanglah cukup tampan untuk ukuran seorang gadis dewasa.

2. Seorang lelaki tampan dan cerdas.. yah, itu juga bisa termaksud gambaran diriku.

3. Seorang lelaki tampan, tinggi, berpendidikan, populer dan kaya raya.. yah, pendapat itu ada benarnya tapi.. aku rasa aku tak sesempurna itu teman-teman.

Aku adalah eger seorang yang nyaris sempurna untuk ukuran lelaki di London. Namun takdirku tidaklah sesempurna yang tersirat didalamnya.

Kenyataannya... Aku hanyalah seorang anak dari petani di kampung halamanku di kota Wells. Perihal aku dapat kuliah di universitas swasta bergengsi di London tentu karena aku mendapatkan beasiswa. Karena tidak mungkin anak petani sepertiku bisa kuliah jurusan bisnis tanpa sebuah beasiswa dan kebetulan beasiswa itu pun aku dapatkan dari kupon undian coklat kesukaanku saat itu.

Ntah bagaimana takdir yang Tuhan tuliskan untukku, hingga akhirnya aku berada disini.

Disampingku terdapat cewe seksi nan cantik yang sudah menjadi kekasihku yang merupakan direktur utama di tempat aku bekerja. Mungkin sebuah keajaiban Tuhan aku bisa mendapatkan kekasih seperti dirinya dalam hidupku. Yah meski kisah cinta kami saat bertemu tidaklah seromantis kisah yang ada di layar televisi. Aku akui aku sungguh terkejut akan takdir yang aku alami ini. Terutama bila melihat kehidupanku kebelakang yang harus lontang Lantung membawa surat lamaran dengan begitu banyaknya penolakan. Hingga akhirnya aku sempat frustasi dan tak tau apa yang harus kulakukan. Lalu, muncullah seorang gadis baik yang pada awalnya kupikir dialah wanita yang ditakdirkan untukku. Namun ternyata, cintaku tak terbalaskan dengan menikahnya dia dengan pria lain.

Wahh.. sudah seperti drama belum kehidupanku ini?.

Mungkin.. bila boleh aku bilang. Hidupku ini bak cinderella versi cowok kayaknya. Yah, meski aku tak memiliki saudara tiri yang jahat seperti Cinderella. Tapi alur ceritaku ini mirip-mirip lah yah..

Hanya saja sang putri yang bersamaku ini bukanlah sang putri yang ideal seperti di cerita-cerita. Aku masihlah belum mengenalnya secara utuh, oleh karena itulah... Saat ini aku pergi bersamanya ke suatu tempat di Wells untuk berlibur.

Yap, Wells adalah tempat kediaman kedua orangtuaku. Kami akan pergi ke tempat wisata di kota Wells. Meski Fenny sendiri belum mengetahui bahwa tempat tinggalku ada di perkampungan di kota Wells ini.

Yah, bila ada waktu senggang.. 

Aku harap... Aku bisa menemui ayah dan ibuku..

"SUN HOTEL"

kira-kira pukul 14.15 kami berdua sampai di sun hotel. Setelah perjalanan kurang lebih 8 jam dari kota Wigan ke Wells kami memutuskan untuk menginap di hotel ini.

"Sayang.. aku capek.. bisa tolong  ambilkan ipadku gak. Kayanya ketinggalan di kursi belakang mobil deh, please.."

Sesampainya di kamar hotel rupanya Fenny meninggalkan iPad miliknya di mobil. Aku pun mau tak mau harus mengambilkannya ke lantai bawah parkiran tempat aku memarkirnya.

"Iya.. tunggu bentar ya, kebetulan aku mau minum kopi juga di lobi. Kamu ada yang mau di pesan?"

"Emm.. gak ada deh.. nanti aku pesan lewat layanan kamar aja capek mau tidur."

"Oh.. yaudah kalo gitu.. aku kebawah dulu ya"

"Iya.. hati-hati sayang.."

Eger memasuki lift dengan tujuan lobi hotel.

127,126,125

"Huh..meskipun pakai lift. Hotel ini apa tidak ketinggian ya?" sembari melihat angka yang menunjukan 125.

Pengunjung hotel lainnya pun memasuki lift di lantai 125. Eger memandangi jendela lift yang terbuat dari kaca yang menunjukkan view luar hotel.

Kota Walls kah ? Aku rasa sudah lama sekali aku tidak pulang semenjak aku meninggalkan rumah untuk kuliah. Lalu, dikarenakan keluargaku mengalami krisis ekonomi disaat aku akan wisuda. Pada akhirnya, mereka tak bisa melihatku dalam kelulusanku saat itu. Ditambah lagi ayah sedang sakit dan tak bisa bepergian jauh. Mau tidak mau kakakku Stevani yang datang ke hari kelulusanku. Karena uang kakak hanya pas-pasan, kak Stevani pun hanya bisa berada satu hari saja saat hari kelulusanku dan langsung kembali ke kampung untuk merawat ayah dan mengurus ladang.

Ahh.. rasanya.. aku merasa sedih sekali saat itu. Aku kira, setelah kelulusanku. Aku bisa merubah nasib keluargaku menjadi lebih baik. Namun.. aku malah terjerat dalam benang pengangguran setelahnya. Meski aku mendapatkan pekerjaan freelance pun, itu hanya cukup untuk makan sehari-hari.  Saat itu.. benar-benar masa tersulit untukku. Meski sekarang pun belumlah menjadi masa bahagiaku.

Namun... Setidaknya... Saat ini, aku memiliki uang yang cukup untuk aku bisa kirimkan pada keluargaku di kampung. Aaah.. padahal.. tempatku dapat dijangkau dalam waktu 3 jam dengan mobil dari sini. Andai saja, aku bisa menemui mereka sekarang..

"Hey kau tau? Katanya hotel ini dinamakan sun karena tingginya yang hampir mencapai langit loh!".

"Ahh benarkah itu? Jadi karena itu dinamakan sun hotel."

"Ya,.. dengar-dengar sih kamar paling atas itu adalah kamar termahal dan terluas yang hanya ada 10 kamar saja dilantai itu!"

"Heeh.. benarkah. Memangnya seberapa mahal dan istimewanya sampai hanya 10 kamar disana?"

"Ah, dari harganya saja sampai 3 juta$/malam."

"Wahh.. kalo aku sih mending buat shoping aja daripada buat sewa kamar."

"Hhha.. yah bedalah kamu sama golongan para bangsawan mah dong."

"Ah, jadi dikamar atas itu kebanyakan orang berdarah biru ya?"

"Yah, aku dengar sih begitu. Kebanyakan adalah anak kolongmerat di kota London dan para pejabatnya saja."

"Wahh.. apakah pangeran William juga pernah menginap di sun hotel ini ya?"

Pintu lift terbuka di lobi hotel, eger menuju arah basemen menuruni tangga dan segera ke parkiran mengambil iPad milik Fenny.

Ahh.. seperti yang dibilang oleh dua wanita tadi di lift. Sun hotel adalah salah satu hotel termewah di Inggris. Untuk kota Walls sendiri, sun hotel merupakan satu-satunya hotel termewah disini. Bahkan untuk hotel seelit keluarga gray pun masih kalah bila harus bersaing di kota Walls ini.

Aku dengar pemilik sun hotel ini adalah seorang bangsawan kerabat dari kerajaan Inggris. Jadi wajar saja hotel ini dipenuhi oleh orang-orang elite seperti Fenny, yang notabenenya adalah salah satu anak dari kolongmerat keluarga gray di London. Mungkin bila masalah bisnis hotel, keluarga gray masih kalah pamor dari sun hotel yang merupakan hotel milik kerabat raja. Tapi bila masalah bisnis sekolah atau kependidikan, universitas grays menduduki puncak perguruan tinggi yang hampir setara dengan Oxford university dan universitas ternama lainnya. Oleh karena itulah keluarga gray bisa menjadi deretan keluarga bangsawan terkaya ke lima di Inggris ini.

Yah, meskipun begitu. Aku rasa hanya diriku saja yang karirnya tidak melonjak setelah lulus di universitas bisnis grays. Kalian tau lah, aku hanyalah anak beasiswa. Untuk menjadi seorang bisnisman perlu modal yang cukup besar. Jangankan modal untuk berbisnis, mencari kerja saja orang-orang melihatku sebelah mata perihal asal-usul keluargaku. Mereka kira ijazahku ini tidaklah murni, melainkan hanyalah sebuah kertas palsu. Kurang ajar banget gak sih tuh orang yang ngomong!. Nolak sih nolak, tapi gak usah ngina orang sampe segitunya juga kali. Pake fitnah segala lagi. Ternyata, usut punya usut pihak perekrutan sudah disogok oleh beberapa pelamar yang lainnya yang notabenenya lebih bagus daripadaku. Meski dia sesama lulusan universitas gray, aku kalah modal buat bersaing hidup dalam dunia ini. Pada akhirnya, aku hanyalah seorang pengangguran saja waktu itu.

Eger memasuki lobi setelah menaiki tangga baseman.

Dia memesan secangkir kopi hangat dan terduduk di kursi dekat jendela dengan view garden hotel. Tak lama pesanan kopi sudah datang beberapa menit kemudian.

Baru saja dia berniat meminum kopi hangat miliknya. Terlihat beberapa orang di meja receptionis yang sepertinya eger kenal.

"Hmm.. seperti kenal ya?. mmm.. bila tidak salah, bukankah dia itu Alfonso dan Margaretha. Lalu, Luise dan Janeta Albert teman satu angkatanku?", Eger menaruh cangkir miliknya dan tanpa disadari dia mengeluarkan keringat yang banyak tanpa sebab.

🍂🍂🍂 🍂🍂🍂