Alena menemui mommynya. Dia sudah mencoba bicara dengan daddynya. Kali ini, dia ingin mengetahui kebenaran dari ibunya sendiri.
"Mommy, apakah alena boleh bertanya?"
"Ada apa sayang, katakanlah apa yang ingin kau tanyakan?!"
"Bisakah... mommy memberitahuku penyebab.... mommy pergi... saat... aku dan daddy... mengalami kecelakaan?" ucap alena terbata. Sementara mommynya terlihat sangat terkejut.
" Apa... daddy mu tidak pernah memberitahukannya padamu?" alena menggeleng." Hufffffttthhhh...." mommynya menghela nafas berat.
Akhirnya mommynya menceritakan semua kejadian yang menjadi alasan mommynya mengambil keputusan untuk meninggalkan alena dan daddynya.
Alena mendengarkan dengan seksama. Raut wajahnya menampakkan kekecewaan.
Kecewa bahwa neneknya tak pernah menganggapnya cucu, kecewa karena neneknya yang sudah mencelakainya juga daddynya, kecewa karena neneknya memaksa mommynya untuk meninggalkan mereka.
Satu hal yang di sadarinya, bahwa sifatnya selama ini banyak kemiripan dengan sang nenek. Alena teringat kejadian 10 tahun yang lalu. Dimana ia membuat sinta meninggalkan dion.
Bahkan kejadian dimana dia menjebak dion hingga membuat dion menikahinya.
Tapi ada satu kebanggaannya terhadap mommynya yang tidak di ketahui daddynya. Mommynya sanggup berpisah dari daddynya demi menyelamatkan hidupnya dan daddynya. Mommynya tak mau sang nenek melukai orang-orang yang dicintainya.
Mommynya, rela menderita hanya untuk keselamatan keluarga kecilnya. Dia mengorbankan perasaannya sendiri karena cintanya pada suami dan putrinya. Alena sangat bangga hingga menitikkan air mata.
Cerita ini ternyata sama dengan versi daddynya. Perbedaannya, daddynya tidak mengetahui jika ini adalah pengorbanan sang istri terhadap keluarga yang di cintanya. Ternyata, mommynya masih sangat mencintai suaminya itu.
Terbersit dalam hatinya, untuk menyatukan kembali mommy dan daddynya.
*****
" Sin, siang ini kau ada meeting dengan Mega corporation. Apa kau akan menanganinya sendiri, atau harus ku biarkan william yang menanganinya?" dewi menjelaskan. William adalah manager di bagian perencanaan. Sinta terlihat berfikir.
" Sulit tidak menghadapi Mega Corporation?" sinta mencoba mencaritahu.
" Ku dengar, mereka baru saja berganti presdir. Karena presdir sebelumnya ingin pensiun dini." jelas dewi.
" Baik, mungkin william bisa mengatasinya."
"Kalau begitu, akan ku berikan materinya pada william. Agar dia bisa mempelajarinya sebelum meeting di mulai. Oh, iya apakah aku harus mendampingi william?
"Jika kau rasa perlu, boleh saja."
"Baiklah."
Dewi pun keluar dari ruangan sinta. Sinta menangani meeting sendiri, jika dirasa sang klien menyulitkan bawahannya. Jika tidak, maka bawahannya lah yang akan menanganinya sebagai perwakilan.
*****
'Hah.... Presdir ini sangat menjengkelkan!!' batin dewi.
Saat ini, dewi sedang mendampingi william untuk meeting dengan Mega Corporation. Namun, sepanjang ia mengikuti pembicaraan ini, terlihat bahwa sang presdir Mega Corporation, sangat menyulitkan mereka.
Dia merasa kerja sama ini tidak akan mudah meraih kesepakatan.
Hingga ia berfikir sinta yang harus menanganinya langsung. Namun, dewi masih enggan memberitahukannya pada sinta.
"Maaf Tuan jika saya menyela. Apakah produk kami, tidak sesuai dengan standard perusahaan anda?" tanya dewi.
"Mohon maaf jika kami menyinggung perasaan anda. Tapi untuk saat ini, saya rasa tidak." dewi mendengus dalam hati. Namun, ia tetap mempertahankan senyumnya.
"Mungkin, anda bisa langsung bertemu dengan presdir kami untuk membahasnya lebih lanjut." dewi membelalakkan matanya terkejut.
'Apa, jadi dia bukan presdirnya? Sejak awal pembicaraan hanya berputar-putar dia baru mengatakannya?' dewi merasa geram dalam hatinya.
"Maaf saya fikir, anda adalah presdir dari Mega Corporation?" tanya dewi tanpa berfikir lagi. Dia terlalu terkejut hingga tak lagi menyaring perkataannya.
"Tidak nona. Saat ini, presdir kami sedang ada urusan yang sangat penting. Jadi, beliau mengutus saya menggantikannya. Maaf tidak memberitahu kalian sejak awal." pria itu menundukkan kepalanya tanda permintaan maaf.
*****
Keesokan harinya, dewi melaporkan hasil meeting yang kemarin sudah di lakukan pada sinta. Dia menumpahkan kekesalannya pada atasan sekaligus sahabatnya itu.
"Hahahahaha...." sinta terbahak. Dewi memanyunkan bibirnya kesal.
"Sudah puas?" ucapnya geram. Sinta berdeham mencoba meredakan perasaan geli di hatinya.
"Baiklah. Coba kau atur ulang pertemuan itu. Kali ini biar aku yang tangani." dewi mengerti dan keluar dari ruangan sinta.
Dalam hati, sinta masih merasa lucu. Hingga setelah dewi keluar, dia kembali tertawa. Namun, kali ini i tahan tawanya tersebut. Agar dewi tak semakin kesal.
Dewi, merasa sedikit lega karena melihat tawa sahabatnya. Sudah lama sinta tidak tertawa sebahagia itu. Terhibur hanya dengan mendengar ceritanya saja, sudah membuat dewi ikut bahagia.
Saat ini dewi pun sudah tenggelam dalam pekerjaannya. Mencoba mengatur kembali jadwal pertemuan seperti perintah atasannya.
*****
Hari ini sinta pulang lebih awal. Sinta mengajak dewi untuk hang out terlebih dulu. Dewi menyetujuinya. Pasalnya, mereka sudah lama tak hang out bersama.
Mereka pergi ke cafe tempat mereka biasa hang out. Saat ini mereka menikmati waktu berdua. Sinta merasa, ketika sahabatnya ini menikah nanti, tidak akan mudah baginya untuk keluar seperti saat ini tanpa izin dari suaminya.
Itulah sebabnya, sinta ingin bermain sampai puas dengan dewi.
"Sin, ayolah. Kau harus membuka lembaran baru itu sekarang." dewi mencoba bicara pada sinta.
"Siapa bilang aku menutup hatiku?"
"Lalu?"
"Hanya, aku merasa belum bertemu dengan pria yang pas saja."
"Hmmmm.... Sampai kapan ada yang pas sinta?" dewi sedikit kesal. Sinta hanya mengangkat bahu dan tersenyum.
Lama mereka berbincang. Hingga malam sudah semakin larut. Mereka pun memutuskan pulang.
Saat mereka menuju parkiran, tiba-tiba saja ada seorang pria menabraknya. Sinta hampir terjatuh. Namun, pria itu dengan sigap menarik bahu sinta hingga tatapan mereka bertemu.
Sinta terpana. Pria itu pun terpana. Namun sinta segera menyadarkan dirinya.
"Maaf nona. Saya sedang terburu-buru." ucap pria itu.
"Tidak apa. Saya permisi." sinta dan dewi melanjutkan langkah mereka.
Sesekali, pria itu membalikkan tubuhnya melihat sinta. Tersenyum manis walau hanya melihat punggungnya.
Di dalam mobil, dewi melihat ekspresi sinta. Ia merasa sinta sedang terpesona pada pria tadi.
"Kau baik-baik saja?" dewi memastikan.
"Memang apa yang salah?"
"Wajahmu merah." dewi tersenyum melihat wsjah merona sahabatnya itu.
"Benarkah?" sinta melihat menyentuh pipinya menutupi kecanggungannya.
"...." dewi melirik. "Apa karena pria tadi?"
"Tidak..." jawabnya cepat. "Sudahlah ayo pulang. Kau mau ku antar sampai apartemenmu?"
"Jika kau keberatan, tidak usah."
"Tidak apa dewi. Jangan sungkan."
"Baiklah jika kau memaksa."
Sinta pun segera melajukan mobilnya menuju apartemen dewi untuk mengantarkannya.
Tak berapa lama mereka tiba di apartemen dewi. Dewi pun berpamitan. Sinta kembali melajukan mobilnya kembali ke rumahnya.
Di perjalanan, sinta masih memikirkan pria tadi. Entah mengapa ia tertari dengan pria itu. Namun, segera di tepiskannya pemikiran itu. Ia takut jika pria tersebut sudah memiliki kekasih atau mungkin isteri.
Kembali ia memfokuskan dirinya ke arah jalan.