Pion

Ken menginjak pedal rem dan membuka jendela mobilnya. Pandangannya menembus rintik-rintik hujan yang deras, terpaku ke bangunan sekolah yang mangkrak itu. Bangunan yang dulu hanya digunakan beberapa bulan saja karena lokasinya terpencil. Bahkan tadi ia harus melewati jalan berlumpur tanpa aspal hanya untuk sampai di sini.

Ken yang sudah mengenakan baju logam kebesarannya pun turun, berjalan melintasi pintu pagar yang terbuka, halaman berpaving yang tak terlampau luas, tembok-tembok penuh vandalisme di lorong pintu masuk, sampai akhirnya tiba di lapangan berlantai beton yang dikelilingi ruang-ruang kelas. Di tengah lapangan itu, Hardi yang juga telah memakai kostum telah berdiri menantinya, tak memedulikan dinginnya titik-titik air yang jatuh.

“Tempat yang bagus.” Ken setengah berteriak, melawan deru hujan dan petir yang keras. Kakinya masih berjalan, tapi kini memelan. Kewaspadaannya meningkat. “Jauh dari rumah-rumah penduduk.”