Mayat-mayat bergeletakan, bangunan pun hancur, pepohonan layu dan menjadi abu. Terlihat beberapa kolam darah dengan tumpukan tubuh tak bernyawa di mana pemandangan itu menyerupai sebuah mimpi buruk tak berujung.
Langit yang kelabu menurunkan air hujan dengan intensitas yang deras. Tidak ada langit cerah yang biasanya tersenyum. Baik siulan burung atau keramaian orang-orang baik yang selalu menjadi motivasi untuk terus bertahan hidup.
Di antara semua itu seorang gadis bergaun hitam jatuh terduduk dengan wajah yang berantakan. Pakaian compang-camping dan sekujur tubuhnya penuh luka. Namun, apa yang membuatnya begitu terlihat di antara mimpi buruk itu adalah sebuah tangisan penuh kasih sayang yang tak bisa dibendung.
Dengan teriakan, ia berusaha memanggil lelaki terkasihnya terus menerus, berharap bahwa semua yang terjadi, dan apa yang dialaminya hanyalah mimpi buruk. Sayangnya, ketika ia melihat senyum lemah milik lelaki terkasihnya itu, ia pun hanya bisa pasrah, dan tak bisa berbuat apa-apa.
Walaupun ia bisa menyembuhkan sebuah luka fatal dan beberapa luka kecil. Namun, bagaimana ia bisa merestorasi ulang sebuah tubuh yang hancur, dan mata yang tak bisa berfungsi lagi.
"M-Master... M-Master," ucapnya lirih sambil menempelkan pipi lelaki terkasihnya itu ke pipi miliknya.
Sementara itu beberapa orang lainnya sedang berusaha menangani sebuah masalah yang tidak kecil. Lawan mereka adalah beberapa monster yang tak diketahui.
"Alice! Cepat bawa Master ke tempat yang aman!" teriak seorang lelaki yang tidak jauh dari tempatnya.
"T-tapi... "
"Cepatlah, Alice!"
Sambil berusaha menahan isak tangisnya yang tidak dapat berhenti, akhirnya ia pun segera pergi dari tempat itu.
Tidak seperti tempat ini yang sudah tidak memiliki harapan. Alice membawanya pergi ke tempat yang sepi, yang mana tempat itu hanya ialah yang mengetahuinya.
Melewati beberapa pohon layu ia berlari sambil membopong lelaki itu. Dengan mulut gemetar ia berharap dalam hati jika lelaki yang dibawanya tidak mati.
Dadanya masih berkontraksi dan ia juga bisa merasakan napas keluar dari mulutnya.
Tubuh yang dipenuhi darah dengan kondisi kritis pada sekujur tubuhnya. Tak berdaya, lelaki itu mencoba mengatakan sesuatu meskipun suaranya lemah.
"S-sudahlah, Alice... kau bisa pergi meninggalkanku," ucapnya dengan senyum tipis yang lemah.
Raut wajahnya itu tertutupi oleh rambut hitam yang lusuh. Mata kirinya pun sudah tak berfungsi. Lelaki itu berusaha menyampaikan pesan terakhirnya dengan semua kekuatan yang tersisa.
"Hahahaha... aku tak mengira si otak otot seperti Dazz bisa menangis seperti itu...," gumamnya lemah.
"T-tolong jangan berkata apa-apa terlebih dahulu, Master," ucap Alice khawatir.
Setelah beberapa saat, mereka pun tiba di sebuah persimpangan danau yang sangat luas. Danau yang memantulkan bagaimana kelamnya langit di atas sana dan memperlihatkan bagaimana raut wajah Alice yang begitu khawatir serta dipenuhi oleh rasa takut.
Sementara itu di sisi lain, lelaki yang dibopongnya berbeda. Ia memiliki raut wajah setenang air dan dipenuhi oleh rasa lega. Tidak seperti kebanyakan orang yang biasanya takut akan kematian, ia lebih terlihat seperti seseorang yang memang telah menunggu saat ini.
Setiap saat darah menetes dan dalam kejaran waktu itu, Alice berusaha memberikan sihir penyembuh selama yang ia bisa. Namun, lelaki itu mengenyahkan tangan Alice dari tubuhnya.
"Alice...," ucapnya lemah sambil menggelengkan kepala pelan, "ini sudah waktunya"
"M-Master... "
"Sisanya... akan aku serahkan pada kalian."
Akhirnya penglihatan lelaki itu memudar sangat cepat dengan lengan kanan yang berusaha menyentuh pipi Alice, tapi pada akhirnya jatuh terkulai lemas. Layu layaknya seperti daun yang mengerut, bahkan detak jantungnya perlahan-lahan ikut menghilang.
Dengan air mata yang terus mengalir tak henti, Alice pun mengelusnya untuk yang terakhir kali, "B-baiklah, Masterku tercinta, Ash...."
Pada saat itulah semua perasaannya, kasih sayangnya, dan juga rasa kehilangannya tumpah dalam satu teriakan keras memanggil nama Ash.
Tidak lama kemudian empat orang lainnya datang dengan wajah yang cemas. Begitu mereka tiba, hampir semuanya bertekuk lutut. Bahkan ada juga yang menangis layaknya seorang anak kecil yang telah kehilangan orang tuanya.
Hari yang penuh kemalangan dan hari yang malang. Orang yang mereka anggap sebagai cahaya itu kini telah pergi selamanya. Terkulai tak berdaya dalam balutan kematian yang nyata.
***
Kesadaranku perlahan kembali. Dengan sebuah suara yang cukup halus memanggil namaku dalam kegelapan ini. Aku pun bereaksi dan secara perlahan-lahan mataku terbuka.
Begitu semuanya terlihat dengan jelas dan semua panca indraku berfungsi. Aku baru sadar bahwa saat ini aku sedang berada di dalam pelukan Val.
"Tenanglah, Raven. Aku ada di sini...," ucapnya dengan nada yang khawatir.
"A-apa maksudmu?"
"Jika kau ingin menangis, maka aku akan selalu meminjamkan pelukanku untukmu"
"M-menangis? A-aku?—eh?"
Perkataannya itu seakan-akan sedang berusaha menyadarkanku dari mimpi buruk. Ya, aku memang melihat semua itu dan menyadarinya dengan kesadaran penuh. Namun, saat ini semua kejadian itu terasa begitu nyata.
Walaupun itu hanyalah sebuah mimpi. Namun, perasaan itu, teriakannya, dan orang-orang yang belum pernah aku temui itu terasa tak asing. Hingga pada suatu titik tertentu mataku terasa hangat dan basah.
Apakah... aku benar-benar sedang menangis?
Saat ini aku tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi denganku. Sayangnya semua perasaanku itu pecah dalam dekapan dada Val yang lembut. Aku tidak peduli dengan apa yang dilakukannya.
Hanya saja saat ini aku tidak ingin memikirkan apapun. Saat ini... ya, momen ini aku hanya ingin diam dan menumpahkan segalanya sambil mencoba meresapi apa yang terjadi dengan diriku.
Val sama sekali tidak bertanya apa-apa. Ia hanya menawarkan pelukan hangatnya padaku dan di saat yang sama ia juga seperti berusaha mencoba untuk memahami kondisiku saat ini.
Aku memanglah seorang lelaki yang terlempar ke dunia ini tanpa sebab dan tujuan yang pasti. Tak memiliki keluarga dan tempat untuk kembali, aku pun berusaha mencarinya, dan berharap benar-benar menemukannya.
Aku sama sekali tidak ingin mengakuinya dan tidak ingin lagi mengingatnya. Mungkin aku adalah tipe orang yang bisa tersentuh dengan sesuatu yang bahkan tidak ada hubungannya denganku sama sekali. Sungguh menggelikan, tapi itu semua seperti kilas balik yang benar-benar terjadi tepat di depan mataku.
Berdiri mematung layaknya manekin dan berteriak kencang memanggil mereka seakan-akan berusaha memberitahu mereka bahwa aku masih hidup.
Apa yang kulakukan? bukankah itu seperti terlihat orang yang bodoh?
Dalam hangatnya pelukan Val itu aku menangis tanpa sebab yang jelas. Berusaha untuk menemukan jawabannya, tapi semua itu sama sekali tidak membuahkan hasil. Berharap pada beberapa petunjuk yang kudapatkan, tapi tidak ada jalan yang pasti—bercabang penuh dengan lika-liku yang kompleks.
Semakin aku menyelam mencari alasan yang logis dan penjelasan yang bisa aku mengerti. Sayangnya semua itu berujung pada suatu jalan buntu tanpa pilihan alternatif lain.
Terjebak dalam jurang tanpa batas. Aku berdiri di ujungnya selagi dua orang itu berada di seberang sana. Memandangiku dengan tatapan yang lega, tersenyum tipis seakan-akan memberitahuku semuanya akan baik-baik saja.
Apakah itu artinya mereka telah mendapatkan sesuatu yang selama ini mereka cari? Ataukah mereka mengharapkan sesuatu dariku?
Begitu aku kembali melihat mereka... keduanya masih sama. Namun, lelaki berambut putih itu berbalik dan berjalan pergi meninggalkan lelaki berambut hitam yang jika tidak salah dipanggil sebagai Ash.
Ia masih menatapku dari seberang sana, mulutnya terbuka seperti ingin berkomunikasi denganku. Lalu, tanpa aku sadari jarak kami tiba-tiba menjadi sangat dekat. Di mana sosoknya kini berdiri tepat di hadapanku.
Aku bisa melihat sosoknya dari dekat. Matanya yang merah darah itu terlihat hangat dan aura di sekitarnya begitu terasa bersahabat.
"Semua jawaban yang kau cari ada di sini," ucapnya lalu menunjuk dadaku—tepatnya hati.
Setelah itu ia pun berbalik dan pergi meninggalkanku di tempat antah barantah ini sendirian.
Ini semua seperti kenyataan. Kenyataan yang benar-benar memberiku sebuah kotak dengan potongan puzzle yang berserakan.
Hingga aku tersadar bahwa saat ini Val sedang mengelus kepalaku pelan-pelan sambil bersenandung.
Mungkin hal seperti ini tidak buruk juga... ya, setidaknya aku merasa aman di dalam pelukan perempuan yang entah mengapa tiba-tiba membuat ikrar perjanjian denganku.