Tak mau membuat gaduh, aku perlahan meninggalkan kamar
sebelum wajahnku yang pas-pasan semakin tak berbentuk oleh batu-batu material
bangunan yang tajam dan terjun bebas mengenaiku. Aku bersembunyi di kamar sebelah, kamar yang hanya aku pergunakan untuk sholat saja.
Sedangkan, bunyi berisik berasal dari batu-batu itu
masih terus ada dan tidak berhenti. Sayang sekali, baru sebulan aku ikut
latihan pencak, kalau sudah tiga tahunan, pasti aku berani keluar. Karena aku yakin, yang melakukan ini adalah manusia, bukan hantu. Kalau hantu bawa-bawa batu ngapain? Dengan bunyi-bunyian saja juga aku sudah mengkeret dibuatnya.
Sepuluh menit kemudian, terdengar suara murotal dari masjid.
Artinya sebentar lagi sudah tiba waktu subuh. aku putuskan untuk menunggu suara adzan berkumandang. Bunyi lemparan batu dari tempat tidurku pun juga sudah tidak lagi terdengar. Mungkin pelakunya sudah pergi.
Sekitar pukul setengah enam, aku menyapu halaman rumah,
bersama dengan tetanggaku depan rumah, ia tengah memasak. Jadi, pintu belakangnya dibuka. Kesempatan pula untukku melapor kejadian semalam.
"Mbak, Murni, semalam ada yang menggebrak pintu rumah.
Kejadiannya sekitar pukul sebelas malam, dan jelang subuh, seseorang melempari batu-batu ke kamarku," ucapku setelah kuselesaikan nyapu halaman rumahku dan juga belakang rumanhya.
Mbak Murni ini bisa dikatakan pemilik rumah yang aku
kontrak, dia adalah menantunya sementara pemiliki asli, atau kedua mertuanya sudah tiada, dia tinggal sendiri di sini. Suaminya merantau ke tanah Borneo. Dia tinggal dengan anaknya yang masih berusia tiga tahunan.
Mendengar laporanku, wanita berusia duapuluh tujuh tahun itu
lantas terkejut. Ia hampir tak percaya. Tapi, aku juga tidak mungkin berbohong juga, kan?
"Hah, masaka, Dek Ara? Kamu kok tidak bereteriak minta
tolong? Kan om Gun (Gun asli ini, bukan gun-gun yang suka dipohon besar dan rimbunan bambu) ada tuh, sama om Nananag?" ucapnya.
Om Gun dan om Nanang itu dua bersaudara yang juga mengontrak
rumah yang letaknya di depan rumah mbak Murni. Mereka membuka usaha jualan mie ayam dan juga baso solo.
"Gak tau, kenapa saya gak teriak. Males aja rasanya kalau
sampai heboh. Itu pun jika ada yang dengar, kalau tidak, setan juga akan ikut menrtawakan saya, dong!" jawabku, jujur. Memang saat itu aku juga tidak ingin berteriak. Gak pede aja rasanya. Toh gak darurat banget, kan?
"Soal pintu yang digebrak itu kamu Cuma dengar apa memang
lihat sendiri?" tanyanya lagi.
"Ya lihat sendiri, untung kunci slot atas juga saya pasang. Kalau tidak, ya sudah terbuka saja. Saat itu saya belum tidur dan masih
mengerjakan pr Bahasa ingris. Dan kamar saya juga dilempari batu, Mba."
"Hah, batu? Apakah jendelanya tidak kamu tutup? Jam berapa
itu? Kamu lihat gak, pelakunya?" Wanita itu nampak mengelus tengkuknya sendiri, sepertinya dia ngeri dengan apa yang baru saja menimpaku semalam.
"Jendela taktutup. Pelakunya melemparkan lewat lubang
angin-angin atasnya jendela mbak."
"Batu kecil yang sisa buat aku bangun rumah ini mungkin, ya
Dek?"
"iya, benar batu itu yang dilemparkannya."
"Ngenain kamu tidak?"
"ya ngenain, Mbak. Saya kebangun awalnya terkena kaki saya,
lalu kepala, dan saya pindah ke kamar sebelah."
"Masa, Dek Ara ada yang tega berbuat begitu sama kamu?"
"Batunya masih utuh. Saya belum membuangnya. Saya tidak
berani masuk kamar tersebut. Kek semacam ada perasaan yang tidak enak saja," tukasku sambil mengajak mbak Murni masuk ke dalam rumah dan menuju kamar.
Perasaan tidak enakku untuk memasukki kamar terjawab sudah.
Di sana, begitu pintu terbuka, spreiku yang berwanpa pink muda cenderung putih banyak bercak-bercak darah. Aku dan mba Murni sama-sama ketakutan. Tapi, rasa penasaran mengalahkan segelanya.
Tahu, apa yang ada di dalam kepalaku? Sepasang tangan yang
tepisah dari badannya tergelatk di atas kasuku. Soalnya darah banyak banget. Dan ternyata di atas kasur tergeletak bangkai ular dengan ukuran lumayan besar dan Panjang penuh dengan luka. Aku dan mba Murni sama-sama menjerit karena kaget, dan ketakutan.
"Ya Allah, jahat banget, Dek Ara pelakunya, minta tolong ke
om Gun deh, suruh buang bangkai ular ini," ucap mbak Murni lalu keluar dan akunikuti pula. Tapi, aku tidak mengikutinya ke tempat om Gun. Melainkan aku mengambil handuk dan seragam pramuka. Aku harus sekolah hari ini.
Setelah bangkai ular itu dibuang, apa dikubur aku tidak
tahu, aku menitipkan kuci rumah pada mbak Murni, untuk jaga-jaga kalau saja nanti ibuku pulang, agar memberikan padanya.
Setelahnya, aku langsung ke jalan raya menunggu angkutan umum yang membawaku ke sekolahan.
Tapi, karena ini masih terlalu
pagi, aku berniat menyebrang jalan dulu, aku menuju watel menelfon ibuku agar pulang dan mencuci sprei yang ada darah ularnya. Aku jijik soalnya. Setelahnya, aku kembali ke jalan raya.
Saat tiba di jalan aku bertemu dengan kakak kelas yang juga
ikut ektrakulikuler pencak. Jadi, aku kenal dengannya. Apalagi dia juga
menawarkan tumpangan padaku, lumayan, ngirit uang seribu rupiah. Kala itu
memang segitu bayar angkutan umum cuma seribu, bus atau mobil elef sama aja. Harga gorengan aja masih duaratus lima puluh perak, dapat gede, dan sekaeang dah seribu(di pulau Jawa.)
"Kemarin itu saat latihan kamu menertawakan apa?" tanya mas
Rendi.
'Sudah aku duga,' batinku.
"Ra, denger suara, ku gak sih?"
"Iya, denger. Aku sendiri juga tidak tahu, Mas apa yang
kutertawakan. Aku dah sekuat tenaga menahan agar diam. Aku juga membaca ayat-ayat suci yang kuhafal. Masih saja los kontral gitu," jawabku apa adanya.
"Kok bisa sampai begitu, ya? Kamu melanggar aturan tidak
sih, di sana kemarin?"
"Aku kepepet masuk ke toilet wanita nomor dua dari barat.
Setelahnya aku malah tertawa dengan sendirinya."
"Ra, kamu itu pernah dengar gak cerita tentang toilet itu?
Itu keramat gak boleh dimasukki selin penjaga yang membersihkan saja? Kenapa
kamu langar? Gak sampe kesurupan juga bagus kamu itu, pernah ada tragedy di
sana dulu, anak yang baru lulus ini, dia… " Mas Rendi tidak melanjutkan
ceritanya. Sepertinya ia benar-benar takut.
"Yang bikin aturan siapa?"
"Dulu penjaga sekolahan kita bisa berkomunikasi dengan bangsa
halus. Setelah kejadian si bayi itu, ia mewanti-wanti untuk siapapun agar tidak masuk ke toilet itu."
"Itu yang bikin aturan setan, kan? Kenapa dipatuhi? Selama
kita takut, mereka senang, karena merasa menang."
"Suara, demi keselamat kamu juga, kau jangan bandel-bandel."
"Perintah Tuhan untuk mengerjakan lima waktu saja masih
sering kulanggar, kenapa aku harus mematuhi aturan setan?" berhenti, turunkan aku di sini," ucapku sambil bersungut-sungut.
Saat itu aku memang keras kepala. Paling benci jika diberi
tahu apa yang harus aku lakukan. Nyatanya, aku tahu mana yang baik dan tidak untukku sendiri. Itu sih menurutku. Tapi, untung, sejauh ini ga pernah sampai apes seperti yang lain.
Bukannya berhenti, mas Rendi malah menambah kecepatan sepeda
motornya. Ia sepertinya marah denganku. Saat tiba di sekolahan, dia juga tak jawab ketika kuucapkan berkali-kali kata terimakasih.
Ya sudahlah. Mungkin dia lagi PMS. Pikirku, aku pun masuk ke
dalam kelas untuk menaruh tas dan segera membeli sarapan di kantin. Gara-gara
ada drama terror aku tidak bisa sarapan di rumah.