"kamu ini bagaimana, sih? masa gak tahu? Atau tidak dengar? Kau tidak tuli, kan?"
Suara melotot dengan wajah penuh emosi. Tangannya ia kepalkan keras dan ingin sekali meninju kepala pria yang sangat menyebalkan ini. "Aku dengar kamu bicara apa. Tapi, aku memang tidak tahu, mana yang aku suka," jawab Suara.
Padahal, kata-kata itu, justru lebih mengarah, tidak ngerti, kenapa kamu sduah marah sama aku dengan tuduhan membikin pacarmu ngambeg kok masih saja nawarin aku makan.
"Sudahlah! Buang-buang waktu ngomong sama kamu!" ujarnya marah. Tiba-tiba langsung maen gas aja. Untung saja, Suara langsung secara reflek memagangi ujung jaket rema laki-laki itu. jika saja tidak… mungkin sudah bisa dipastikan dia jatuh terjungkal akibat ulahnya.
Yoga melajukan motor dengan kecepatan yang begitu tinggi. Suara sangat takut. Tapi, dia hanya diam dan memejamkan mata dengan sangat erat. Sebab, untuk protes juga tidak berani. Hingga akhirnya motor itu pun berhenti.
"Heh, mau sampai kapan kamu akan terus merem sambil memegangi jaketkku begini? Gak mau turun?" ujar Yoga dengan nadanya yang galak.
Suara membuka sebelah matanya. Melihat keadaan berhenti dan tenang. Tidak berjalan cepat, taka da angin pula yang menerpa wajahnya dengan deras.
"Kita sudah tiba, ya?" ujar Suara sambil tertawa konyol. Sebab, ia tidak tau harus berbuat apa. Berkata apa juga tidak tahu. "Eh, ngomong-ngomong kita tiba di mana sih?" tanya gadis itu lagi.
"Turun kamu! Jangan nangkirng di sini tersu seperti kuntilanak yang nyari tumpangan saja!" bentak Yoga lagi.
"Mas, kamu ini pelatihku. Kenapa sih gualak banget?" ujar Suara yang juga merasa kesal sebab tak tahu di mana salahnya malah di bentak-bentak tanpa sebab seperti itu.
"Ya sudah, Suara kuberharap! Ayo turun," ujar Yoga.
Suara pun akhirnya turun dari motor dan ikut ke mana Yoga pergi dan duduk berhadapan.
"Kamu mau mie ayam apa bakso?" tanya pria itu.
"Aku tidak tahu," jawab Suara masih sama.
Dengan muka sebal pria remaja itu mengankat tangan kanannya melakukan kontak mata memanggil pelayan di tempat tersebut. Tidak berselang lama, seorang Wanita dengan seragam bertuliskan mie ayam dan bakso pandawa datang dengan santun.
"Iya, Mas. Mau pesan apa?" tanya gadis itu denfan santu,
"Satu mie ayam dengan ceker, dan satu bakso jumbo. Minumnya satu gelas es jeruk saja."
Suara hanya diam. Dia tidak ditawari pesan apapun. Tapi, dia sudaha berfikir jika salah satu makanan yang dipesan pasti akan diberikan padanya. Oke tidak apa-apa. Mungkin ini yang Namanya rejeki. Setelah Latihan keras, dan lelah sudah ada seseorang yang nraktir.
Tidak berselang lama, pesanan yang Yoga pesan pun datang. Tapi, pria itu meletakkan dua mangkuk berisi bakso dan mie ayam itu di tengah-tengah meja.
"Sudah tahu, kamu suka yang mana?" tanya Yoga lagi.
"Aku tidak tahu!" jawab Suara lagi. Sepertinya jawaban itu tak tergoyahkan. Padahal, setelah melihat penampakan di depannya itu tidak tahu karena bngung. Mau yang ini apa itu.
"Ya sudah, sama-sama yuk, kita makan mie ayamnya," ujar Yoga. Mengambil saos, kecap dan sambal. "Ayo!"
"Ngapain?"
"Makan ini sama aku. kita habiskan berdua, setelah itu, kita makan baksonya berdua. Nanti, setelah semua habis, kamu bisa tahu mana yang lebih enak di lidah kamu."
"Eh, Udin! Kamu jangan mengadingadi, ya!" seru Suara terkejut dengan pernyataan itu.
"Mengada-ada apaan? Kamu gak mau berbagi mangkuk sama aku? Aku makan sama sendok, loh! Kemarin kamu duduk di antara Rizky dan Tian. Makan permen satu butir dari mulut ke mulut. Apa bedanya dengan bertukar ludah?"
Suara melongo. "ini bukan saat Latihan, Din. Jangan disangkut pautkan dnegan di saat katiha, lagipula, kemarin itu juga mauku, kok."
"Kamu menikmati. Kamu tidak terlihat jijik karena Rizky dan Tian cakep, kan?"
"Hehehe, iya!" jawab Suara dengan polosnya. Dia memang selalu tertarik dengan orang yang bisa membaca karakter dirinya, apa yang ada dalam pikirannya. Karena, orang seperti itu menyenangkan saja.
"Ya sudah, sebagai pelatih, kamu juga harus mendengarkan perintahku. Ayo, makan!"
Suara sungguh tidak menyangka akan seperti ini. Kembali dia teringat dengan pertama kali saat remaja elalki itu mengajaknya naik motor bersamanya. 'Yah… tidak apa-apa. Ini lebih baik, dari pada dibunuh karena tuduhan tak masuk akalnya si Udin!'
Satu mangkok mie ayam pun telah habis, kini mereka berganti makan bakso jumbo tersebut. Baru beberapa suap, tanpa sengaja Suara melihat sebuah penampakan yang tidak pernah dia duga sebelumnya sama sekali.
"Aku kenyang," ucap Suara dengan ekspresi merinding dan menahan rasa mualnya.
"Kenyang apaan? Lihat badan kamu snagat kurus. Makanlah yang banyak biar sedikit berisi!"
'Kau tak gtahu, makanku ini banyak sekali. Tapi, aku memamng lagi gak mood makan banyak saja!' gerutu Suara dalam hati sambil melihat sosok di atas meja pelanggan lain yang tengah merangkak, meludahi tiap-tiap mangkok.
"Uh… " Suaara sudah tidak tahan, lalu ia pun berlari mencari tempat yang sepi dan memuntahkan isi di dalam perutnya.
"Kamu kenapa, Suara?"
"Hoek… hoek!"
"kamu kenapa sih? Hamil?" tanya Yoga semakin menyebalkan.
"Diam! Kau ini bicara jangan sembarangan!" teriak Suara. Mereka berada di tepi jalanan yang kebetulan ramai. Jadi, jika tidak berteriak, juga tidak terdengar.
"Terus kamu kenapa muntah-muntah begitu? Mana di pinggir jalan pula. Dikira nanti aku nanti yang hamili kamu loh!" ujar Yoga semakin memebuat emosi suara.
"Aku masih ada akhlak. Jika saja tidak… aku ambil dan kulemparkan padamu muntahanku ini!" ujar Suara kesal.
"Ya kamu jangan galak-galak begitu, Suara. Aku kan tidak sengaja!"
"Apaan?" Suara memegangi perut sambil menatap tajam kea rah Yoga.
"Apakah aku begitu menjijikkannya sampai-sampai makan satu mangkuk bersama muntah-muntah sampai segitunya. Padahal, aku makan gak pake mulut.
Suara mendnegar suara dengusan yang sangat tidak enak di dengar, mengerikan. Saat melihat ke sebelah, sosok yang tadi berkeliaran merangkak di atas meja sudah berdiri di sebalahnya dengan tatapan penuh ancaman, mata merah meotot dan penuh darag menetes.
"Hoek!" Kembali Suara muntah-muntah. Harusnya dia takut dan mengerikan. Tapi, karena mahluk itu berada d dekat makanan, meludah dan meneteskan banyak darah dari wajahnya… jelas itu semua mengenai makanan para pembeli. 'Apakah dia jin penglaris?''
"Mas, kita pergi saja ayo! Aku tidak mau makan di sini lagi. Boleh makan mau pake tangan atau apa saja di wadah yang sama. Tapi, jangan di sini! Sekarang, ayo kita pergi saja!" ujar Suara, kembali masuk untuk mengambil tasnya yang tadi ia letakkan di atas kursi belakang dia duduk.
"Arrkkk…. Arrrkkkk!" suara makhluk itu, sangat tidak jelas memang, bicara apa juga tidak ada yang tahu. Namun, Suara mengerti apa yang dia maksut.