"Arrrkkk… arrrrrkkkk!" suara makhluk itu. sangat tidak jelas memang, dia sedang berbicara apa. Namun Suara bisa sangat paham apa yang dia maksut dari ekspresi wajah dan sorotan mata nya yang terus menatap tajam dan terlihat marah padanya.
'Aku tidak akan ikut campur urusan kamu. Asal, kamu jangan pernah mengganggu aku,' batin Suara smabil membalas pandangan mata sosok menyeramkan itu.
"Kamu itu sebenarnya ke napa, sih Suara? Kau ini benar-benar membuat au bingung saja!" ujarnya.
"kKita pergi saja sekarang dari sini aku sudah sangat tidak nyaman berada terlalu lama di tempat ini!"
"Heh, kamu tidak sedang mengidap syndrome takut keramaian, kan?"
"Tidak. Aku mengidap Syndrome takut setan. Ya sudah ayo kita pergi saja sebelumaku kembali kesurupan seperti dulu!"
"Kamu keluar saja dulu.aku makan dulu baksinya, sayang banget!"
"Sudah gaka ada kata sayang. Aku yang akan bayar semua untuk kamu!" Suara langsung menarik Yoga dan pergi ke kasir membayar makanan yang sudah mereka pesan tadi.
"Kamu ini kenapa? Ini kita sudah berada di luar rumah makan itu, kamu bisa cerita sama aku, kan?"
Suara tidak bisa menceritakan halitu kepada mas Yoga. Sebab, makhluk tak kasat mat aitu sudah jelas pasti akan terus mengawasi dirinya saja. tadi saja, saat dia keluar dan muntah-muntah saat melihat ulahnya sudah nyaris dicekik saat Yoga tiba-tiba datang dan menanyakan apa yang telah terjadi padanya. Bgamana jika nanti dia mengatakan dan benar-benar dicekik hingga mati?
Ah, walaupun hidupnya selama ini sudah cukup menderita, dia juga masih ingin hidup karena belum memiliki amal cukup untuk sangunya mati nanti.
"Total semuanya tigapuluh lima ribu, Mbak!" ujar mbak mbak kasir yang letakkanya berada jauh dari rimbong bakso dan mie ayam. Tepat di dekat pintu keluar, jauh pula dari tempan duduk lehesan dan kursi-kursi yang telah disediakan di sana.
'Busyet. Malah bingit? Eh, iya sih, dia memsan mie ayam special oake ceker dobel dan juga bakso jumbo yang dibeli. Wajar saja. untung aku membawa uang cukup,' batin Suara dengan berat hati dia mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan dari dalam sakunya.
Itu adalah satu-satunya uang yang dia miliki yang diberikan oleh ibunya semalam untuk uang makan dan biaya angkot selama seminggu. Dan kini, sudah tinggal lima belas ribu saja. hari masih minggu. Satu kali PP ke sekolahan habisnya duaribu. Jika enam ribu bukankan sudah duabelas ribu? Lalu, uang tiga ribu itu bisa untuk apa? Apakah hanya sekolah saja dan tak usah makan? Minum saja yang banyak agar perut tidak keroncongan? Pikir gadis itu. sambil memasukkan kembalian uang tersebut ke dalam saku celananya.
Saat memandang wajah Yoga, rasa sebal membuat ia melupakan keluh kesahnya untuk kehidupan selama seminggu mendatang. Yang ada Cuma jengkel saja. 'Tidak masalah, yang penting aku sudah menepati apa yang baru saja aku katakana. Aku yang bayar. Oke yang penting aku dah bayar begitu juga beres. Karena ini hanya soal uang dan harga makanan. Bukan soal harga diri karena memakan kembali omongan atau menjilat ludah yang telah dibuang.
"Aku antar kamu pulang ke rumah, ya?"
"Boleh!" jawab Sura. Tapi. Dalam hati dia bergerutu, 'ya, aku membolehkan kamu bukan berarti kita telah berdamai. Jika saja aku tidak bokek, aku juga lebih memilih berlari, karena kebutulan ada bus yang searah ke rumah kontrakannya berhenti untuk cari penumpang.
"Kamu hari ini bete banget. Kenapa?" tanya Yoga saat di perjalanan.
"Tidak apa-apa. Tumben banget tidak mengendarai motor dengan kencang? Uda tobat?"
"Hehehe, kamu suka yang mengandung adernalin, ya? Atau, sengaja kamu ingin peluk-peluk punggung aku? Jadi minta ngebut buat cari kesempatan?"
"GR! Nyesel aku tanya begitu ke kamu!"
"Ya, malah kembali jutek. Eh. Bener, kan ini rumah kamu?" gtanya Yoga setelah tiba di sebuah rumah yang di bagian baratnya ada halaman luas sekali dari rumah kuno yang ada di bagian belakang. Namun, masih terlihat dari depan atau jalan raya.
"Iya, maaf. Tidak usah mampir, ya? adu di rumah sendirian. Tidak enak dengan tetangga," jawab Suara.
"Loh, kamu sendirian? Memang di mana kedua orangtua kamu?" tanya pria itu terkejut.
Suara tersenyum. Kemudian berkata, "Ayah dan ibuku telh bercerai. Mereka memilki kehidpannya masing-masing. Selain ibuku, dia akan datang tiga hingga enam hari sekali ke sini untuk memberiku uang."
Yoga, diam merenung sampai bengong mendengar penuturan anak yang tiga tahun lebih muda darinya begitu mandiri karena beban dan tekanan hidup. Sementara dia… Apa-apa masih harus serba menggantungkan kedua orangtuanya.
"Kita ngobrol sebentar di sini sebentar di sini tidak masalah, kan?" ujar Yoga.
Suara memandang area sekitar. Melihat beberapa pasang mata yang terlihat tidak peduli. Tapi, sebenarnya juga kepo dengan urusan bocil macam dirinya.
"Maun ngomong apa memangnya? Katakan saja, cepat!" ujar Suara. Dia memang tidak suka ribut. Tidak kuat hati pula apabila mendengar sindiran dari orang lain. Namun, juga tidak berani menjawab untuk melindungi diri sendiri. Sebab, ia sadar. Selain hanya pendatang, dia sendirian. Jika pun ibunya tiap minggu bisa datang, mengadu masalah seperti ini juga tidak bakal dibela olehnya. Malah bertambah dimarahi. Entahlah… di dunia ini katanya setiap amnusia memiliki satu malaikat pelindung ya itu seorang ibu. Tapi, Suara tidak merasa seperti itu. bukan malaikat maut untuk sebutan sang ibu juga sepertinya sudah cukup bagus.
"Kamu tadi, kenapa di rumah makan itu?"
"Aku melihat sosok tak kasat mata naik di atas meja dan menludahi makanan pembeli. Mereka pakai penglaris mungkin!" ujar Suara asal nlonyor. Padahal, makhluk tadi sudah meminta agar dia tidak mengatakan apa-apa pada siapapun termauk temannya. Tapi, ini kan sudah berada jauh dari tempat itu. tidak mungkin kan mereka tahu kalau dia mengtakan pada temannya?
Tidak mungkin juga sosok itu membuntuti Suara sampai di rumah, karena tugas utama mereka bukan untuk mengatasi tukang nyebar rumor, tapi membuat dagangan menjadi laris dan membuat yang pernah datang selau datang kembali.
"Apa? Jadi, kamu ini sebenarnya indigo, Suara?" tanya pria itu.
"Tidak. Aku tidak selalu bisa melihat sosok seperti itu. kadang di tempat yang angker aku juga tidak lihat apa-apa. Padahal sebenarnya ada banyak dan berkeliaran, Mungkin saja tadi Allah sengaja membuka mata batinku agar kita tidak makan makanan menjijikkan dari liur dan darah mahluk menjijiknya itu," jawab Suara.
"Makasih, ya? Kamu menyelamatkan aku. maaf, jika aku tadi salah paham sama kamu." Yoga meraih gangan Suara dan meletakkan selembar uang lima puluh ribuan di tangan kanan gadis itu dan memmbuat gadis itu menggenggam erat dengan isyarat agar dia menerima uang darinya.