Gelas mug kesayangan Cathleen pecah terbentur lantai, membuat ketiga orang yang sedang duduk di hadapannya terkejut. Cathleen lebih merasa terkejut dari pada ketiganya, ketika mendengar perkataan dari Reynold bahwa dirinya menderita amnesia beberapa detik sebelumnya.
Setelah menyuruh cleaning service membersihkan pecahan gelas, pak Henri kembali menjelaskan pembicaraan yang tadi sempat terpotong. "Cathleen, kami tidak meragukan kinerja kamu, juga kesetiaan kamu terhadap perusahaan ini. Oleh karena itu, kami memberanikan diri untuk mengajak kamu dalam rencana kami."
Cathleen menatap pak Henri dengan ekspresi penuh kebingungan. Rencana apa lagi ini? Dia saja sudah sangat terkaget dengan kenyataan bahwa bosnya amnesia. Sekarang, hal apa lagi yang harus ia hadapi?
"Kenyataan bahwa pak Reynold mengalami amnesia saat ini sangat dirahasiakan. Tidak ada yang mengetahuinya selain kita, pak Mordim dan bu Bianca Widjaja, bu Raika Widjaja, serta para tim medis yang merawat pak Reynold. Setelah menimbang banyak resiko yang bisa terjadi apabila publik mengetahui hal ini, kami bersepakat merahasiakannya. Karena itu, selama satu tahun ini, pak Reynold berada dalam perawatan intensif di Australia dan semua masalah bisnis di-handle oleh pak Mordim, bu Raika, dan saya."
Pak Henri menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan lagi, "tapi karena ini sudah berlangsung terlalu lama, kami memutuskan untuk mengembalikan pak Reynold kepada rutinitas biasanya. Karena itu, kami butuh tambahan orang lain yang bisa membantu pak Reynold dalam meng-handle semua tanggung jawabnya di Wijj Group."
"Tunggu dulu ..." Cathleen memotong. "Jadi kalian meminta saya untuk ikut serta dalam
rencana membantu pak Reynold menjalankan tugas CEO-nya sembari berusaha menutupi kenyataan bahwa pak Reynold sedang amnesia? Begitu?"
"Benar," Reynold yang menjawab dengan lantang.
"Bagaimana kalian bisa yakin hal ini akan berhasil? Pak Reynold tidak bisa kembali beraktivitas dan menjalankan tugasnya sebagai CEO seperti biasanya dengan kondisinya yang hilang ingatan seperti ini."
"Kenapa kamu pesimis sekali?" Reynold menatap tajam pada Cathleen.
"Kenapa anda optimis sekali?" Cathleen bertanya balik.
"Cathleen... menurut kamu, saya mengharapkan hal ini terjadi?!" Nada suara Reynold meninggi. "There's no other way. Mau tidak mau kita harus melakukan ini!"
Cecil mengusap-usap bahu kiri Reynold sambil berbisik, "tenang, sayang, tenang."
Reynold menghela nafas keras-keras, lalu berdecak kesal.
"Ini hanya sementara, Cath," pak Henri menenangkan suasana. "Hanya sampai ingatan pak Reynold pulih."
"Memangnya sampai kapan ingatan pak Reynold bisa pulih?" Cathleen bertanya tetap dengan nada sinis.
Pak Henri menjawab pelan,"itu tidak bisa dipastikan. Dokter mengatakan, bisa jadi dua tiga bulan ke depan. Atau... atau mungkin lebih."
"Atau mungkin tidak akan pernah?" Cathleen mencibir.
"Jangan bicara sembarangan!" Reynold membentak sembari tangannya menuding ke arah Cathleen.
Cathleen menatap tajam Reynold yang terlihat emosi.
"Sudahlah. Kalau memang kamu tidak ingin membantu, saya tidak akan mengais-ngais meminta pertolonganmu."
"Siapa yang bilang tidak ingin membantu?" Cathleen tersenyum sinis.
Reynold sedikit terkejut mendengarnya. "Maksudnya?"
"Well, saya bersedia membantu," Cathleen memutuskan. "Dengan syarat, gaji saya naik dua kali lipat."
"Oke," Reynold langsung menyetujuinya.
"Masih ada lagi," tambah Cathleen. "Belikan saya sebuah apartment, tepat di satu lantai dibawah pent house anda."
Kening Reynold berkerut. "Apartment?"
"Itu tidak terlalu mahal, bukan? Dibandingkan segala resiko yang bisa saja terjadi kalau kondisi anda diketahui oleh semua orang."
"Oke. Deal."
Cathleen tersenyum miring. Dia kemudian melirik ke arah Cecil, lalu menatap Reynold lagi. "Ngomong-ngomong, saya dengar anda dan Cecil sudah berpacaran selama tiga tahun. Apakah benar?"
"Benar," jawab Reynold dengan mantap. "Apakah hal ini ada hubungannya dengan pembicaraan kita?"
"Apa Cecil tidur di penthouse anda?"
"Kenapa kamu menanyakan itu?"
"Saya hanya ingin memastikan. Bagaimanapun, Cecil adalah adik saya. Dan saya menyetujui rencana ini juga sebagian karena dia."
Cecil tersenyum kikuk. "Emh... terima kasih, kak, sudah mau membantu Reynold. Aku dan Reynold tidak tinggal bersama kok. Aku masih tinggal bersama papa dan mama. Kakak jangan berpikiran jauh."
"Baiklah. Then, we settled." Cathleen tersenyum puas. "Bisa saya tahu apa jobdesc saya?"
Reynold menatap Cathleen penuh curiga, tetapi dia tidak bisa mengartikan apa sebenarnya yang ada di pikiran wanita ini.
***
Cathleen jarang makan siang di restoran. Dia biasanya hanya memasan makanan dan memakannya di kantor. Atau kalau dia punya cukup banyak waktu, dia akan memakan sebuah roti dan meminum kopi di kedai kopi langganannya yang dekat dari kantor. Akan tetapi sekarang, dia duduk bersama dengan Reynold dan Cecil untuk makan siang di sebuah restoran yang melihat dari interiornya saja sudah bisa dipastikan merupakan restoran mahal.
Ketika membuka buku menu, Cathleen menghela nafasnya.
"Kenapa kak?" tanya Cecil kepadanya.
"Ah, gak kenapa-kenapa. Aku cuma bingung mau makan apa."
"Pilih saja apapun, saya yang bayar," Reynold membuka mulutnya.
Cathleen tersenyum kecil. "Oke. Kalau begitu, saya akan pesan apapun yang anda pesan, pak Reynold."
Reynold mengernyit. "Kenapa?"
"Karena sepertinya anda adalah orang yang berkelas yang tahu memilih mana makanan yang enak. Jadi, saya percayakan pilihan saya pada bapak."
Reynold mendengus. "Kamu aneh," ungkapnya pelan.
"Reynold, gak boleh gitu," Cecil menegur Reynold, tetapi kemudian mengerucutkan mulutnya dan membuat ekspresi lucu kepadanya. Hal ini membuat Reynold mengelus pipinya karena gemas.
Cathleen yang memperhatikan hal itu, mendesis kecil. Ya, memang. Dari dulu sampai sekarang, tidak ada yang bisa tahan dengan pesona Cecil.
Reynold memanggil pelayan restoran dan menyebutkan menu yang ingin dipesannya. Sementara Cecil memesan salad karena besok ada pemotretan katanya.
Begitu steak yang dipesan Reynold dan Cathleen datang, Cathleen meneliti steak seharga hampir satu juta itu. Bukannya pelit, tapi bagi Cathleen, tidak perlu menghamburkan uang banyak hanya untuk sebuah makanan. Mungkin orang lain bisa tidak setuju dengan pemikirannya, siapa peduli? Tapi, berhubung kali ini Reynold yang akan membayar, Cathleen merasa puas.
Cathleen melihat ada kacang polong, tercampur dengan beberapa macam sayuran lain sebagai pelengkap steak di piringnya. Melihat hal itu, dia langsung mengambil seluruh sayuran yang ada di piring Reynold dan memindahkannya ke piringnya.
Reynold memicingkan matanya, sementara Cathleen memberikan cengirannya. "Saya suka sayurannya, jadi saya ambil saja ya."
Reynold benar-benar kehabisan kata-kata untuk menanggapi Cathleen. Apa-apaan wanita ini?
"Gak papa, Reynold," Cecil menenangkan. "Kan kamu juga gak suka kacang polong, jadi kamu pasti gak akan makan sayurannya."
Cathleen menatap Reynold. "Baguslah kalau begitu."
Reynold menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ngomong-ngomong, apa kabar mama, kak?" Cecil bertanya dengan agak sungkan.
"Mama siapa?" tanya Cathleen. "Mama aku?"
Cecil mendeham. "I ... iya."
"Mama sudah meninggal," Cathleen menjawab dengan nada santai. Ia fokus memotong steaknya sehingga tidak menyadari ekspresi kaget dari Cecil.
Ketika menyadari Cecil dan Reynold tidak membuka suara, ia melirik ke arah Cecil. "Kenapa?"
Cecil terlihat mengerjapkan matanya. "Emm... maaf, aku gak tahu hal itu."
Cathleen mengangguk sekali. "Gak apa-apa."
"Lain kali, kita makan sama papa dan mama ya, kak? Em.. maksud aku, mama aku."
Cecil sudah terlihat salah tingkah dan tidak tahu mau berkata apa lagi, tetapi Cathleen malah tersenyum kecil. "Atur aja nanti. Jangan merasa gak nyaman begitu."
Melihat respon Cathleen, Cecil juga menampilkan senyumannya.
"Ngomong-ngomong, kalian memang benar akan merencanakan pernikahan di Jakarta?" Cathleen tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan.
"Iya kak," jawab Cecil.
Reynold mendekap Cecil di sebelahnya. "Meskipun saya masih belum bisa mengingat kenangan bersama Cecil sebelum saya hilang ingatan, tetapi Cecil sudah bersama dengan saya selama setahun terakhir dan kenangan selama setahun ini sepertinya sudah cukup untuk kami melangkah ke jenjang selanjutnya."
Cecil menatap Reynold dengan ekspresi berbunga-bunga. Dan hal ini membuat Cathleen merasa tidak nyaman. Dalam pikirannya, ia merencanakan sesuatu. Sang penyihir dalam cerita Snow white memiliki rencana untuk menyingkirkan Snow white. Cathleen juga memiliki rencananya sendiri. Cecil selalu mendapatkan semua perhatian selama ini. Bukankah saat ini peluang bagi Cathleen sedang terbuka?
***