Cathleen kembali memakan steaknya dengan pelan sambil menatap interaksi diantara pasangan yang duduk di depannya. Ia berdecak kecil melihat Reynold mengelap sudut bibir Cecil menggunakan sapu tangan karena ada sedikit mayonnaise menempel disitu.
"Thank you," ucap Cecil dengan nada menggemaskan.
Sementara Reynold tersenyum kepadanya.
Cathleen sudah ingin beranjak dari situ karena muak melihat Reynold dan Cecil, tetapi handphone Reynold berbunyi dan ia segera mengangkatnya.
"Babe, aku harus pergi. Rara dan pak Henri minta aku untuk datang ke Wijji Village." Reynold mengatakannya sambil mengusap rambut Cecil.
Cecil mengangguk. "Sure. Aku bisa pulang sama supir nanti."
"Apa saya harus ikut, pak?" Cathleen bertanya. Mungkin saja dia harus mengerjakan tugasnya sebagai sekretaris utama mulai sekarang ini.
Reynold menggeleng. "Ada pak Henri disana. Disini aja dan temani Cecil makan."
Cathleen memutar bola matanya, agak kesal dengan nada memerintah Reynold dan perhatiannya pada Cecil.
Reynold tidak memedulikan Cathleen. Dia menatap Cecil dan mengelus rambut belakangnya lagi. "Aku pergi dulu ya."
Cecil mengangguk dan tersenyum manis. "Hati-hati di jalan. Bye bye."
Sebenarnya begitu Reynold pergi, Cathleen ingin juga segera beranjak dari restoran itu dan kembali ke kantor. Ia tidak ingin berlama-lama mengobrol dengan Cecil, sekalipun Cecil adalah adiknya yang sudah lama tidak ditemuinya. Ralat, adik tirinya. Karena itulah Cathleen tidak berminat mengetahui bagaimana kabar adik tirinya itu dan kabar ayahnya yang sudah meninggalkan Cathleen dan ibunya bertahun-tahun lalu.
"Aku harap kita bisa berhubungan dengan baik, kak," Cecil tiba-tiba berbicara.
Cathleen mengernyit. "Memangnya hubungan kita tidak baik?" tanyanya dengan senyuman miring.
"Aku yakin kakak pasti merasa tidak suka sama mama aku dan aku. Karena kami membuat papa meninggalkan kakak dan mama." Cecil menatap Cathleen dengan ekspresi sedih. Dia terlihat merasa bersalah atas hal ini.
Cathleen mengiris dagingnya dan memasukan satu gigitan ke dalam mulutnya. Ia lalu mengunyahnya pelan tanpa peduli untuk merespon perkataan Cathleen segera.
"Kamu merasa bersalah?" tanyanya kemudian.
"Biar bagaimanapun, kami sudah merebut papa dari kalian."
"Apa aku harus marah karena hal itu?"
"Aku harap kakak bisa melupakan kesedihan di masa lalu dan kita bisa berhubungan dengan baik kedepannya."
Cathleen tersenyum tipis. "Tentu saja kita akan berhubungan baik kedepannya. Dan hidup kamu akan sangat bahagia. Pasti kamu merasa sangat beruntung bisa bertunangan dengan Reynold."
Cecil tersenyum lebar. "Iya. Aku beruntung. Aku berharap kedepannya, hubungan kami bisa lancar terus."
"Kapan pertama kali kalian berpacaran?" Cathleen bertanya. Biar bagaimanapun, ia ingin mengetahui cerita di balik hubungan Cecil dan Reynold.
"25 Agustus 2017 Reynold mengajak aku pacaran. Kami bertemu di sebuah fashion show setahun sebelumnya dan akhirnya dia mendekati aku." Cecil menceritakannya dengan jujur.
Dari tahun 2017?
"Kenapa kalian tidak mengumumkan hubungan kalian ke orang-orang?" Cathleen bertanya lagi.
Cecil mendengus. "Dari sisi aku, aku kan model, jadi aku takut hubungan aku dengan Reynold berpengaruh ke karir aku. Untungnya Reynold juga setuju aja dengan keinginanku. Tapi sebelum kecelakaan, Reynold udah sempat bilang ke orang tuanya dan ke Rara juga bahwa dia berencana mau tunangan sama aku."
Cathleen menyembunyikan kepalan tangannya di bawah meja. Dia berusaha keras untuk menyembunyikan kekesalan. "Satu tahun terakhir, apa yang kalian lakukan di Australia?"
Ekspresi wajah Cecil langsung berubah sedih. "Aku ada proyek pemotretan di Canberra. Lalu kebetulan Reynold juga ada pertemuan disana. Jadi, kami memutuskan untuk berlibur selama satu bulan di Australia."
Berlibur bersama? Cathleen mendengarkan dengan hati-hati setiap kalimat yang diucapkan oleh Cecil.
"Tapi kami mengalami kecelakaan sewaktu mengendarai mobil bersama. Aku hanya mendapat luka ringan. Tapi Reynold ... dia sampai gegar otak dan hilang ingatan. Untung saja Reynold bisa melalui semua masa kritisnya dan bisa sehat kembali sekarang."
Cathleen terduduk lemas mendengar cerita Cecil tentang hubungannya dengan Reynold dan tentang kecelakaan yang menimpa Reynold.
"Kasian Reynold. Dia selalu mengeluh pusing kalau mencoba mengingat masa lalunya. Makanya aku gak pernah lagi memaksanya untuk mengingat hubungan kami sebelumnya. Tapi untunglah, hubungan kami berjalan dengan lancar selama satu tahun ini dan kami memutuskan untuk bertunangan."
Cathleen tidak percaya dia mendengar semua cerita ini. Dia mengerjapkan matanya. Kenapa ini bisa terjadi? Ini tidak benar, kan?
"Kakak kenapa?" Cecil bertanya dengan ekspresi khawatir.
Tanpa menjawab ataupun berkata apapun, Cathleen beranjak dari situ dan menyetir mobilnya kembali menuju kantor, meninggalkan Cecil yang tidak mengerti dengan sikap Cathleen.
***
Di sore hari, Pak Henri meminta Cathleen untuk datang ke ruangannya dan membicarakan mengenai tugas dan tanggung jawab yang akan diemban oleh Cathleen sebagai associate sekretaris utama. Selama setengah jam, Cathleen benar-benar memperhatikan penjelasan dari Pak Henri sambil mencoba mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Pak Henri berusia 46 tahun dan sudah memiliki istri dan dua anak sekarang. Ia menjadi pegawai yang setia terhadap perusahaan Wijj Group semenjak usianya masih di awal 20an tahun. Oleh karena itu, para petinggi, terutama Pak Mordim dan Reynold Widjaja, sangat mempercayainya dan mengandalkannya. Ia juga orang yang cekatan dalam bekerja sehingga ia dapat menjalankan tugasnya sebagai sekretaris utama CEO dengan sangat baik.
Tetapi lebih dari pada seorang sekretaris yang mengurus urusan bisnis perusahaan, Pak Henri adalah orang yang cukup dengan Reynold, karena sudah menjadi sekretarisnya semenjak 6 tahun yang lalu begitu Reynold memasuki perusahaan setelah kuliah s2 nya. Oleh karena itu, Cathleen yakin bahwa Pak Henri mengetahui banyak hal mengenai Reynold.
Ketika mereka selesai membicarakan mengenai tugas Cathleen ke depannya, Cathleen menatap pak Henri dengan tajam.
"Kenapa? Ada yang mau kamu tanyakan?" melihat gelagat Cathleen, Pak Henri bertanya terlebih dahulu.
"Bapak adalah orang yang paling sering bersama dengan pak Reynold, bapak jelas tahu apa hubungan saya dengan pak Reynold sebelum pak Reynold pergi ke Australia," Cathleen tanpa basa-basi langsung menanyakan hal yang berani.
"Memangnya ada hubungan apa diantara kalian berdua?" Pak Henri bertanya dengan tenang, seolah tidak tahu apapun.
Cathleen menaikan sudut bibir sebelah kanannya, tersenyum sinis. "Kenapa bapak bertanya? Bapak sudah tahu jawabannya."
"Memangnya kalau saya tahu, kenapa? Ada apa kamu bertanya seperti ini kepada saya?"
Cathleen tidak menjawabnya, dia malah bertanya, "apakah bapak juga tahu hubungan Pak Reynold dan Cecil semenjak mereka pertama kali berhubungan tiga tahun lalu?"
"Kenapa kamu menanyakan hal itu?"
"Bapak hanya perlu menjawab saya."
"Apa yang sebenarnya kamu coba cari tahu, Cath?" Pak henri masih menunjukan sikap tenang.
Cathleen tahu itu, Pak Henri bukanlah orang yang mudah menjawab sesuatu dan membocorkan sesuatu. Ia juga pandai dalam mengatur emosinya dan ekspresinya. Tetapi Cathleen benar-benar ingin mengetahui kebenarannya. Ia tidak bisa menahan kesedihan dan kemarahannya semenjak perbincangannya dengan Cecil tadi siang.
"Apa pak Reynold dan Cecil benar-benar berhubungan sejak tiga tahun lalu?" tanya Cathleen dengan suara lirih.
Pak Henri menatap Cathleen dengan iba. "Jawaban seperti apa yang kamu harapkan keluar dari mulut saya, Cath?"
"Jawaban yang sebenarnya," jawab Cathleen dengan mata berkaca-kaca.
"Apakah kamu akan kuat menerima kenyataan kalau saya mengatakannya ke kamu?"
Cathleen menggigit pelan bibir bawahnya. Ia terdiam untuk beberapa saat.
"Meraka akan bertunangan, Cath. Kamu harus mengerti hal itu," ucap Pak Henri lagi.
Cathleen masih terdiam. Setetes air mata lolos dari matanya. Kenapa harus seperti ini? Kenapa ini harus menimpanya?
"Jadi .... aku .... selama ini aku adalah selingkuhan Rey?" Cathleen bertanya dengan terbata-bata.
Pak Henri hanya menghela nafasnya tanpa menjawab. Ia kemudian mendekati Cathleen dan menepuk nepuk pundak sebelah kirinya. "Kamu harus kuat, Cath. Kamu harus kuat."
***