Hari Pertama

Pukul delapan, sebuah kotak makan diletakan di meja tepat di hadapan Reynold yang sedang membaca email kiriman pak Henri di ipadnya. Reynold mengangkat kepalanya dan mengalihkan pandangannya dari ipad. Didepannya, Cathleen tersenyum setelah meletakan kotak makan di meja.

"Apa ini?" tanya Reynold tidak mengerti.

"Anda pasti belum makan," Cathleen tetap memasang senyumannya.

"Saya baru akan makan pukul ... "

"Pukul sebelas?" Cathleen menyela sebelum Reynold menyelesaikan kalimatnya.

Reynold mengerjapkan matanya. "Bagaimana kamu bisa tahu?"

"Saya menghafal semua dokumen yang dikirimkan pak Henri semalam. Berhubung saya yang akan sering menggantikan pak Henri untuk menemani anda seharian, saya harus tahu semua kebiasaan anda."

"Lalu ini apa?" Reynold menunjuk ke arah kotak makan yang diberikan oleh Cathleen.

"Bubur seafood. Berhubung bagi saya, roti saja tidak cukup untuk sarapan bapak, jadi saya sengaja membuatkan ini."

Reynold memicingkan matanya. "Kamu membuatnya?"

Cathleen mengangguk-anggukan kepalanya.

Pagi ini Cathleen memang sengaja bangun lebih pagi untuk membuat bubur itu.

"Anda harus mencobanya. Kalau anda tidak suka, silahkan dibuang."

Reynold akhirnya membuka penutup kotak makan itu dan harum aroma bubur menyeruak hidungnya. Harus ia akui, entah kenapa ia merasa tertarik untuk memakannya ketika Cathleen mengatakan bahwa yang ada di dalam kotak makan adalah bubur seafood. Ia tambah merasa senang ketika mencoba satu suap dari bubur ini. Bubur ini enak. Sangat enak.

Senyuman Cathleen melebar ketika melihat Reynold sepertinya menyukai bubur buatannya.

"Enak?" tanyanya.

Reynold menganggukan kepalanya. "Saya akan menghabiskannya."

"Tentu saja, pak. Kalau begitu, sambil bapak menyantap bubur itu, saya akan bacakan jadwal bapak hari ini."

Pak Henri tidak bisa menemani Reynold hari ini karena ia harus menghadiri rapat proyek pengembangan rumah sakit Harapan de Wijj di luar kota bersama dengan Raika, menggantikan Reynold yang tidak bisa menghadirinya. Terlalu banyak orang yang harus ditemui dan ada beberapa pre-knowledge yang harus diketahui oleh Reynold kalau dia menghadiri rapat ini. Tentu saja, kalau mereka tidak ingin amnesia Reynold diketahui, mereka perlu meminimalisir kegiatan yang bisa Reynold hadiri.

Berhubung pak Henri sedang tidak bisa menemani Reynold, jadilah Cathleen yang harus mengurus bos CEO nya itu seharian ini.

"... lalu bapak akan menghadiri acara peresmian panti asuhan Rumah Kasih jam empat. Lalu setelah itu, ada pertemuan ... "

"Tunggu dulu." Reynold menghentikan penjelasan Cathleen mengenai agendanya hari ini. "Rumah kasih?"

"Panti asuhan yang disponsori oleh perusahaan kita. Bu Bianca akan hadir disitu karena ini berawal dari ide beliau."

Reynold menganggukan kepalanya. "Kirimkan ke email saya, rincian informasi mengenai panti asuhan ini."

Cathleen hanya butuh tiga detik untuk melakukan apa yang diminta oleh bosnya itu. "Done, pak. Silahkan dipelajari."

"Kenapa cepat sekali? Kamu sudah menduga saya akan memintanya?"

Cathleen melangkah memutari meja, lalu mendekati Reynold. Dia sengaja mendekatkan wajahnya ke wajah Reynold, lalu tersenyum.

"Bukankah saya menakjubkan, pak?"

Reynold refleks memundurkan kursinya, berusaha menjauhi wajah Cathleen yang terlalu dekat.

Cathleen menegakkan tubuhnya lagi setelah tadi sedikit membungkuk. "Menarik juga," bisik Cathleen.

"Apa-apaan kamu, Cath?" tanya Reynold kebingungan.

Cathleen mengedikan bahunya. "Memangnya apa yang saya lakukan, pak?"

Sebelum Reynold sempat menjawabnya, Cathleen berkata lagi, "besok saya bawakan lagi buburnya ya. Saya kembali ke ruangan dulu sekarang. Kalau bapak butuh, silahkan telepon saja." Cathleen tersenyum lebar sebelum dia keluar dari ruangan itu.

***

Reynold menghafalkan beberapa informasi mengenai beberapa anak perusahaan mereka, melalui ipadnya. Beberapa dokumen yang perlu ia hafalkan sudah dikirimkan oleh pak Henri tadi pagi.

Dia memijit pelan bagian atas hidungnya karena lelah melihat layar. Selain itu, kepalanya juga sudah mulai pusing karena mencoba mengerti dan menghafal berbagai informasi.

"Pak Reynold."

Suara seorang wanita mengagetkannya. Sampai ketika ia melihat si sumber suara, ia baru menghela nafas lega.

"Kenapa kamu gak ketuk pintu dulu?" tanya Reynold dengan nada sedikit kesal.

"I did," Cathleen menjawab. "Saya sudah mengetuk pintu. Bapak saja yang gak dengar."

"Oh ya? Coba ulangi."

Cathleen mendecakan lidahnya. Tetapi ia tetap menuruti Reynold juga pada akhirnya. Ia kembali keluar ruangan, lalu mengetuk pintu ruangan dengan keras beberapa kali.

"Masuk!" Reynold sedikit berteriak.

Begitu Cathleen masuk, Reynold langsung memarahinya, "lain kali, jangan ketuk terlalu keras! Kamu pikir saya tuli?"

Cathleen menghela lalu menghembuskan nafas dengan keras. "Baiklah, pak. Bapak sensitif sekali," cibir Cathleen.

"Kamu mau apa?" tanya  Reynold.

"Ini sudah jam sebelas, pak. Bapak mau makan apa?"

Reynold melihat jam tangannya. "Lah, saya baru sadar ini sudah jam sebelas."

Cathleen tersenyum. "Bubur saya cukup mengenyangkan, bukan?"

"Hm..." Reynold mengangguk. Sebenarnya tidak ingin mengakui hal itu karena akan membuat Cathleen besar kepala.

"Jadi mau makan apa?" tanya Cathleen lagi. "Mau saya pesankan?"

"Kita ke restoran saja," Reynold menjawab.

Cathleen membulatkan matanya. "Anda mengajak saya makan siang diluar?"

"Kenapa? Ada masalah?"

"Ada pekerjaan yang harus saya lakukan," Cathleen berkata pelan.

"Baiklah, saya bisa makan sendiri," Reynold mengambil jas yang tersampir di gantungan jas, lalu melangkah mendekati Cathleen. "Saya juga tidak perlu ada kamu hanya untuk makan siang."

Dengan cepat Cathleen berpikir, lalu dia mengubah keputusannya. "Ayo. Kita pergi."

"Bukannya kamu sibuk?"

Cathleen mengedipkan sebelah matanya. "Saya bisa mengerjakannya nanti. Bukankah pak Henri menitipkan bapak kepada saya? Jadi, saya harus bertanggung jawab."

"Tidak perlu," Reynold menolaknya. Tidak perlu sampai harus makan siang bersama juga.

"Saya akan tetap ikut," Cathleen bersikeras.

"Okay, silahkan saja," putus Reynold akhirnya.

"Tapi ... biar saya yang pilih restorannya ya, pak," Cathleen bersuara.

Reynold memicingkan matanya ke arah Cathleen, penuh curiga.

"Saya yakin anda akan suka," tambah Cathleen.

Reynold kemudian mengangguk.

Ada apa dengan wanita ini? Reynold memikirkannya sepanjang jalan.

***