Cathleen membawa Reynold ke sebuah restoran yang notabene tidak terlalu besar di sebuah mall dekat kantor mereka. Begitu memasuki restoran itu, rasa nyaman langsung terasa. Ada banyak tanaman hijau, bahkan ada air mancur kecil, menjadikan suasana menjadi seperti sedang berada di taman.
Dengan tidak canggung, Cathleen menarik tangan Reynold menuju ke tempat di pojok. Kemudian dia melepaskan tangannya dan mempersilahkan Reynold untuk duduk.
Seorang pelayan menghampiri mereka dan memberikan daftar menu kepada mereka berdua.
"Anda yang bayar kan, pak?" Cathleen bertanya dengan menampilkan senyuman manis.
"Kenapa harus saya?" Reynold membalasnya, lalu tersenyum sinis.
"Karena anda bosnya disini."
"Memangnya bos harus selalu membayar makanan sekretarisnya?"
"Kenapa anda pelit sekali?"
"Kenapa kamu ingin ditraktir?"
Cathleen memutar bola matanya jengah. Tetapi kemudian dia menatap ke arah pelayan yang sedari tadi memperhatikan mereka dengan bingung. "Oke, mas. Jadi kami pesan aglio olio satu, aussie prime beef tenderloin satu, mojito satu, sparkling water satu. Beef nya medium rare ya, saus nya dipisah, lalu di saladnya jangan ada kacang polong-nya, mash potato nya diganti potato wedges aja. Terus, minta gelas ya untuk sparkling waternya. "
Reynold menatap Cathleen dengan tatapan tajam sampai ketika si pelayan pergi meninggalkan mereka. "Kenapa harus kamu yang memesankan untuk saya?"
"Supaya anda bisa duduk saja dengan tenang dan makan. Bukankah saya sekretaris yang baik?"
"Kamu sudah menghafal selera makanan saya?"
Cathleen balas menatap Reynold. "Tentu saja. Sudah diluar kepala, pak."
Reynold menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian ia beranjak dari tempat duduknya.
"Eh eh ... mau kemana, pak?"
"Mau ke toilet. Kamu mau ikut?"
Cathleen memberikan cengirannya. "Saya rasa anda tidak perlu ditemani kalau begitu."
"Tentu saja. Kamu memang tidak perlu menemani saya kemanapun saya pergi."
Cathleen tidak meresponinya, malah mengedikan bahunya saja.
***
Reynold memang pergi ke toilet, tetapi dengan maksud menelpon pak Henri.
"Ya, pak Reynold. Ada apa?" pak Henri langsung menjawab di nada sambung kedua.
"Pak Henri sedang apa?" tanya Reynold berusaha sesopan mungkin meskipun dia sebenarnya sudah ingin membombardir pak Henri dengan beberapa pertanyaan. Biar bagaimanapun, pak Henri berusia lima belas tahun lebih tua darinya.
"Saya sedang dalam perjalanan menuju restoran, pak. Saya akan makan siang dengan para developer. Ada yang bisa saya bantu?"
Reynold berdeham. "Ehm... begini, pak. Saya ingin bertanya. Bukankah bapak bilang karakter Cathleen adalah tegas, pendiam, dan dingin?"
"Benar, pak. Bapak bisa membaca deskripsi lengkapnya di rincian informasi yang saya berikan minggu lalu."
"Tetapi kenapa saya merasa dia berbeda?" tanya Reynold. "Memang dia tegas. Tapi dia ... Bagaimana mengatakannya? Dia tidak pendiam. Dia terlihat ceria di depan saya. Dia juga terlihat ... terlihat seperti ..."
"Seperti apa, pak?"
"Aishh... sudahlah."
"Saya tidak tahu bagaimana sikap Cathleen kepada bapak hari ini. Tetapi sejauh yang saya tahu, selama tiga tahun ini, Cathleen tidak banyak bicara. Hanya bicara seperlunya dan menjawab apa yang ditanyakan. Dia juga jarang tersenyum. Tapi memang orangnya baik, pak."
"Kenapa kamu sangat mendukung Cathleen sedari pertama kali kita membicarakan sekretaris saya?"
"Karena dari semua sekretaris yang ada, Cathleen yang paling kompeten, pak."
"Saya merasa tidak nyaman dengan dia."
"Bukankah kita semua sudah sepakat, pak? Dan lagi, Cathleen adalah calon kakak ipar anda, pak. Bukankah kalian seharusnya menjalin hubungan yang baik?"
Reynold berdecak. "Ya sudah. Saya akan menghubungi bapak lagi kalau ada yang saya perlu tanyakan nanti."
Reynold mematikan sambungan telepon tanpa membiarkan pak Henri berkata apa-apa lagi.
***
Sekembalinya Reynold ke meja mereka, dia menatap Cathleen yang berada di hadapannya. Cathleen sedang bertopang dagu sambil menatap pancuran air yang berjarak beberapa meter dari mereka.
"Let me ask you one question," tiba-tiba Reynold berkata dengan nada serius.
Cathleen menopang dagunya dengan kedua tangannya yang sikunya ditaruh di atas meja. Matanya menatap lurus ke arah Reynold yang duduk di hadapannya. "Tanya saja."
"Apakah kamu sedang flirting dengan saya?" tanya Reynold blak-blakan.
Bukannya merasa tersinggung, Cathleen malah tertawa mendengar pertanyaan itu.
"Apakah terlihat seperti itu, pak?" tanya Cathleen di sela-sela tawanya.
"Ya," jawab Reynold dengan tegas.
"Apakah bapak tidak suka kalau saya flirting dengan bapak?"
"Tentu saja tidak suka," sergah Reynold. "Perlu saya ingatkan bahwa saya adalah bos kamu. Bukan cuma itu, saya juga adalah tunangan dari adik kamu."
"Adik tiri saya," Cathleen mengoreksinya.
"Tetap saya adik kamu. Jadi notabene saya adalah calon adik ipar kamu."
Cathleen mendengus. "Justru itu, pak."
Kening Reynold berkerut. "Maksudnya?"
Cathleen terdiam beberapa detik sebelum kemudian menjawab dengan pertanyaan, "kenapa bapak harus menjadi tunangan dari adik tiri saya?"
"Kenapa memangnya?" Reynold makin tidak mengerti.
Melihat Cathleen terdiam lagi, Reynold kemudian menebak-nebak. "Kamu suka sama saya?"
"Wah... bagaimana bapak bisa tahu?"
Reaksi Cathleen diluar dugaan Reynold. "Apa kamu baru saja mengakui bahaa kamu menyukai saya?" tanyanya memastikan.
Cathleen mengangguk. "Benar."
"Kenapa kamu bisa menjawab dengan tanpa ragu?"
Reynold merasa Cathleen adalah wanita yang aneh. Dia tidak pernah bertemu dengan wanita yang straight forward seperti ini. Ya walaupun dia kehilangan memorinya, tapi tetap saja sejauh yang dia ingat, dia tidak pernah berhadapan dengan wanita yang kelewat jujur.
"Apakah saya harus menyembunyikannya?" Cathleen menjawab Reynold dengan pertanyaan.
"Saya adalah ... "
Cathleen menutup bibir Reynold dengan jari telunjuknya, yang kemudian segera disingkirkan oleh Reynold.
"Saya sudah tahu apa yang akan bapak katakan. Saya tidak perlu diingatkan terus menerus. Bukankah yang hilang ingatan itu bapak dan bukannya saya?"
"Kenapa kamu cerewet sekali di hadapan saya?" tanya Reynold tidak mengerti dengan jalan pikiran dan karakter wanita yang sedang duduk di hadapannya ini.
Bukannya menjawab, Cathleen malah mengedarkan pandangannya ke seluruh restoran. "Kamu tidak merasa familier dengan tempat ini?"
"Maksudnya?"
Kening Reynold makin mengernyit. Kenapa Cathleen tiba-tiba menanyakan hal itu? Dan lagi, Cathleen menggunakan kata 'kamu' dan bukannya 'anda' atau 'bapak'.
"Kamu tidak ingat bahwa kamu pernah datang kesini?" tanya Cathleen lagi.
Reynold menghela dan menghembuskan nafas dengan cepat. "Tidak."
"Kamu tidak ingin mengingat apa saja yang kamu lupakan?"
"Memangnya apa yang aku lupakan?"
Cathleen tersenyum miring.
***