Part 3

"Sudah ku bilang sedari awal, lari dari masa lalu adalah penderitaan dan bukannya pilihan yang tepat."

***

Mobil Tay memasuki pelataran rumah yang luas bak hamparan paving tanpa ujung. Segera cowok itu memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah yang jaraknya cukup jauh dari pintu gerbang. Terdapat dua mobil didekatnya. BMW putih milik Jay dan Bugatti divo hitam milik Sai. Rai segera keluar meninggalkan Tay yang masih sibuk menata rambut di dalam mobilnya. Cowok itu bergegas berlari memasuki rumah. Dalam waktu kurang dari 1 menit cowok keluar dari mobilnya mengekori langkah Rai yang sudah hilang di balik pintu. Tay berhenti sesaat di anak tangga terakhir matanya tertuju ke arah mobil merahnya, mobil ferrari 812 superfast itu adalah mobil kesayangannya.

Cowok itu berjalan menghampiri mobilnya kembali, melihat ada sesuatu mengotori dashboardnya. Cowok itu segera mengambil benda berwarna putih yang ternyata adalah sebuah sapu tangan. Diujungnya terdapat sebuah jahitan nama "Diana". Tay terpaku sesaat, sejenak terbayang gadis itu, kejadian tadi, kisah pahit yang ada pada dirinya. 6 tahun yang lalu, yah waktu yang cukup lama namun tak cukup untuk menyembuhkan trauma Tay akan kata "cinta". Kisah lama yang tiada ingin cowok itu ungkit lagi.

"Tay, lo kesambet apa gimana dah.. ngapain tengah malem masih diluar anjirrr." Teriak Rai membuyarkan lamunan Tay. "Yaelah lo kalo ngambek jangan kayak bocil bisa ngga? Masa gara-gara masalah traktir mentraktir aja lo ngambek sih. Ya udah besok gue traktir deh di restoran tempat lo nongkrong. Buruan masuk yuk." Ujar Rai terus berjalan menghampiri Tay. "Anjayyy, sekate kate ya lo ngomong, mana ada gue ngambek cuman gara-gara makanan." Tay langsung menampol pipi Rai begitu ia sampai di dekatnya. "Wo, gitu ya. Dikasih ati malah di lempar batu." Rai memberengut memegangi pipinya yang merah. "Eh ayam betutu, dari zaman film telenovela masih diputer ampe sekarang, gue gak ada tuh pernah denger pepatah kek gitu." Tay memicingkan matanya pada Rai. "Pernah, barusan." Sewot Rai meninggalkan Tay, cowok itu berjalan ketus masuk ke dalam rumah. "Huanjirrr tadi lo niat mau jemput gue apa gimana, malah ninggalin." Teriak Tay "Bodoamatttt, dasar belangsak." Balas Rai membanting pintu rumah dengan begitu kencangnya.

Malam itu mereka berempat menikmati makanan yang telah dibeli oleh Rai, suasana cukup gaduh dilengkapi cekcok antara Rai, Jay, dan juga Tay. Sai sesekali menambahi namun menjadi orang yang lebih dulu tidur, bahkan tertidur di atas meja makan, seharian bekerja membuatnya kelelahan. Hari ini cowok itu juga lembur, ia baru sampai rumah pukul 10 malam tadi. Dengan hati-hati Jay dan 2 orang lainnya memindahkannya ke sofa ruang keluarga da alhasil mereka berempat pun tertidur di ruang keluarga pasca menonton film horor favorit Tay.

Tay terbangun di alam bawah sadarnya, matanya terbeliak menatap hamparan kastil dihadapannya. Kastil yang dipenuhi oleh kobaran api disana sini. Bukan sebuah kekacauan ataupun kebakaran, hanya saja kastil tersebut memang terbuat dari api. Tay tak lagi menyusuri setiap inci dari kastill itu dengan rasa kagum, sekalipun ia berdiri di atas air yang mana sedikit ganjil karena air dan api tak mungkin berdampingan tanpa saling mengalahkan satu sama lain.

"Keluar, keluar lo... jangan hanya sembunyi." Tay berteriak ke sembarang arah, suaranya menggema tiada henti. Hingga sosok pria berambut pirang dengan poni yang jatuh di keningnya. Pria itu berkulit pucat dengan tinggi hampir mencapai 2 meter. Tay terkesiap, matanya menatap tajam ke arah pria berhoddie coklat itu. "Sssstttt, kenapa teriak-teriak. Aku tidak tuli, sayang."Ujar pria itu mendekati Tay. "Cihh, nada bicara lo bikin gue jijik." Tay meludah membuat pria itu tersenyum tipis khas psikopat.

"Kenapa Tay? Apa kau tak lagi menyayangiku, aku kakakmu. Apakah tak ada lagi rasa kasih sayang di hatimu?". "Kakak? kakak macam apa yang berencana untuk membunuh adik-adiknya, jawab gue. Kakak macam apa yang berniat melenyapkan adiknya ketika mereka belum saja mengerti apa itu kehidupan." Sedikit naik pitam, nada suara Tay meninggi. "Tay, gue hanya ngga mau mereka merasakan penderitaan yang diciptakan oleh orang tua kita sendiri, Tay. Ketika ayah kita dengan konyolnya mengakhiri hidupnya setelah meninggalnya bunda. Menelantarkan kita yang belum lagi mengerti apa itu kerajaan dan tanggung jawab seorang raja, apa itu takhta. Dan membuang kita ketika penasehat ayah merebut paksa kerajaan itu, Tay. Masih ingatkah kamu malam kelam itu?".

Tay diam, menunduk meremas dadanya yang mulai terasa sesak. Luka masa lalu yang teramat perih untuk di ingat. Telah lama menyamar menjadi manusia membuatnya terlupa bahwa dirinya adalah seorang vampir. Vampir bangsawan yang merupakan garis keturunan vampir terkuat yang memiliki kemampuan dapat menyamakan diri menjadi manusia normal bahkan hidup layaknya manusia. Sesak di dadanya membuatnya jatuh berlutut, matanya mendadak berubah menjadi merah darah menatap tajam ke arah hamparan istana itu. Di sekitar matanya muncul urat-urat hitam yang mebuatnya cukup mengerikan.

"Tay, sudah waktunya kamu kembali. Kau boleh menyamar dan melarikan diri dari takdirmu sebagai seorang vampir, namun ingat lah aku sudah berkali bilang padamu, dulu." Pria itu menepuk bahu Tay pelan "Sudah ku bilang sedari awal, lari dari masa lalu adalah penderitaan dan bukannya pilihan yang tepat.". Sesaat setelah itu, sosok pria itu lenyap, lebur dengan udara.

Ada tangisan tertahan dalam diri Tay. Cowok itu bergelut dengan batinnya sendiri yang mendadak menjadi liar. Tak bisa ia lupakan bagaimana saat-saat ketika dirinya dibuang bagaikan sampah. Bagaimana cacian dan makian menghujaninya sebelum ia sampai di titik saat ini. Sesak tak tertahankan begitu Zay, kakaknya sendiri mengakuinya sebagai seorang adik setelah apa yang terjadi. Setelah malam itu membuatnya liar hingga berniat menghabisi adik-adiknya sendiri. Dia juga adalah alasan Tay kehilangan harapan hidup, benar-benar terlampau kehilangan, dia telah merenggut satu-satunya sumber kasih sayang yang Tay miliki setelah semuanya hancur dan kacau.

Hanya sesaat setelah itu, sesak di dada Tay membuatnya limbung. Cowok itu akhirnya terbangun dari alam bawah sadarnya. Nafasnya terengah, tubuhnya pun dibanjiri keringat. Ia menepuk pipinya beberapa kali mengendarkan pandangan ke sekitarnya, semua orang masih terlelap. Tay pun mengecek jam tangannya sembari beranjak menuju dapur untuk meneguk segelas air putih "Jam 2 dini hari." gumamnya. Nafsu tidurnya hilang, dia memilih menuju balkon menghabiskan waktu hingga fajar terbit sembari menenangkan perasaannya yang kali ini hancur.

Cahaya bulan purnama langsung menyambut Tay begitu ia membuka pintu balkon kamarnya. "Takdir, hahah. Apa itu takdir, gue udah bersusah payah membuang jati diri gue sebagai vampir sejak lama. Salah, salah kalau gue enggan buat menginjakkan kaki gue lagi dalam dunia keabadian itu. Dunia keabadian yang lengkap dengan luka nestapa yang tiada ujung. Penjara keabadian tanpa wujud itu nyata, yah.. ia tidak berjeruji tidak juga berantai... Namun kutukan yang gue sebut sebagai nyawa sebagai kehidupan. Arghhh sial, gue meracau lagi.". Tanpa sadar air mata Tay mengalir dalam diam.