"Seorang Tay gak akan bangun bahkan sebelum fajar muncul kaya sekarang." Tay terkejut menghapus air matanya secepat yang ia mampu, namun gagal matanya yang sembab tidak bisa berbohong. Rai yang menyadari itu mendekat duduk disebelah Tay. "Bukan urusan lo, kenapa lo bangun jam segini, biasanya lo juga gak mungkin bangun jam segini." Suara Tay serak akibat tangisnya.
"Lah, balik nanya. Yang ada lo kenapa, ada masalah?" Rai mengelus pelan punggung Tay. Tay hanya diam tak memberikan jawaban apapun. "Tay, gue ada disini, didekat lo bertahun-tahun lamanya, masihkah lo ngga pengen berbagi apapun ke gue." tak ada jawaban dari Tay cowok itu tetap diam. Satu dua menit berlalu, hening hingga "Apa lo percaya dengan keabadian?". Rai sedikit heran dengan pertanyaan Tay namun dengan sigap dia pun menjawab "Mungkin, karena gue ngga bisa berkata tidak pada sesuatu yang ngga gue ketahui secara pasti. Hanya karena kita ngga pernah mengalami sesuatu itu, bukan ia benar-benar ngga ada." Rai tersenyum menatap ke arah Tay "Kenapa?".
"Kalau semisal suatu saat gue bilang lo adalah makhluk abadi, apa lo bakal percaya atau menerima kenyataan itu?" Taya menatap ragu ke arah Rai "Gimana kalo suatu saat lo sadar kalau hidup lo adalah sebuah kepalsuan yang diciptain oleh seseorang? Identitas lo adalah identitas palsu yang dia bikin, gimana? apa lo bakal lari dari kenyataan dan benci orang itu?".
"Kalo emang bener itu adanya ya gue bakal tetap bersyukur, karena orang itu gue bisa hidup seperti sekarang sekalipun identitas gue dibikin palsu olehnya. Gue juga bakal tetap bersyuku karena gue bisa hidup sebagai Rai yang sekarang. Kalo pun emang gue adalah makhluk abadi, maka gue juga akan menerima kenyataan itu. Selagi gue bisa bersama-sama lo, hidup berapa lama pun gak masalah buat gue, Tay." Senyum cowok itu kian mengembang menciptakan lekukan di kedua matanya "Lo tau, Gue bersyukur punya kakak kayak lo. Walaupun berengsek tapi gue tetep bersyukur."
"Hishh nyindir apa gimana." Nada suara Tay memang datar tapi Rai terkekeh karenanya. "Mungkin waktunya lo tau, Rai. Lo udah bukan bosah lagi yang masih perlu dilindungi, udah waktunya buat lo bisa ngejaga diri lo sendiri. Karena gue gak tau akan seburuk apa situasi setelah ini." Tay beranjak melangkah ke tepian balkon, nafasnya sedikir berat untuk ditarik. "Rai, berapa usia lo sekarang?". "23 tahun, Tay. masa lo lupa sih.". "Ngga, gue ngga lupa. Hanya memastikan." Rai tidak mendebat, cowok ikut beranjak, berdiri di sebelah Tay.
"Hng, udah 18 tahun ya gue bohongin kalian. Gue juga ngga nyangka kalo identitas palsu kita sebagai manusia bisa bertahan selama itu, Rai." Tay tersenyum sedangkan Rai dibuat tersekat oksigen-oksigen yang dia hirup terasa sangat sesak saat itu juga "M-m-mak-sud lo Tay?".
"Gue cuma pengen lo tau, dan gue juga minta maaf jika selama itu gue rahasiain identitas kita, Rai. Kita Vampir, sejujurnya kita adalah klan vampir terkuat dan termahsyur yang pernah ada. Namun, suatu kejadian membuat gue terpaksa membawa kalian dan membuat topeng sebagai manusia kayak sekarang ini." Tay memegang bahu Rai yang seolah tak memiliki tenanga untuk berdiri, cowok itu berpegangan pada pagar yan melintang dihadapannya. Pernyataan Tay menghantam telak Rai. "Rai, gue tau gue salah. Gak seharusnya gue rahasiain ini dari kalian semua. Tapi satu yang harus lo tau, Rai. Gue lakuin ini semua karena gue sayanng kalian, kalian adik-adik gue. Dan seorang kakak ngga bakal pernah mau adiknya salam bahaya."
Rai diam, matanya sedikit berair. Dengan cepat Tay meraih kepala Rai dan menyandarkannya pada bahunya. Air mata Rai membuat kaos hitam Tay basah, tangis cowok itu semakin deras ketikaTay berlahan membelai rambutnya. "Rai, sampai kapan pun ge bersumpah, gue janji apapun yang akan terjadi kedepannya, gue pasti bakalan selalu ada disisi lo. Gue bakal selalu ngelindungi lo selamanya."
"Ngga perlu lo tau, seberat apa gue ngebesarin lo sampai sekarang, Rai. Lo ngga perlu tau, cukup tanamin dalam diri lo bahwa gue sayang sama lo Rai. Cukup itu." Tangis Rai menderas. "Lucu bukan, ketika dunia menuntut lo untuk berdamai dengan keadaan, sementara keadaan membunuh lo secara perlahan. Otak lo dibanting, hati lo ditikam begitu aja. Tetapi lo diharuskan tetap tertawa, tersenyum, bahkan berulah konyol hanya untuk menyembunyikan seberapa hancur lo. Gue paham seberapa besar dan keinginan lo melarikan diri dari kenyataan yang selalu tertahan." Ujar Rai sedikit terisak.
Tay justru tersenyum "Dengan begitu kau tentu sudah mengerti, denganku kau perlu tau bahwasanya aku bukanlah sosok yang bisa mengungkapkan semua perasaanku lewat kata. Bahkan lebih memilih untuk diam dan menyembunyikan semuanya, diam dan memperhatikan segalanya. Tidak semua hati mampu menerima fakta mengenai betapa kuatnya perasaan itu, dan tidak semua hati merasakan hal yang sama juga.".
Rai terdiam mengangkat kepalanya dari bahu Tay yang basah akibatnya. "Tay, janji sama gue lo ngga bakal pergi kemanapun. Jangan tinggalin gue sendiri." Tay mengannguk "Tapi loo juga harus belajar hidup sendiri, Rai.".
Tay memalingkan dirinya, berjalan masuk meninggalkan Rai yang hanya mematung memandanginya dari balkon. Tay menuju ke kamar mandi, matanya ternyata tak sanggup menahan lebih lama air yang mulai memanas yang minta untuk dikeluarkan. "Buat diri gue.... Sorry ya buat malem-malem dengan mata yang sulit banget buat merem... kepala yang udah hampir meledak, capek pikiran, sakit hati dan semua yang gue bungkam, sakit fisik yang udah gabisa dijelasin lagi gimana... Thanks ya udah mau kerjasama sama gue dan berhasil bikin semua orang tau kalo gue itu sebenernya bahagia, Thanks ya." ucapnya dalam hati dengan air mata yang terus mengalir tanpa suara.
Dengan masa kecil yang sudah membantai mentalnya habis-habisan, takdir pun tak urung menuntut kembali apa yang telah dia tinggalkan. Rasanya hidup bergelimangan harta tiada gunanya, semua yang dia usahakan sampai sesukses sekarang pun tiada bermakna lagi. Tuntutan yang saat ini ia emban adalah kastilnya, kerajaannya dan semua yang dia tinggal di dalamnya. Tay sadar bahwa dia sudah haru kembali ke jati dirinya yang sesungguhnya, sduah cukup dengan main-mainnya dan sudah cukup juga dengan pelarian yang tiada menemui arti. Cowok itu harus merebut tanggung jawabnya kembali dan itu adalah hal mutlak yang tak bisa dia hindari lagi.
Takdir serupa kutukan baginya juga adik-adiknya. Bahkan mungkin ia juga telah menyalahkan Tay atas semua yang terjadi, bahkan ketika ia tak tau menau mengenai segalanya. Rakyat-rakyatny asudah pasti membencinya, karena dia gagal mempertahankan kerajaan yang itu membuat mereka tertindas sekarang. Menyesal? sudah tentu menyesal, baru dia pahami bahwa lari dari masa lalu hanya akan menambah penderitaannya.
Malam itu berlalu dengan penuh derai air mata, Tay yang mengunci dirinya di kamar mandi, cowok itu menagis berteman air yang terus mengalir dari shower membasahi dirinya. Cowok itu terduduk mendekap kakinya bersadar di bathtub. Tak jauh berbeda dengan Rai yang terduduk memegangi kakiknya, bersandar pada pagar balkon berusaha menerima fakta yang ada.